Rabu, 28 Desember 2011

Natal, Sampah, Sampah Natal

Menginjakkan langkah kehidupan di penghujung tahun 2011, ada sukacita tersendiri. Sukacita dikaruniai seorang anak laki-laki yang lahir di Ambon. Hal itu juga yang menyebabkan saya harus ke Ambon dan berada di sini saat perayaan Natal 2011 dan memasuki Tahun Baru 2012. Tinggal di rumah oma adalah pilihan karena ada cukup banyak tenaga yang bisa menolong kami saat kesulitan mengurusi anak pertama kami.

Rumah yang berada di Lateri 3 itu cukup memberikan pandangan yang bagus ke arah laut karena berada di ketinggian. Posisi itu saya manfaatkan untuk menikmati pantai sekitar teluk dalam sampai ke arah Negeri Lama dengan rimbunan hutan bakau. Asyiknya adalah bila saat air laut surut, ada banyak titik-titik putih di atas pasir lumpur yang tentu saja bisa terbang. Titik-titik putih itu adalah burung-burung bangau laut yang sedang mencari makan sepanjang garis pantai.


Kisah titik-titik putih itu ternyata hanya sampai dengan tanggal 26 Desember 2011. Saya terkaget-kaget ketika ingin menikmati surutnya air laut di tanggal 27 Desember ini, titik-titik putih bertambah banyak, tetapi sayangnya titik-titik putih kali ini tidak bisa terbang. Tidak puas dengan pandangan mata yang kadang bisa menipu (Platonis kah ...?? xixixii) saya mencoba mencari bantuan dari lensa kamera saya yang cukup menangkap realitas di kejauhan itu. Ternyata, titik-titik putih itu adalah sampah-sampah plastik (saya sangat yakin kalau itu adalah bekas minuman). Sepanjang mata memandang lewat lensa kamera, yang ada di garis pantai teluk dalam, khususnya dari Lateri 3 sampai ke arah Negeri Lama hanyalah sampah plastik berserakan. Ada satu atau dua burung bangau yang terbang, tetapi terkalahkan oleh latar belakang sehingga kalau tidak diperhatikan dengan seksama, burung-burung itu pun akan dianggap seonggok sampah.

Tercengang seakan tidak percaya, saya teringat perjalanan pulang dari bandara ke rumah ketika menggunakan jasa mobil angkutan bandara. Dalam perjalanan, sopir mobil dengan seenaknya melemparkan botol air mineral yang telah habis isinya ke pinggir jalan lewat jendela mobil. Saya ingin bertanya, tetapi karena capek melewati perjalanan panjang Jayapura - Makassar - Ambon, saya biarkan saja. Pemandangan serupa dalam hari yang sama saya temui sebanyak 4 kali sepanjang jalan Bandara Pattimura - Lateri. Mirisnya, botol-botol plastik itu keluar dari jendela-jendela mobil berplat hitam.

Waktu itu, hati saya telah sedikit digelitik perasaan gundah melihat perilaku "nyampah" di jalanan, tetapi belum juga mau menuangkannya dalam sepenggal refleksi ini. Pikir saya, itu hanya tindakan satu atau dua orang yang bersikap apatis dengan lingkungan.

Saat ibadah persiapan natal, saya kembali diingatkan dengan peristiwa itu ketika salah satu bagian liturgi natal yang diterbitkan oleh Sinode Gereja Protestan Maluku menampilkan hubungan antara manusia dan lingkungannya lewat permohonan ampun dari Tuhan karena "membuang sampah sembarangan".

Seorang teman mengatakan, "Natal adalah moment 'bakudapa' (=perjumpaan), sekaligus 'bakubae' (= pendamaian)". Sayang sekali, moment itu hanya dimaknai sebatas hubungan antara Tuhan dengan manusia dan manusia dengan sesama manusia saja. Dalam arti, Tuhan turun ke bumi dalam rupa manusia, 'bakudapa' dengan manusia dalam rangka 'bakubae' karena terlalu lama manusia hidup dalam dosa. Jadi, natal adalah inisiatif Tuhan, bukan manusia. Sebagai respons atas inisiatif itu, manusia mesti 'bakudapa' dengan sesamanya dalam rangka 'bakubae'.

Yang terlupa dari refleksi 'bakudapa' dan 'bakubae' itu adalah ada dimensi yang menyatu dengan kehidupan manusia karena manusia adalah bagian darinya, yaitu lingkungan / alam yang melingkupi (di mana manusia hidup). Dimensi ini hampir selalu terabaikan, atau kalau tidak, hanyalah mantra-mantra tak berguna dalam ritual-ritual semata. Tindakan 'bakudapa' dan 'bakubae' itu belum melampaui hubungan antara manusia dengan manusia. Kalau saja refleksi tindakan 'bakudapa' dan 'bakubae' itu adalah respons manusia atas inisiatif Tuhan untuk 'bakudapa' dan 'bakubae' dengan manusia, maka tindakan 'bakudapa' dan 'bakubae' itu mesti juga meliputi seluruh aspek kehidupan, termasuk didalamnya 'bakudapa' dan 'bakubae' dengan lingkungan alam hidupnya.

Kenyataan yang saya tangkap lewat mata kamera itu memberikan sedikit penjelasan bahwa natal tahun 2011 ini, umat yang merayakannya di Ambon belum benar-benar merespons tindakan Tuhan itu karena pengertian yang masih terbatas pada perjumpaan dan pendamaian antara sesama manusia. Sedikit penafsiran itu semakin jelas ketika natal menjadi peristiwa yang seakan "melegalkan" nafsu belanja. Penghasilan setahun dihabiskan (bahkan bisa juga hutang terjadi) saat natal. Selain belanja besar-besaran, pesta-pesta pun dibuat dengan dibungkus oleh 'semangat' natal yang hampir tidak jelas lagi. Salah satu faktor ikutannya adalah konsumsi natal yang berlebihan, melampaui konsumsi hari-hari biasa. Konsumsi berlebihan di saat Natal itu, menurut saya, menjadi faktor utama 'semaraknya' titik-titik putih peninggalan perayaan natal 2011 di sekitar garis pantai Lateri sampai Negeri Lama.

Tanya mengapa? Kalau ada rekan-rekan yang dapat mengingat-ingat natal yang kita rayakan sekitar sebelum tahun 2000-an, air yang kita minum adalah air rebusan yang disajikan di gelas kaca, pinjaman dari yang punya gelas. Kalaupun ada makan-makan, piring yang kita gunakan adalah piring kaca, juga pinjaman. Setelah pesta natal selesai, piring-piring dan gelas-gelas itu dicuci bersih, dimasukkan lagi ke dalam kotaknya, untuk nanti dipinjam lagi kalau ada pesta-pesta, termasuk pesta natal. Sekarang, pesta-pesta natal kita menggunakan air kemasan yang gelasnya terbuat dari plastik, habis minum, plastik itu dibuang. Cilakanya, orang Ambon bilang "bai kalo katong minong satu galas saja (satu galas air kemasan seng sampe par tutup aus), kalo satu orang minong barang 2-3 galas?" (biasanya 1 orang minum lebih dari 1 gelas air kemasan). Itu artinya, saat pesta natal saja, satu orang menghasilkan sampah plastik bekas air kemasan rata-rata 2. Dapatkah dikalikan dengan berapa jumlah orang, juga berapa jumlah pesta yang dilakukan selama masa natal itu? Selain gelas bekas air kemasan, piring-piring makan sekarang bukan lagi piring kaca yang dapat dicuci dan dikembalikan untuk dipakai lagi, tetapi piring-piring kemasan dalam bentuk plastik atau stirofoam putih yang sehabis dipakai, langsung dibuang (kalo soal makan, mungkin ada yang lebih dari satu?). Bagi saya, penggunaan material sekali pakai itu, ketika tidak dibarengi dengan kesadaran lingkungan yang tinggi, akan berujung pada pencemaran yang tidak disadari.

Kalau ada yang bertanya atau menggugat refleksi ini, mari kita gugat dalam tindakan nyata. Saya sedikit bermimpi agar ada semacam gerakan pembersihan lingkungan khususnya di sepanjang garis pantai Teluk Dalam. Para pemuda gereja bisa berperan di situ, daripada cuma membatasi diri dalam ritual-ritual yang memakan anggaran belanja namun ide-ide bernas yang mesti diwujudkan dalam tindakan nyata jarang muncul dari sana. Saya ingin mengajak semua rekan untuk berhenti sesaat "worshipping Jesus / praise for Jesus" dan mulai bertindak "Following Jesus / act like Jesus". Bukankah Cabang-Cabang dan Ranting-Ranting AMGPM tersebar sepanjang garis pantai itu? Atau mau lebih besar lagi, bukankah Jemaat-Jemaat GPM tersebar sepanjang garis pantai itu?. Jangan cuma mau "menyampah", tetapi mulailah bertindak membersihkan sampah. Idenya adalah menjadikan sepanjang garis pantai Teluk Dalam sebagai medan pelayanan Pemuda Gereja (Medan Pelayanan Gereja - dimulai dari GPM).

Mohon maaf, ini hanyalah refleksi saya yang seorang musafir. Mungkin di awal 2012 sudah kembali ke tempat tugas di Papua, tetapi harapannya adalah pokok pikiran dari refleksi ini dapat menjadi ide bersama untuk 'bakubae' bukan saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan alam tempat hidup manusia.

Semoga Tuhan sayang kita semua dan menguatkan untuk kerja-kerja kita di Tahun 2012.

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"