Selasa, 19 Februari 2008

Wacana Moralitas Yang Menindas

Masih panas kontroversi mengenai Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) di Indonesia. Bukan saja di Jakarta yang merupakan pusat penyelenggaraan negara, tetapi juga di daerah-daerah yang kemudian berimbas pada terpuruknya hubungan-hubungan kemanusiaan. Sikap pro dan kontra terhadap pengesahan RUU APP ini lahir sebagai ungkapan kepedulian terhadap moralitas manusia Indonesia yang katanya “semakin terpuruk”. Tetapi sejalan dengan itu, ancaman dan paksaan juga terus menerus dilakukan oleh sekelompok orang atas nama moralitas. Pertanyaannya, moral macam apa yang harus diperjuangkan dengan ancaman dan paksaan yang adalah kekerasan?



Masalah moral memang menjadi perhatian serius bangsa ini. Pertanyaannya, siapa yang dapat menentukan baik buruknya moral seseorang? Bukankah moral itu lahir dari proses pergulatan panjang manusia untuk menemukan ”jalan kehidupan” yang dipengaruhi pelbagai faktor: ekonomi, sosial, psikis, politik, kultur, insting, dan kepentingan pribadi. Apabila negara yang kemudian harus menentukan arah moralitas masyarakatnya. Kaum miskin dan perempuan tidak akan pernah bisa melepaskan diri dan tetap menjadi korban ketika bangsa ini berbicara tentang moral. Tidak berarti kita harus patah semangat dan membiarkan pengorbanan ini terus terjadi. Masih banyak cara dan jalan untuk tidak lagi membiarkan diri menjadi korban birokrasi, pasar dan pesan-pesan moral keagamaan tertentu.

Moral Bangsa
Suatu konstitusi negara akan memuaskan manusia sebagai makhluk moral dan religius jika nilai-nilai moral dan agamanya juga diperhitungkan di dalam kehidupan publik. Namun, nilai-nilai itu harus diuji dulu lewat asas kepublikan, yakni apakah nilai-nilai itu, misalnya dari agama atau suku tertentu, dapat diterima oleh pihak-pihak lain secara universal dan tanpa paksaan.
Pancasila telah menjawab kebutuhan akan kepuasan itu. Seluruh nilai-nilai moral dan agama dapat ditemukan dalam Pancasila. Dengan demikian, moral bangsa kita adalah Pancasila. Ketika semua orang bebas beragama dan menjalankan agamanya di negeri ini, maka bangsa kita adalah bangsa yang bermoral. Yang terjadi adalah tidak semua orang dapat bebas menjalankan agamanya di setiap jengkal tanah negeri ini. Ada tempat-tempat tertentu di mana orang dilarang ketika ingin bertemu dengan Tuhan dan melepaskan dahaga nuraninya. Apakah kita bangsa yang bermoral? Ketika semua orang dihargai kemanusiannya secara adil dan beradab, maka kita adalah bangsa yang bermoral. Yang terjadi adalah ketidakadilan dan kebiadaban sering muncul mewarnai kehidupan bangsa ini. Sedikit persinggungan melahirkan kerusuhan dan berakhir dengan kekerasan atas nama kelompok, tradisi, agama bahkan Tuhan. Apakah kita bangsa yang bermoral? Ketika semua orang menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan Indonesia, maka kita adalah bangsa yang bermoral. Yang terjadi adalah ketika orang menjunjung tinggi persatuan Indonesia dalam arti politis untuk mempertahankan setiap jengkal tanah republik ini, malahan dijadikan penjahat HAM. Belum lagi ketika bicara kesatuan dan selalu saja terjadi pemaksaan kehendak baik secara vertikal, negara terhadap masyarakat maupun horisontal, kelompok masyarakat yang satu terhadap yang lain dalam dinamika pluralitas bangsa. Apakah kita bangsa yang bermoral? Ketika semua orang menjunjung tinggi demokratisasi dan bijaksana mengambil keputusan yang berhubungan dengan masa depan bangsa ini, maka kita adalah bangsa yang bermoral. Yang terjadi adalah masa depan bangsa ini dipertaruhkan demi kepentingan sekelompok orang yang memiliki kekuatan dan berada pada jalur-jalur kekuasaan atau dekat dengan kekuasaan sehingga kepentingan kelompok atau golongan dipaksakan untuk menjadi kepentingan bangsa dan negara. Apakah kita bangsa yang bermoral? Ketika semua orang merasakan keadilan dan berlaku adil terhadap orang lain dalam dinamika berbangsa dan bernegara kita, maka kita adalah bangsa yang bermoral. Yang terjadi adalah jurang perbedaan antara yang kaya dan miskin semakin lebar, yang kuat dan lemah semakin berbeda. Penghisapan dan eksploitasi atas nama kepentingan bangsa dan negara selalu saja terjadi dan masyarakat kecil yang terus menerus merasakan akibatnya. Apakah kita bangsa yang bermoral?
Kegagalan bangsa ini menunjukkan jati dirinya sebagai bangsa yang bermoral Pancasila bukanlah dimulai dari rakyatnya, tetapi dimulai dari para pemimpinnya. Logika yang tersembunyi di balik perjuangan dalam rangka memperbaiki moralitas bangsa saat ini adalah penindasan dan penguasaan. Ini adalah sejenis kecurigaan yang patut dikemukakan mengingat alat perjuangan yang dipakai adalah juga kekerasan, mulai dari pemaksaan wacana sampai pada kekerasan fisik. Di sinilah ketidakadilan terjadi dan sudah menjadi tradisi berbangsa kita mulai dari dibentuknya negara ini dengan segala peraturan di dalamnya, bahwa ada wacana besar (baca: Kisah Agung) yang terus menerus digunakan untuk menguasai wacana-wacana kecil dan lokal.

Serangkaian Tugas Etis
Dalam gagasan etika postmodernisme, tugas etis manusia adalah bagaimana menjaga kepelbagaian itu tetap ada dan wacana-wacana kecil mendapat tempat yang setara. Dengan demikian, upaya menghadirkan yang tidak mampu hadir adalah tugas etis praktis. Dengan demikian, arah perjuangan etis adalah pembebasan dan perlawanan. Perjuangan agar hak tradisi kecil yang tersingkir kembali diangkat dan dibebaskan dari kungkungan “sang pusat dan sang dasar”. Dengan mengusahakan relasi egaliter dari semua wacana yang ada, maka perbedaan dirayakan dan diakui saling memperkaya tanpa ditindas oleh Kisah Agung apapun.
Walaupun demikian, kita sementara berhadapan dengan sebuah paradoks antara satu dunia tunggal dan beragam dunia majemuk, antara wajah global dan wajah lokal, antara universalitas dan partikularitas, sehingga ketika membicarakan tanggung jawab etis, maka perbedaan yang ada harus saling memperkaya.
Berhadapan dengan globalitas dunia, lokalitas keindonesiaan tidak mesti menyikapi dengan ekstrem yang kemudian menyudutkan keindonesiaan itu sendiri. Keindonesiaan kita adalah Indonesia yang terdiri dari beragam budaya dan tradisi, beragam agama dan nilai-nilai moral, beragam masyarakat dan tingkatan hidup. Sikap yang ekstrem hanya akan lebih memperlebar perbedaan. Perbedaan Indonesia sampai saat ini adalah perbedaan yang saling menindas. Moralitas bangsapun digagas dalam wacana yang menindas, entah itu dari hubungan antar agama, maupun antara perempuan dan laki-laki.

RUU APP dan Kekhususan Bagi Papua
Untuk Papua, segala sesuatu ternyata berbunyi “khusus”, demikian pula halnya dengan RUU APP ini. Gaung tanggapan terhadap RUU APP di Papua dalam pengamatan penulis ternyata biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Padahal Balkan Kaplale sebagai orang yang bertanggung jawab dalam pembahasan RUU APP ini pernah mengatakan bahwa “khusus untuk daerah Bali dan Papua, akan diberlakukan Perda yang mengatur lebih lanjut kehidupan masyarakat sesuai dengan budayanya”.
Kekhususan ini yang kemudian menurut penulis mewajibkan para pengambil kebijakan dan masyarakat Papua umumnya untuk melihat dan membicarakan segala hal yang berkaitan dengan RUU APP sejak dini. Dalam kerangka itu, bagaimana masyarakat Papua memposisikan diri adalah penting. Apakah memilih untuk pro atau kontra atau memilih untuk tidak memilih atau membicarakannya dalam keterbukaan dan perbedaan yang ada dengan tidak mengedepankan wacana salah satu kelompok tertentu?
Kalaupun RUU APP jadi disahkan, maka pembuatan Perda dalam rangka pelaksanaannya juga mesti melibatkan masyarakat yang tentunya membutuhkan sumber daya tidak sedikit. Oleh sebab itu, menurut penulis, studi-studi yang berhubungan dengan hal itu harus secepat mungkin dimulai, karena RUU APP dengan segala perubahannya kemungkinan besar akan tetap disahkan menjadi UU APP, apalagi waktu yang diberikan oleh DPRRI adalah bulan Juni ini. Pemerintah Pusat tentunya tidak mau kehilangan muka dalam konsensus politik seperti ini, walaupun dengan mengorbankan aspirasi sebagian masyarakat bangsa ini.

1 komentar:

Steve Gaspersz mengatakan...

Nyong manis...danke lai su mangente kaka pung walang yang masih talamburang juga. Hehehe... Tapi senang bisa bakudapa di dunia maya dengan percik-percik gagasan yang nakal dan talamburang seperti ini. Siapa tau katong bisa susun suatu teori "dekonstruksi realitas talamburang". Hahaha...

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"