Selasa, 20 Mei 2008

Kesewenang-Wenangan Yesus

Dari judul di atas, saya yakin akan membuat teman-teman dan saudara-saudara saya yang percaya dan menyakini Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat menjadi marah. Bagi saya, kemarahan dan kritikan itu boleh dilancarkan habis-habisan, asal jangan pernah berniat apalagi mengutuk atau membunuh saya karena kemarahan yang berujung pada kutukan atau pembunuhan itu – menurut saya – adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan.
.....................



Berbicara tentang tindakan yang sewenang-wenang, pernahkah anda mendengar atau membaca bahwa Yesus yang diyakini sebagai Tuhan itu juga pernah bertindak sewenang-wenang? Untuk menjawab hal ini sebenarnya bukan tergantung dari keinginan para penulis teks Alkitab atau saya, tetapi tergantung dari bagaimana teks Alkitab itu ditafsirkan dan dimaknai dengan kacamata anda dan saya. Kacamata apa yang dipakai tentunya menentukan hasil bacaan kita. Ketika kita meyakini bahwa Alkitab itu adalah firman Allah dan firman Allah itu tidak dapat salah dan dengan demikian Alkitab itu tidak dapat salah, maka anda akan sangat marah bila berhadapan dengan judul di atas. Tetapi bagi anda yang memahami Alkitab sebagai sekumpulan tulisan yang ditulis oleh manusia pada zamannya masing-masing dengan tujuan dan maksudnya masing-masing dan diturunkan kepada kita dengan dibungkus oleh dogma-dogma yang juga dipikirkan dan dirumuskan oleh manusia, maka studi kritis kepada Alkitab sudah selayaknya dilakukan bukan untuk menjadikannya sebagai hal tak berharga, tetapi guna menemukan sisi lain dari dunia para penulisnya yang bermasalah ketika diperhadapkan dengan pandangan dunia saat ini. Dapatkah anda membayangkan ketika Alkitab dibaca menggunakan kacamata feminisme atau kapitalisme atau komunisme atau yang lainnya? Alkitab akan menjadi sumber inspirasi bagi semua orang baik itu kaum feminis, kapitalis, komunis, environmentalis, dll.
Apa itu tindakan sewenang-wenang? Istilah ini sering kita dengar dalam kehidupan bersama setiap hari. Kita sering mendengar kata-kata seperti ”hubungi pihak-pihak yang berwenang dalam masalah ini”, ”Saya tidak mempunyai kewenangan untuk membantu anda”, ”Kewenangan lembaga ini hanyalah dalam rangka menjelaskan”, dan lain-lain. Menurut saya, sewenang-wenang lebih merujuk pada tindakan yang dilakukan untuk menunjukkan kekuasaan atau power. Orang atau lembaga yang memiliki kewenangan adalah mereka yang berkuasa atau memiliki power untuk itu. Dengan kuasanya itu, mereka dapat bertindak apa saja sesuai dengan kewenangan itu. Masalahnya adalah ada kewenangan yang diberikan oleh orang lain, ada kewenangan yang muncul begitu saja. Kewenangan yang diberikan oleh orang lain sepertinya lebih demokratis, artinya dalam suatu kelompok dengan begitu banyak kepentingan individu yang harus diperjuangkan, maka kelompok itu dapat memberikan kewenangan kepada seseorang yang dipercaya untuk memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka. Atau kewenangan diberikan oleh pihak yang lebih berkuasa kepada pihak di bawahnya sebagai pengantara atau perpanjangan tangan mereka di tingkat akar rumput. Bagaimana dengan kewenangan yang muncul sendiri? Kadangkala kewenangan seperti ini hanya ada pada masyarakat yang mengandalkan hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang akan bertahan dan memiliki kuasa juga kewenangan sehingga dapat bertindak sewenang-wenang kepada mereka yang lemah dan dikuasainya.
Kewenangan juga dapat dikonstruksi berdasarkan kisah-kisah dan mitos-mitos yang lahir sebagai jiwa suatu kebudayaan masyarakat, mulai dari pra-modern dan modern (adakah masyarakat post-modern?). Kisah-kisah itu mengisyaratkan adanya semacam ritus-ritus guna terus memelihara pemaknaannya dalam suatu komunitas. Ritus-ritus itu kemudian melahirkan struktur-struktur sosial masyarakat dengan fungsi dan peranan tertentu yang dimaknai dari kisah dan ritus tadi. Sehingga dalam masyarakat tradisional misalnya, ada dewan ada, kepala suku, ada dukun atau pendeta suku, ada panglima perang, dll yang juga memiliki kewenangan tersendiri.
Dalam masyarakat modern, struktur masyarakatnya juga mengisyaratkan adanya kewenangan-kewenangan tersendiri yang sebagian besar merupakan transformasi bentuk dan makna dari masyarakat tradisional. Bahwa dalam suatu negara bangsa, ada yang menjadi perwakilan dalam suatu dewan rakyat, kepala negara, menteri yang mengurus berbagai bidang kehidupan, kepadal daerah, dll yang memiliki kewenangan tersendiri.
Kewenangan yang diberikan itu kemudian tidak dapat digunakan dengan sewenang-wenang. Apabila digunakan dengan sewenang-wenang, maka kewenangan itu akan diakhiri oleh mereka yang memberikan kewenangan.
Lain halnya dengan kewenangan yang tidak diberikan tetapi sudah melekat sendirinya dengan diri orang atau lembaga yang memilikinya. Dalam cerita-cerita kepahlawanan kuno, para pahlawan dan musuh-musuh mereka memiliki kewenangan yang dapat digunakan dengan sewenang-wenang. Hal ini sebenarnya merefleksikan bahwa pernah pada suatu waktu, kehidupan manusia dipenuhi dengan tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap sesama dan lingkungannya. Bandingkan dengan kewenangan-kewenangan yang digunakan dengan sewenang-wenang oleh orang-orang dan lembaga-lembaga masa kini. Saya kira yang paling banyak bertindak sewenang-wenang di zaman modern ini adalah lembaga-lembaga penegak hukum yang diberikan kewenangan menegakkan hukum apa pun situasi dan kondisinya.
Sepertinya sudah terlalu jauh membicarakan tentang kewenangan dan penggunaannya secara sewenang-wenang. Kita kembali pada topik pembicaraan, tentang Yesus yang diceritakan bertindak sewenang-wenang. Bagi sebagian besar orang, peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam Alkitab adalah benar-benar terjadi. Sementara bagi sebagian kecil lainnya, masih dipertanyakan, mana peristiwa-peristiwa, ucapan-ucapan Yesus yang benar-benar dilakukan dan diucapkan oleh Yesus sendiri.
Untuk tidak mengecewakan anda, saya akan melihat dari sisi pertama, bahwa semua peristiwa dalam Alkitab itu benar-benar terjadi. Saya ingin mengajak anda membaca bagian Alkitab dalam Injil menurut ”Matius”, pasal 21: 18-22. Saya mencoba untuk mengutipnya di bawah ini, dan pada bagian berikutnya, saya ingin menunjukkan bahwa penceritaan tentang peristiwa yang dilakukan oleh Yesus ini adalah suatu bentuk kesewenang-wenangan Yesus dalam kacamata masa kini.

18Pada pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota, Yesus merasa lapar. 19Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon itu: "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!" Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu. 20Melihat kejadian itu tercenganglah murid-murid-Nya, lalu berkata: "Bagaimana mungkin pohon ara itu sekonyong-konyong menjadi kering?" 21Yesus menjawab mereka: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu percaya dan tidak bimbang, kamu bukan saja akan dapat berbuat apa yang Kuperbuat dengan pohon ara itu, tetapi juga jikalau kamu berkata kepada gunung ini: Beranjaklah dan tercampaklah ke dalam laut! hal itu akan terjadi. 22Dan apa saja yang kamu minta dalam doa dengan penuh kepercayaan, kamu akan menerimanya."

Mari kita baca baik-baik bagian Alkitab ini dan ambil waktu sedikit untuk memikirkannya. Apa yang anda pikirkan tentang bagian bacaan ini? Mungkin bagi sebagian besar orang, ketika membaca bagian ini sebenarnya tidak ada masalah. Yang dipikirkan adalah betapa berkuasanya Yesus sehingga Ia bisa mengeringkan Pohon Ara hanya dengan ucapanNya saja. Betapa kuatnya contoh yang disampaikan oleh penulis bagian ini tentang bagaimana iman karena percaya dan tidak bimbang itu memiliki dampak begitu besar, bahkan dapat memindahkan gunung ke laut. Betapa dahsyatnya iman seperti itu. Ya, memang iman seperti itu adalah iman yang dahsyat, sehingga hanya dengan berkata-kata, apa yang akan kita katakan terkabullah.
Ok,.... Ok,...... tapi mari membacanya dengan baik dan hati-hati sambil merenungkan tiap kata yang ada (saya tidak ingin memperhadapkan anda dengan kata-kata bahasa Yunaninya yang asli karena saya yakin pada lembaga yang memiliki kewenangan untuk menerjemahkan Alkitab ini, bahwa mereka telah melaksanakan kewenangannya itu dengan tidak sewenang-wenang).
Saya cenderung melihat setiap bagian dari Alkitab sebagai cerita dan bukan yang lain. Ya, ini memang gagasan yang dibungkus dalam bentuk cerita oleh penulisnya.
Pada ayat 18 ditulis Pada pagi-pagi hari dalam perjalanan-Nya kembali ke kota, Yesus merasa lapar. Diceritakan bahwa sehari sebelum peristiwa itu, Yesus bersama murid-muridNya memasuki Kota Yerusalem di mana Ia dielu-elukan dan kemudian bertindak menyucikan Bait Allah dengan cara mengusir semua orang yang berjual beli di halaman Bait Allah, membalikkan meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang Merpati (Mat. 21:12). Setelah semua yang dialaminya hari itu, Ia meninggalkan mereka dan pergi ke luar kota, ke Betania, dan bermalam di situ. (Mat. 21:17). Pada pagi hariNya ketika Yesus berjalan kembali ke kota, Ia merasa lapar. Dapat anda bayangkan bagaimana seseorang yang sehari sebelumnya diliputi dengan kemarahan yang sangat besar dan pada pagi harinya merasa lapar. Bayangkan itu terjadi terhadap anda dan saya. Pasti tindakan yang pertama dilakukan adalah berupaya menemukan apa saja yang dapat dimakan.
Pada ayat 19 ditulis Dekat jalan Ia melihat pohon ara lalu pergi ke situ, tetapi Ia tidak mendapat apa-apa pada pohon itu selain daun-daun saja. Kata-Nya kepada pohon itu: "Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya!" Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu. Ia melihat ada Pohon Ara. Apa dan bagaimana posisi Pohon Ara dalam Alkitab? Pohon Ara adalah salah satu pohon yang cukup banyak disebutkan dalam Alkitab. Daun Pohon Ara adalah pakaian pertama manusia dalam cerita Kejadian ketika manusia mendapati dirinya telanjang (Kej. 3:7); Tanpa Pohon Ara di suatu tempat, umat Israel merasa tidak akan punya kehidupan, hal itu dapat dilihat dalam cerita tentang umat Israel yang bertengkar dengan Musa mengenai masa depan mereka dalam perjalanan keluar dari Mesir (Bil. 20:5); Pohon Ara menjadi simbol kemakmuran dan kesuburan suatu daerah (Ul. 8:8); Pohon Ara dipakai sebagai simbol kekuasaan setelah Pohon Zaitun dalam cerita yang disampaikan Yotam kepada umat Israel. Jelas dalam perumpamaan itu, Pohon Ara tidak mau menjadi raja karena akan meninggalkan segala kemanisan dan buah-buahnya yang baik (Hak. 9:10-11); Pohon Ara adalah lambang kesejahteraan dan ketentraman (1 Raj. 4:25); Pohon Ara adalah salah satu pohon yang memberikan kekayaan (Hos. 2:22); Pohon Ara dapat menjadi penanda musim (Mrk. 13:28). Dengan memperhatikan begitu banyak bagian Alkitab yang menceritakan tentang kedudukan Pohon Ara dalam kehidupan umat Israel, maka dapatlah dikatakan bahwa Pohon Ara adalah salah satu pohon yang penting. Menurut saya, karena posisinya itulah, maka penulis menggunakannya dalam cerita ini.
Lebih lanjut, ketika Yesus mendekati pohon itu, yang didapati hanyalah daun-daunnya saja. Dalam keadaan lapar, ditambah dengan apa yang dicari tidak ditemukan pada pohon itu, maka Yesus kemudian berkata Engkau tidak akan berbuah lagi selama-lamanya! Pertanyaannya, ucapan ini menunjukkan apa? Bagi sebagian orang, kata-kata ini tidaklah terlalu penting, karena yang penting adalah akibat dari kata-kata itu sendiri, yaitu Pohon Ara itu dengan seketika menjadi kering. Bagi saya, kata-kata ini sangatlah penting. Ini adalah semacam kutukan yang diucapkan oleh Yesus kepada pohon itu. Pertanyaannya adalah apa motivasi yang melatarbelakangi sehingga kata-kata itu harus dikeluarkan? Karena saya mencoba mendekati bagian ini dengan pandangan bahwa cerita ini benar-benar terjadi, maka kata-kata ini – menurut saya – menandakan kemarahan Yesus yang luar biasa. Marah karena masih terpengaruh dengan situasi kemarin, marah karena lapar, marah karena rasa lapar itu tidak bisa segera diatasi, marah karena tidak mendapati apa-apa – dalam hal ini buah – pada Pohon Ara itu.
Hal yang membuat Yesus mengeluarkan kata-kata itu adalah kemarahan. Kemarahan itu pula yang mengakibatkan adanya tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh Yesus terhadap Pohon Ara itu. Apa artinya? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti memahami apa yang dikatakan oleh Alkitab tentang kewenangan-kewenangan Yesus. Untuk mendapatkan gambaran tentang kewenangan Yesus, dapat kita lihat cerita-cerita tentang apa yang dilakukannya setiap saat. Ia berkhotbah, Ia memilih murid, Ia menyembuhkan orang sakit, membangkitkan orang mati, mengusir setan, memberi makan banyak orang, dan lain-lain. Dengan cerita-cerita seperti itu, jelas Yesus punya kuasa dan memiliki kewenangan. Apakah ia memiliki kewenangan untuk mengutuk Pohon Ara? Menurut saya, Yesus telah bertindak sewenang-wenang terhadap Pohon Ara itu. Yang didapatinya hanyalah daun, daun pohon itu tidak dapat mengatasi rasa laparnya, ia mengucapkan kata-kata, akibatnya pohon itu menjadi kering “Dan seketika itu juga keringlah pohon ara itu”.
Jadi dalam kacamata saya, ayat-ayat berikutnya tidak lagi terlalu penting untuk dibicarakan, karena secara naratif itu hanyalah pembelaan Yesus terhadap kesewenang-wenangannya itu. Bahwa ketika para muridNya memiliki kepercayaan dan tidak bimbang, jangankan Pohon Ara, Gunung pun dapat dipindahkan mereka.
Apa jadinya bila Yesus seperti itu ada pada saat ini, melampiaskan kemarahan-kemarahan dan rasa laparNya pada pohon-pohon. Bahaya dong ......... Bukankah satu pohon saat ini sangat berharga, tidak penting dia berbuah atau tidak, tetapi selama masih ada pohon dan pepohonan, itu tandanya masih ada kehidupan?
Ok, sudut pandang pertama telah saya jelaskan, bahwa cerita ini memang benar-benar terjadi. Tetapi tidak cukup sampai di situ, saya hendak menyampaikan sudut pandang yang kedua. Menurut saya, bisa saja cerita ini tidak pernah terjadi tetapi dikisahkan oleh penulis Injil Matius untuk menunjukkan tentang dampak dari iman, rasa percaya yang tidak bimbang. Kalau begitu, yang patut diperhatikan adalah kesewenang-wenangan penulis Injil Matius untuk menggunakan kewenangannya menulis kisah dengan mengkisahkan kisah pengutukkan Pohon Ara.
Yang perlu diperhatikan dari sudut pandang kedua ini adalah pandangan dunia penulis Injil Matius pada waktu itu. Apakah masalah ekologi cukup penting dibicarakan atau belum merupakan masalah yang serius? Ternyata masalah ekologi ini baru menjadi masalah bersama pada akhir-akhir ini. Ketika ilmu pengetahuan yang berkembang menghasilkan studi-studi penting tentang lingkungan hidup dan saling ketergantungan kita dengan semua yang ada di muka bumi ini.
Pertanyaannya, bagaimana dengan keyakinan-keyakinan tradisi suku-suku yang sangat menghargai lingkungannya? Bukankah itu jauh ada sebelum ilmu pengetahuan mendapat tempatnya dalam masa pencerahan? Sulit juga menjawab pertanyaan seperti ini, tetapi saya mengajak kita untuk melihat dunia makna yang membentuk pemahaman keagamaan penulis Injil Matius. Menurut salah satu pemikir Ecological Humanism, Steven Fesmire, agama-agama supernatural sangat miskin dengan sumber-sumber yang dapat membimbing kita pada upaya membangun tanggung jawab ekologis, apalagi moral ekologis yang peka. Hal itu disebabkan karena agama-agama supernatural yakin bahwa gagasan-gagasan keagamaan mereka adalah wahyu. Hampir semua agama wahyu tidak terlalu memikirkan lingkungan hidup.
Dapat kita lihat dalam hukum-hukum agama wahyu seperti Yahudi, Kristen dan Islam yang begitu miskin dimensi ekologisnya. Dalam kekristenan dikenal hukum Kasih, “kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hati, jiwa dan akal budimu dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Hukum seperti itu dapat memberikan gambaran kepada kita bahwa pada zamannya, masalah ekologi bukanlah hal yang penting dibicarakan. Kalau saja kita dapat menambahkan sesuatu pada Alkitab, saya ingin menambahkan bagian ketiga dari hukum kasih itu, ”kasihilah alam dan lingkunganmu seperti engkau mengasihi Allah, dirimu sendiri dan sesamamu manusia”. Kalau ada tambahan seperti itu, apakah kepadaku akan ditambahkan malapetaka-malapetaka seperti tertulis dalam Wahyu 22:18? Menurutku, bila bagian ini tidak ditambahkan, maka malapetaka sesungguhnya sementara menanti kita, karena moral keagamaan kita yang sangat miskin dengan pendekatan-pendekatan lingkungan hidup.
BTW, apakah dalam cerita itu Yesus memang bertindak sewenang-wenang? Silahkan ditafsirkan dan dimaknai sendiri. Saya telah menyampaikan Penafsiran dan pemaknaan saya.


Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"