Menginjakkan langkah kehidupan di penghujung tahun 2011, ada
sukacita tersendiri. Sukacita dikaruniai seorang anak laki-laki yang
lahir di Ambon. Hal itu juga yang menyebabkan saya harus ke Ambon dan
berada di sini saat perayaan Natal 2011 dan memasuki Tahun Baru 2012.
Tinggal di rumah oma adalah pilihan karena ada cukup banyak tenaga yang
bisa menolong kami saat kesulitan mengurusi anak pertama kami.
Rumah
yang berada di Lateri 3 itu cukup memberikan pandangan yang bagus ke
arah laut karena berada di ketinggian. Posisi itu saya manfaatkan untuk
menikmati pantai sekitar teluk dalam sampai ke arah Negeri Lama dengan
rimbunan hutan bakau. Asyiknya adalah bila saat air laut surut, ada
banyak titik-titik putih di atas pasir lumpur yang tentu saja bisa
terbang. Titik-titik putih itu adalah burung-burung bangau laut yang
sedang mencari makan sepanjang garis pantai.
Kisah titik-titik putih itu ternyata hanya sampai dengan tanggal 26
Desember 2011. Saya terkaget-kaget ketika ingin menikmati surutnya air
laut di tanggal 27 Desember ini, titik-titik putih bertambah banyak,
tetapi sayangnya titik-titik putih kali ini tidak bisa terbang. Tidak puas dengan pandangan mata yang kadang bisa menipu (Platonis
kah ...?? xixixii) saya mencoba mencari bantuan dari lensa kamera saya
yang cukup menangkap realitas di kejauhan itu. Ternyata, titik-titik
putih itu adalah sampah-sampah plastik (saya sangat yakin kalau itu
adalah bekas minuman). Sepanjang mata memandang lewat lensa kamera,
yang ada di garis pantai teluk dalam, khususnya dari Lateri 3 sampai ke
arah Negeri Lama hanyalah sampah plastik berserakan. Ada satu atau dua
burung bangau yang terbang, tetapi terkalahkan oleh latar belakang
sehingga kalau tidak diperhatikan dengan seksama, burung-burung itu pun
akan dianggap seonggok sampah.
Tercengang seakan tidak
percaya, saya teringat perjalanan pulang dari bandara ke rumah ketika
menggunakan jasa mobil angkutan bandara. Dalam perjalanan, sopir mobil
dengan seenaknya melemparkan botol air mineral yang telah habis isinya
ke pinggir jalan lewat jendela mobil. Saya ingin bertanya, tetapi
karena capek melewati perjalanan panjang Jayapura - Makassar - Ambon,
saya biarkan saja. Pemandangan serupa dalam hari yang sama saya temui
sebanyak 4 kali sepanjang jalan Bandara Pattimura - Lateri. Mirisnya,
botol-botol plastik itu keluar dari jendela-jendela mobil berplat hitam.
Waktu
itu, hati saya telah sedikit digelitik perasaan gundah melihat perilaku
"nyampah" di jalanan, tetapi belum juga mau menuangkannya dalam
sepenggal refleksi ini. Pikir saya, itu hanya tindakan satu atau dua
orang yang bersikap apatis dengan lingkungan.
Saat ibadah
persiapan natal, saya kembali diingatkan dengan peristiwa itu ketika
salah satu bagian liturgi natal yang diterbitkan oleh Sinode Gereja
Protestan Maluku menampilkan hubungan antara manusia dan lingkungannya
lewat permohonan ampun dari Tuhan karena "membuang sampah sembarangan".
Seorang
teman mengatakan, "Natal adalah moment 'bakudapa' (=perjumpaan),
sekaligus 'bakubae' (= pendamaian)". Sayang sekali, moment itu hanya
dimaknai sebatas hubungan antara Tuhan dengan manusia dan manusia
dengan sesama manusia saja. Dalam arti, Tuhan turun ke bumi dalam rupa
manusia, 'bakudapa' dengan manusia dalam rangka 'bakubae' karena
terlalu lama manusia hidup dalam dosa. Jadi, natal adalah inisiatif
Tuhan, bukan manusia. Sebagai respons atas inisiatif itu, manusia mesti
'bakudapa' dengan sesamanya dalam rangka 'bakubae'.
Yang
terlupa dari refleksi 'bakudapa' dan 'bakubae' itu adalah ada dimensi
yang menyatu dengan kehidupan manusia karena manusia adalah bagian
darinya, yaitu lingkungan / alam yang melingkupi (di mana manusia
hidup). Dimensi ini hampir selalu terabaikan, atau kalau tidak,
hanyalah mantra-mantra tak berguna dalam ritual-ritual semata. Tindakan
'bakudapa' dan 'bakubae' itu belum melampaui hubungan antara manusia
dengan manusia. Kalau saja refleksi tindakan 'bakudapa' dan 'bakubae'
itu adalah respons manusia atas inisiatif Tuhan untuk 'bakudapa' dan
'bakubae' dengan manusia, maka tindakan 'bakudapa' dan 'bakubae' itu
mesti juga meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk didalamnya
'bakudapa' dan 'bakubae' dengan lingkungan alam hidupnya.
Kenyataan
yang saya tangkap lewat mata kamera itu memberikan sedikit penjelasan
bahwa natal tahun 2011 ini, umat yang merayakannya di Ambon belum
benar-benar merespons tindakan Tuhan itu karena pengertian yang masih
terbatas pada perjumpaan dan pendamaian antara sesama manusia. Sedikit
penafsiran itu semakin jelas ketika natal menjadi peristiwa yang seakan
"melegalkan" nafsu belanja. Penghasilan setahun dihabiskan (bahkan bisa
juga hutang terjadi) saat natal. Selain belanja besar-besaran,
pesta-pesta pun dibuat dengan dibungkus oleh 'semangat' natal yang
hampir tidak jelas lagi. Salah satu faktor ikutannya adalah konsumsi
natal yang berlebihan, melampaui konsumsi hari-hari biasa. Konsumsi
berlebihan di saat Natal itu, menurut saya, menjadi faktor utama
'semaraknya' titik-titik putih peninggalan perayaan natal 2011 di
sekitar garis pantai Lateri sampai Negeri Lama.
Tanya
mengapa? Kalau ada rekan-rekan yang dapat mengingat-ingat natal yang
kita rayakan sekitar sebelum tahun 2000-an, air yang kita minum adalah
air rebusan yang disajikan di gelas kaca, pinjaman dari yang punya
gelas. Kalaupun ada makan-makan, piring yang kita gunakan adalah piring
kaca, juga pinjaman. Setelah pesta natal selesai, piring-piring dan
gelas-gelas itu dicuci bersih, dimasukkan lagi ke dalam kotaknya, untuk
nanti dipinjam lagi kalau ada pesta-pesta, termasuk pesta natal.
Sekarang, pesta-pesta natal kita menggunakan air kemasan yang gelasnya
terbuat dari plastik, habis minum, plastik itu dibuang. Cilakanya,
orang Ambon bilang "bai kalo katong minong satu galas saja (satu galas
air kemasan seng sampe par tutup aus), kalo satu orang minong barang
2-3 galas?" (biasanya 1 orang minum lebih dari 1 gelas air kemasan).
Itu artinya, saat pesta natal saja, satu orang menghasilkan sampah
plastik bekas air kemasan rata-rata 2. Dapatkah dikalikan dengan berapa
jumlah orang, juga berapa jumlah pesta yang dilakukan selama masa natal
itu? Selain gelas bekas air kemasan, piring-piring makan sekarang bukan
lagi piring kaca yang dapat dicuci dan dikembalikan untuk dipakai lagi,
tetapi piring-piring kemasan dalam bentuk plastik atau stirofoam putih
yang sehabis dipakai, langsung dibuang (kalo soal makan, mungkin ada
yang lebih dari satu?). Bagi saya, penggunaan material sekali pakai
itu, ketika tidak dibarengi dengan kesadaran lingkungan yang tinggi,
akan berujung pada pencemaran yang tidak disadari.
Kalau
ada yang bertanya atau menggugat refleksi ini, mari kita gugat dalam
tindakan nyata. Saya sedikit bermimpi agar ada semacam gerakan
pembersihan lingkungan khususnya di sepanjang garis pantai Teluk Dalam.
Para pemuda gereja bisa berperan di situ, daripada cuma membatasi diri
dalam ritual-ritual yang memakan anggaran belanja namun ide-ide bernas
yang mesti diwujudkan dalam tindakan nyata jarang muncul dari sana.
Saya ingin mengajak semua rekan untuk berhenti sesaat "worshipping
Jesus / praise for Jesus" dan mulai bertindak "Following Jesus / act
like Jesus". Bukankah Cabang-Cabang dan Ranting-Ranting AMGPM tersebar
sepanjang garis pantai itu? Atau mau lebih besar lagi, bukankah
Jemaat-Jemaat GPM tersebar sepanjang garis pantai itu?. Jangan cuma mau
"menyampah", tetapi mulailah bertindak membersihkan sampah. Idenya
adalah menjadikan sepanjang garis pantai Teluk Dalam sebagai medan
pelayanan Pemuda Gereja (Medan Pelayanan Gereja - dimulai dari GPM).
Mohon
maaf, ini hanyalah refleksi saya yang seorang musafir. Mungkin di awal
2012 sudah kembali ke tempat tugas di Papua, tetapi harapannya adalah
pokok pikiran dari refleksi ini dapat menjadi ide bersama untuk
'bakubae' bukan saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam
tempat hidup manusia.
Semoga Tuhan sayang kita semua dan menguatkan untuk kerja-kerja kita di Tahun 2012.