Kamis, 11 Desember 2008

Refleksi Terhadap Kemalukuan

Apa yang saya sampaikan pada tulisan sebelum ini dengan judul Agama di Maluku sudah Ancor Talamburang sebenarnya bukan ekspresi yang lahir dari refleksi mendalam terhadap fenomena keberagamaan di Maluku/Ambon. Bagi saya, itu lebih tepatnya sebagai bentuk ekspresi yang lahir dari kemarahan yang tidak dapat terungkap kecuali lewat kata-kata. Kemarahan demi kemarahan timbul dalam dada karena sebagai salah seorang anak negeri Masohi, melihat kenyataan bahwa Masohi hanya begitu-begitu saja sejak ditinggalkan tahun 1996 silam. Setelah 12 tahun ditinggalkan, tidak ada yang dapat dibanggakan dari Masohi.
Apa yang dapt dibanggakan, pembangunan infrastrukturnya tidak mencerminkan pembangunan pada sebuah kota kabupaten. Pembangunan manusianya dilakukan asal-asalan. Keuntungan demi keuntungan dikeruk oleh orang lain tetapi tidak dikembalikan secara adil untuk Masohi.
Pasti ada yang kemudian beranggapan atau mempertanyakan "mengapa saya tidak kembali ke Masohi dan membangun Masohi, mengapa harus marah dari luar Masohi, apa yang sudah saya berikan kepada Masohi, apakah saya layak marah dengan keadaan Masohi saat ini sementara basudara di sana santai-santai saja menikmati hidupnya?" Pertanyaan ini tentu layak pula dikemukakan kepada semua rekan dan teman yang berada di luar Ambon dan Maluku dan berpikir bahwa kita layak mengekspresikan semua hasil refleksi atau kemarahan kita dengan situasi Maluku.
Seperti yang telah saya sampaikan, dapatkah kita menjadi "katak yang keluar dari tempurungnya untuk mendapatkan dunia lain dan dengan demikian dapat menilai secara kritis dunia bawah tempurungnya itu". Itulah saya dan mungkin juga rekan dan teman-teman di luar Maluku yang mencoba memandang secara kritis kondisi dan situasi Maluku (walau kadang dengan kemarahan) sambil terus berekspresi, syukur-syukur ekspresi kami dipahami dan dimengerti.
Penarikan diri dari dunia asal sebenarnya merupakan salah satu bentuk kekuatan lain dari proses pembaruan itu sendiri. Alangkah lebih baik lagi, ketika sudah menarik diri, mengambil jarak kritis dan bagi saya, jarak kritis itu berarti ruang dan waktu, kembali untuk membangun Maluku (itu maksud adanya KUPAS kapaeee...). Banyak orang yang hanya mampu berekspresi dalam kemarahan tetapi tidak mau "kembali" dalam betuk yang lain (bale muka jua) ke Maluku.
Adakah orang Masohi yang bisa mengatakan dan menghitung-hitung kemajuan Kota Masohi dan wilayah-wilayah sekitarnya 10 tahun terakhir? Yang ada hanyalah penghisapan demi penghisapan yang membuat Masohi kering. Lagi-lagi ujung tulisan ini politis sifatnya. Artinya, semua orang yang berkepentingan di Masohi saat ini tidak mampu membuat Masohi itu terasa penting.
Dalam keadaan seperti itu, maka agama mudah menjadi bahan bakar. Menurut saya, itu adalah salah satu kutub negatif dari agama yang lebih disebabkan karena kepemelukkan agama yang massif sifatnya. Harus diakui, agama masih menjadi salah satu sumber utama moralitas manusia. Tetapi apa jadinya ketika sumber itu kemudian dipolitisasi dan yang lebih menguat adalah sentimen-sentimen negatif daripada moralitas yang menghargai kemanusiaan? Kehadiran agama dalam dua wajah, wajah Tuhan dan wajah Setan inilah yang mesti disadari karena menurut saya, agama tidak selalu berwajah Tuhan. Jadi kalau dalam salah satu komentarnya, Bung Steve Gaspersz menanyakan "Tuhan, Tuhan, apa agama-Mu?" saya mau bertanya, "Setan, Setan, apa agamamu?". Ketika Tuhan dan Setan ada dalam agama-agama, maka moralitas kemanusiaan yang bersumber dari agama kadang tidak mempan untuk menghalangi bisikan-bisikan kekerasan. Bisikan kekerasan itu pun bukanlah lahir begitu saja, tetapi lebih merupakan respons terhadap stimuli-stimuli yang menyerang setannya (kalau Tuhan yang diserang, Ia adalah Maha segala termasuk Maha Pengampun).
Bayangkan kalau stimuli-stimuli itu adalah mengendarai kepentingan-kepentingan politik ekonomi (kadang dianggap sebagai pemicu, tetapi akarnya bukan pada pemicu itu). Untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam tentang politisasi agama-agama, mungkin kita perlu menggunakan metode "Kupas Bawang" sampai menemukan inti terdalam dari bawang itu sendiri.
Pokoknya, ada kemarahan yang bukan sekedar kemarahan biasa tetapi kemarahan yang muncul karena refleksi terus menerus terhadap keberagamaan orang Maluku. Pekerjaan-pekerjaan Perdamaian di Maluku memang tidak akan pernah selesai. Kebanyakan orang yang bolak-balik di Maluku menganggap bahwa proyek mereka dengan Maluku sudah selesai. Mereka adalah orang-orang proyek, yang mengerjakan proyek-proyek besar di atas derita kemanusiaan. Kepedulian-kepedulian seperti itu tidak akan bertahan karena terbangun di atas mental proyek dan bukan atas kepedulian yang sesungguhnya tanpa peduli siapa dan dimana, berapa dan kapan.





3 komentar:

Steve Gaspersz mengatakan...

Kemarahan juga bisa dimaknai sebagai sebentuk lain "kecintaan mendalam". Ucu, beta deng ale mencoba memahami kemalukuan ini dari jiku yang berbeda. Ibarat katong ada lia katong pung rumah: ale lia dari kintal muka, beta lia dari tampa cuci piring di balakang. Tapi katong sama2 memandang "rumah itu".
Beta adalah ambon-kaart. Lahir dan besar di Jawa, lalu memutuskan untuk menghilangkan identitas "kaart" itu dengan memilih studi di Ambon dan menjelajahi seanteru pulau2, hanya untuk belajar menjadi "manusia Maluku" di tanah Maluku.
Ale adalah anak Maluku yang potong pusa di Maluku, menghirup atmosfer tradisi Maluku dalam suasana kekerabatan dan tumbuh dalam belantara semantik kultural Maluku. Ketika ale memutuskan untuk keluar dari Maluku, ale sama sekali tidak "lari" dari Maluku. Karena Maluku adalah "diri". Rene Descartes bilang cogito ergo sum; tapi beta bilang Maluko ergo sum - Maluku adalah mengada diriku.
Beta perlu "place" untuk mengukuhkan identitas kemalukuan itu. Tapi ale tidak lagi melihat Maluku sebagai "place" melainkan "space" (ruang - yang tak terbatasi oleh pagar "place" atau teritori). Atau dengan kata lain, ya itu tadi: sebuah cara mengada yang melampaui keajegan teritori.
Jadi, katong sama2 sedang terus berjuang (mungkin dengan cara berteoblogi seperti ini) untuk menyingkirkan tempurung yang biking katong hanya menyempitkan kemalukuan pada nostalgia basi "beta ingin pulang bangun Maluku". Meski terkadang kalo poro su lapar, maka yang basi pun akan disikat... hehehe mungkin beta masuk kategori orang yang suka dengan yang basi seperti itu makanya beta ingin pulang ke Maluku...
Bagitu tamang ee...

Anonim mengatakan...

Memang seng gampang memaknai 'menjadi Maluku' bung! Tapi mangkali katong bisa memberi jawab atas pertanyaan ini: "apakah memang menjadi Maluku itu adalah perkara 'berada' (position) atau 'mengada' (process)? Beta seng talalu taru kira dua hal itu dalam filsafat yang semakin encer bung cerna kini. Beta cuma kembali pada apa yang pernah beta pelajari, yaitu pada sebuah 'penanda bahasa' lalu mentransfernya dalam apa yang kemudian kita sebut 'semantik' tetapi 'semantik makna'.
Kalu beta coba dari sudut itu, memang katong su 'jatuh' dalam jurang 'stigmatisasi' yang sudah sangat tua di bumi Indonesia ini.
Ini perkara kita 'menjadi Maluku'. Sebab, kalu itu katong tempatkan dalam kerangka keIndonesiaan itu, katong selalu gampang dipojokkan, cuma lantaran narasi sejarah masa lampau yang selalu pula diakronimkan dengan 'tiga huruf' atau 'ampat warna'.
Katong dari waktu ke waktu menyaksikan bahwa 'orang2 proyek' yang ale bilang itu, asal dengan alasan kekuasaan, bisa 'kasi talamburang' katong pung hidop basudara.
Maar kalu ale keker dari kacamata filsafat, mangkali ada fenomena yang menarik ditelusuri; yaitu 'gampangnya katong cakalele iko orang pung tifa'.
Sampe di situ dolo kawan, lalu beta kira mangkali katong musti dudu la tafsir donci 'hela rotang' ulang kapa eee...

Anonim mengatakan...

wah kalo baca tulisannya banyak panjang-panjang, yang ada malah akang semakin menjadi-jadi. karena setengah ingin kupas bawang, satu bikin identifikasi ruang, lalu yang lain ingin mekaji lebih seperti menyelidiki... yang beta mau maluku ini, tapi beta yang lain ingin maluku itu, karenanya tifa orang ketiga menjadi lagu cakalele bahkan tifa orang keempat ikut-ikutan maen lagu kontrol seolah dia membawa lagu damai. sengbisa dong dengar kata Beta saja ka?

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"