Jumat, 21 Januari 2011

Hanya Kritik Terhadap Ide "Tujuan Menghalalkan Cara"

Bagi beberapa orang yang cukup “menggauli” sejarah, sangat memahami tentang istilah “Tujuan Menghalalkan Cara” di Indonesia yang cukup populer di sekitar tahun 1960-an. Istilah itu menunjuk pada cara-cara yang dihalalkan oleh partai-partai politik untuk mendapatkan kekuasaan. Istilah itu lebih sering digunakan kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) yang “jelas-jelas” dianggap menggunakan segala cara untuk mencapai tujuannya. PKI adalah salah satu partai politik di Indonesia yang cukup besar pada waktu itu. PKI dianggap memfitnah, mengintimidasi lawan-lawan politiknya, sampai menuntut pembubaran partai-partai lawan politiknya. Beberapa tokoh Islam terkemuka, antara lain Buya Hamka, ditahan dengan tuduhan kontra-revolusi. Demikian juga HMI, hampir saja dibubarkan dengan tuduhan kontra-revolusi.

Lepas dari seluruh carut marut sejarah yang ditulis dalam perspektif “benar – salah” di negeri ini, ide tentang “tujuan menghalalkan cara” tetap menjadi panduan bagi penguasa. Bisa diikuti catatan-catatan sejarah kontemporer tentang jalannya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Dari catatan-catatan yang mungkin kita temui saat ini, yang cukup berbeda dengan catatan-catatan ketika Soeharto masih berkuasa, dapat dikatakan bahwa istilah itu juga tepat dikenakan pada rezimnya. Otoritarian (pemerintahan yang otoriter) menjadi pilihan untuk melanggengkan kekuasaan. Lawan-lawan politik dibungkam dengan cara-cara yang tidak manusiawi. Tujuan yang didengungkan adalah untuk mencapai Indonesia yang makmur dan sejahtera. Dalam perspektif kaum kapitalis, sebagaimana yang digambarkan oleh Bradley Simpson dalam bukunya Economists With Guns, stabilitas yang aman dan nyaman bagi investasi adalah situasi yang ideal bagi investor (para pemilik kapital = kaum kapitalis) dengan tujuan pembangunan ekonomi suatu bangsa. Dalam rangka stabilisasi keamanan demi kenyamanan investasi itulah pemerintahan otoriter Soeharto sangat direstui oleh kaum kapitalis yang menyelenggarakan pemerintahan negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan sekutunya waktu itu.

Rezim itu memang telah menjadi sejarah, artinya sudah tidak berkuasa lagi dan ketika hendak mengetahui tentangnya, mesti melihat ke sejarah. Tetapi ide tentang “Tujuan Menghalalkan Cara” rupa-rupanya tetap hidup dalam hati dan sanubari manusia Indonesia. Apapun tujuannya, entah itu uang untuk memperkaya diri atau kekuasaan untuk menguasai segala sumber daya yang ada, cara-cara yang hina masih saja dilakukan. Sebut saja yang terakhir sering dibicarakan adalah tentang “Cara Kebohongan” dengan tujuan mendapatkan dukungan rakyat bagi rezim yang berkuasa.

Di antara kita, tiap individu pun masih sering memilih ide ini dalam mencapai tujuan. Ada yang selalu menyatakan tentang tujuan-tujuan yang baik bagi diri dan sesama, tetapi langkah mencapai tujuan itu juga menghalalkan segala cara. Sebut saja cara-cara kotor para politisi kita untuk saling menjegal dan menjatuhkan dengan tujuan “memperoleh suara sebagai wakil rakyat”. Pertanyaannya adalah: Apakah rakyat harus diwakili oleh orang-orang yang menghalalkan segala cara?

Dalam kehidupan bergereja pun, ide ini sebenarnya dipelihara dengan baik. Kalau mau kita renungkan dengan hati nurani (bukan HANURA ya), maka sebenarnya ada juga para pejabat gereja yang menghalalkan segala cara demi tujuan yang dikatakan “baik”. Saya mencoba mengikuti beberapa hal di lingkungan Gereja Protestan Maluku (GPM) dan ada contoh-contoh yang membuat saya harus terpekur. Salah satu contoh tentang bagaimana para pejabat di lingkungan gereja menjadikan ide “tujuan menghalalkan cara” sebagai landasan berpikir adalah keikutsertaan gereja sebagai lembaga mendukung investasi pengolahan lahan menjadi wilayah perkebunan kelapa sawit. Saya sungguh yakin kalau tujuan yang dikemukakan pada saat-saat pembicaraan itu adalah tentang pemanfaatan lahan tidur, pemberian manfaat kepada masyarakat sekitar dengan membuka lapangan kerja, keuntungan yang juga bisa ikut dinikmati oleh gereja (atau jangan-jangan cuma beberapa pejabat tertentu di dalam gereja?). Cara yang ditempuh adalah ikut mendukung, dengan memberikan lahan untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Areal perkebunan yang sudah memakan korban nyawa pada Agustus 2010, tetapi para pemimpin gereja menyatakan tidak tahu menahu tentang hal itu.

Saya dengan tegas hendak menyatakan bahwa para pemimpin gereja yang menjadikan gagasan “Tujuan Menghalalkan Cara” sebagai dasar pikir dan landasan tindakan-tindakan mereka sementara melakukan pembohongan-pembohongan kepada umatnya. Di mimbar-mimbar gereja mereka menyatakan hal yang meninabobokan umat, seperti seorang tukang tambal ban yang berupaya menutupi kebocoran-kebocoran yang disebabkan oleh paku yang ditancapkan orang lain. Begitu juga para pendeta, pemimpin umat terus melakukan kebohongan itu guna menutupi semua pemikiran kritis yang mungkin dan harusnya timbul dari umat. Bagi saya, alangkah lebih baik tidak menjadi pendeta daripada menjadi pendeta yang menghalalkan segala cara demi mencapai ambisi-ambisi pribadi dan kelompok tertentu. Kalau memang benar penghakiman itu ada, memang akan dimulai dari dalam gereja, di mana para pendeta yang selalu menyatakan tentang kasih Tuhan itulah yang akan lebih dulu dihakimi. Tetapi cerita tentang penghakiman itu juga hanyalah narasi yang sifatnya memotivasi agar orang bekerja dengan jujur, tulus dan dengar-dengaran akan seluruh ide besar dalam Kitab Suci.

Ada banyak contoh yang sebenarnya juga diketahui dengan baik oleh para anggota gereja tentang sepak terjang para pemimpin umatnya. Tetapi untuk memberikan kritik, mereka selalu ditakut-takuti dengan gagasan bahwa “Pendeta itu hamba Tuhan, biarlah Tuhan sendiri yang menghakimi para hambaNya”. Kami, umat ini, hamba siapa? Kami tidak menghakimi, cuma melakukan kritik saja. Kalau para pendeta tidak mau dikritik terkait kemunafikan-kemunafikan mereka, sungguh sangat otoriter gaya bergereja kita. Bagi saya, kritik perlu terus dilakukan, selama masih punya hati. Diam adalah kesengajaan untuk memberikan diri ikut menikmati segala kebohongan dan kemunafikan yang terjadi.

Mari, jangan menjadikan diri sebagai hamba uang atau hamba kekuasaan. Jangan menggantikan ALLAH dengan uang atau kuasa di dalam hati kita. Kita memang harus menilik masing-masing ke dalam hati untuk mengetahui, yang bertakhta di sana ALLAH atau uang dan kekuasaan dunia. Tetapi ingat, setiap tindakan kita sengaja atau tidak sengaja akan mencerminkan, penguasa hati kita.

Saya menulis ini dalam kegelisahan yang terus melanda akan situasi bergereja kita. Kalau ada yang tidak senang atau marah dan menyatakan “ini sapa pung puss? (ini kucing siapa? = istilah orang Ambon untuk “seseorang yang tidak penting”), beta mau bilang akronim salah seorang rekan, “Betbarpusap” (Beta barang pusing apa = istilah Ambon untuk: “Saya tidak peduli”).



2 komentar:

WesJohn mengatakan...

Gereja (person, komunitas, lembaga) yang kebal kritik adalah gereja yang menutup kemungkinan bagi karya Roh Kudus yang senantiasa membarui melalui berbagai cara.

So inspiring :)

Anonim mengatakan...

Tuhan seakan-akan tidak ada lagi, sehingga hampir tidak ada lagi manusia yang takut akan Tuhan. Apa jadinya jika Gereja saja sudah tidak takut Tuhan?

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"