A.
Pengantar
Setiap
saat manusia diperhadapkan dengan masalah yang dikategorikan sebagai bentuk
“kejahatan”, baik berupa peristiwa yang dialami sendiri oleh tiap orang, maupun
lewat narasi yang disampaikan orang lain atau media masa. Masalah kejahatan dan
penderitaan dapat muncul dalam berbagai bentuk. Bagi para filsuf agama,
kategori umum yang sering digunakan terhadap hal itu adalah kejahatan alam (natural evil) dan kejahatan moral (moral evil). Menurut John Hick
sebagaimana disitir oleh Meister (2009: 129), penderitaan karena kejahatan
moral adalah apa yang berasal dari manusia seperti pikiran kejam dan
ketidakadilan yang meresap ke dalam perbuatan. Kejahatan moral dapat termasuk
“tindakan” seperti berbohong, memperkosa, membunuh, dan lain sebagainya juga
“karakter” seperti kedengkian, keserakahan, iri hati dan sebagainya.
Penderitaan karena alam adalah sesuatu yang terlepas sama sekali dari pikiran
dan tindakan manusia. Hal itu dapat berupa wabah penyakit, bencana alam, dan
lain sebagainya. Walaupun demikian, ada juga penderitaan karena alam yang
disebabkan oleh karena ulah manusia yang tidak diperhitungkan sebelumnya dan
dapat dikategorikan sebagai kejahatan moral.
Dari
semua serangan terhadap klaim-klaim tentang keberadaan Tuhan, masalah kejahatan
menjadi fokus argumentasi yang kuat. Artinya, masalah kejahatan tidak bisa
diabaikan, bahkan oleh para penganut kepercayaan kepada Tuhan karena realitas
kejahatan telah menjadi masalah sejak munculnya teisme itu sendiri. Realitas
itu pula yang menjadi senjata andalan para penganut ateisme untuk
berargumentasi dan menyerang klaim-klaim keberadaan Tuhan. Yang menjadi fokus
perhatian penting kaum teistis atau yang mengakui keberadaan Tuhan adalah
bagaimana mendamaikan fakta-fakta kejahatan di dalam dunia dengan eksistensi
Tuhan yang diakui sebagai Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu. Jawaban-jawaban
filosofis terhadap masalah kaum teistis itu telah diberikan oleh para filsuf
agama baik lewat argumentasi kehendak bebas manusia maupun di bidang teodise.
Dalam
paper ini, penulis hendak menyajikan pemikiran tentang teodise proses yang
dikembangkan berdasarkan filsafat proses dari Alfred North Whitehead
(1861-1947). Pemikiran Whitehead dalam bidang filsafat agama dan teologi
dikembangkan oleh Charles Hartshorne (1897–2000), kemudian John Cobb, Jr. (1925-
), juga David Ray Griffin.
B. Pembahasan
1.
Pendekatan teoretis tentang masalah kejahatan
a. Secara logis
Masalah kejahatan bukanlah sesuatu yang
sederhana, tetapi beragam dan kompleks. Namun demikian, masalah-masalah itu
muncul dari dua keyakinan: (1) Tuhan – yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu –
eksis; (2) Kejahatan – dengan segala manifestasinya dalam kehidupan – eksis.
Ketika kedua premis itu diperhadapkan satu sama lain, maka muncul permasalahan
logika.
David Hume (dalam Peterson dkk, 1996:
235-42) mengemukakan argumentasinya lewat dialog antara Demea, Philo dan
Cleanthes. Dalam bacaan yang hati-hati terhadap dialog mereka, dapat ditemukan
bahwa menurutnya klaim-klaim tentang “Tuhan itu eksis” dan “kejahatan itu
eksis” secara logis tidak kompatibel atau bertentangan. Oleh karena itu, ketika
diperhadapkan dengan realitas bahwa “kejahatan itu eksis”, maka secara logis
“Tuhan tidak eksis”. Kalaupun
klaim-klaim bahwa “Tuhan itu eksis” dan “kejahatan itu eksis” secara logis
kompatibel atau tidak bertentangan, maka kebenaran klaim “kejahatan itu eksis”
lebih kuat dan dapat dibuktikan secara empiris, namun belum dapat menjadi dasar
evidensial untuk menolak klaim bahwa “Tuhan itu eksis”.
b. Secara evidensial
Dikenal
dengan istilah masalah kejahatan yang probabilistis. Jenis argumentasi ini
bersifat induktif, a posteriori dan berdasarkan evidensi. Struktur umum dari argumentasi
masalah kejahatan probabilistis adalah sebagai berikut(Meister, 2009: 135):
1. Jika
Tuhan eksis, maka Tuhan adalah Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu.
2. Sesuatu
yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu dapat menciptakan dunia yang secara logis
tepat.
3. Jika
Sesuatu yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu itu menciptakan suatu dunia, maka
dunia yang diciptakan adalah dunia yang terbaik di antara kemungkinan yang ada.
4. Sesuatu
yang Mahakuasa, Mahabaik dan Mahatahu itu memiliki kekuatan, pengetahuan dan
kehendak untuk mencegah kejahatan dan penderitaan di dalam dunia paling baik
dari semua kemungkinan dunia yang dapat diciptakannya.
5. Oleh
karena itu, adalah mustahil bagi dunia yang eksis (dalam hal ini dunia kita)
yang dipenuhi dengan kejahatan yang besar dan luar biasa, adalah dunia yang
terbaik di antara dunia ciptaannya.
6. Oleh
karena itu, adalah mustahil bagi Tuhan, yang disebut Mahakuasa, Mahabaik dan
Mahatahu itu, untuk eksis.
c. Secara eksistensial
Masalah kejahatan secara eksistensial
cukup sulit untuk didefinisikan. Hal itu disebabkan karena sangat berhubungan
dengan perasaan. Secara eksistensial, masalah kejahatan berhubungan dengan
masalah keagamaan, moral, pendampingan, psikologi dan emosional. Hal sederhana
yang dapat dikatakan dari itu adalah bahwa kejahatan secara eksistensial dapat
membawa pada ketidakpercayaan kepada Tuhan atau kepada suatu agama secara umum
(Meister, 138).
2.
Teisme dalam pandangan Filsafat Proses (Teisme Proses)
Dari penjelasan teoretis tentang masalah
kejahatan di atas, maka ada banyak pendekatan dan argumentasi yang dikemukakan
untuk membela teisme oleh para filsuf. Pendekatan kehendak bebas dan teodise
adalah yang biasa dikemukakan oleh para pemikir filsafat agama.
Pendekatan yang digunakan oleh penulis
di sini adalah teodise proses yang berakar pada filsafat proses, dikembangkan
menjadi teologi proses. Oleh karena itu, sebelum masalah kejahatan dan
kemahakuasaan Tuhan dideskripsikan dalam perspektif teodise proses, hal utama
yang penting dikemukakan adalah tentang teisme dalam pandangan filsafat proses.
Dari sekian literatur, hal itu dikenal dengan sebutan teisme proses (process theism) (Meister, 2009: 142; Stanford Encyclopedia of Philosophy).
Teisme dalam pandangan tradisional
secara metafisik terbagi dalam dua level. Level ciptaan atau natural adalah
level di mana semua ciptaan saling berinteraksi menurut kemampuan interaksi dan
aturan alam yang berlaku. Level lainnya adalah Tuhan dan/atau entitas
supernatural lainnya. Intervensi dari level Tuhan ke dalam level ciptaan
disebut sebagai mujizat. Disebut mujizat karena intervensi itu datang dari
level lain dan merupakan peristiwa supernatural, bukan natural (Keller, 2007: 136).
Teisme proses secara metafisik berbeda
dengan teisme tradisional. Dalam teisme proses, yang disebut sebagai Tuhan dan
ciptaan berada pada satu level yang sama. Untuk memahami mengapa sampai secara
metafisik dalam teisme proses Tuhan dan ciptaan berada pada level yang sama, maka
perlu dilihat pemikiran tentang filsafat proses atau filsafat organisme dari
Whitehead.
Dalam perspektif Whitehead, dunia dibentuk
bukan berdasarkan oleh sesuatu (a thing),
tetapi oleh peristiwa (happenings)
yang disebutnya sebagai entitas aktual (actual
entity) (Berthold, 2004: 80). Entitas aktual atau juga disebut sebagai actual occasions adalah unsur
terakhir/terkecil yang terbayangkan yang membentuk dunia. Tuhan adalah entitas
aktual, demikian juga unsur yang paling remeh di dalam ruang hampa jauh di
sana. Walaupun berbeda dalam gradasi kepentingan dan fungsi, namun secara
prinsipil, semua itu berada dalam level yang sama (Whitehead, 1929: 23).
Walaupun berada pada level yang sama,
Whitehead membedakan actual occasions dalam
empat taraf, yaitu: pertama, adalah actual occasions yang terdapat dalam
ruang hampa; kedua, adalah actual occasions yang merupakan momen di
dalam sejarah-hidup benda-benda tidak hidup, seperti yang disebutnya sebagai
elektron atau proton dan benda-benda primitif lainnya; ketiga, adalah actual
occasions yang merupakan momen di dalam sejarah-hidup benda-benda hidup; keempat, adalah actual occasions yang merupakan momen di dalam sejarah-hidup
benda-benda hidup dengan pengetahuan sadar (Hadi, 1996: 188).
Setiap kenyataan dalam perspektif
Whitehead adalah proses perpaduan yang melibatkan dua kutub, yaitu fisik dan
mental. Kutub fisik merupakan kemampuan kenyataan yang sedang dalam proses
pembentukkan diri untuk menangkap warisan atau pengaruh yang dihasilkan oleh
pelbagai pengada di seluruh dunia yang telah selesai di dalam pembentukkan
dirinya. Kutub mental merupakan kemampuan kenyataan baru yang sedang dalam
proses pembentukkan diri untuk menginterpretasikan menilai dan menyusun
tawaran-tawaran yang ditangkap oleh kutub fisik kemudian disusun sesuai dengan
citra diri atau subjective aimnya.
Hubungan antara semua itu tentu bersifat dinamis dan selalu berubah demi
kepentingannya. Peranan dari kutub fisik dan mental biasanya tidak seimbang
karena tergantung dari taraf kenyataan. Semakin tinggi taraf kenyataan, maka
semakin kecil peran kutub fisik dan semakin besar peran kutub mental. Namun
demikian, taraf lebih tinggi selalu mengandaikan taraf yang lebih rendah. Taraf
yang lebih rendah tidak harus mengandaikan taraf yang lebih tinggi. Pembagian
taraf-taraf kenyataan itu adalah taraf anorganik,
taraf vegetative, taraf sensitive dan taraf rasional. Ketika tiba pada taraf rasional, maka yang penting
diperhatikan adalah pengambilan keputusan. Semua taraf itu menuju pada
pembentukkan diri pengada aktual. Proses pembentukkan diri pengada aktual itu
sendiri dibagi menjadi empat, yaitu tahap
datum atau pengumpulan data, tahap pengolahan data, tahap kepenuhan diri dan tahap
keputusan. Pada tahapan akhir itu, pengada aktual dibahasakan Whitehead
sebagai superjek (yang dilemparkan
melampaui), yang menunjuk pada kenyataan bahwa suatu peristiwa atau benda
merupakan hasil dari interaksi nilai-nilai yang ditawarkan oleh seluruh entitas
aktual yang telah menyelesaikan pembentukkan dirinya (Hadi, 74-5).
Dalam kerangka penjelasan di atas, perlu
juga dimengerti tentang ojek abadi sebagai “hal-hal yang melulu merupakan
kemungkinan bagi determinasi khusus kenyataan, atau bentuk-bentuk
ketertentuan”. Ketertentuan yang dimaksudkan adalah ketertentuan entitas
aktual. Artinya, suatu entitas aktual memuat sejumlah objek abadi yang terbatas
(Hadi, 189-90).
Bila bagi entitas aktual selain Tuhan
proses pembentukkannya melibatkan kutub fisik dan mental, maka bagi Tuhan
sebagai entitas aktual, Whitehead membahasakannya dengan consequent nature dan primordial
nature. Tuhan kemudian dimengerti sebagai entitas aktual yang memiliki
kodrat khusus. Tuhan dalam hakikat primordialNya merupakan realisasi tak
terbatas dari kekayaan kemungkinan yang absolut. Tuhan dalam pengertian itu
dilihat dalam abstraksi lepas dari interaksi-Nya dengan entitas-entitas aktual
di dalam dunia nyata. Tuhan dalam hakikat consequentNya
dapat dimengerti sebagai prehensi dari proses aktual dalam dunia. Prehensi dalam
bahasa Whitehead adalah kegiatan mengambil atau mencerap unsur-unsur dari
lingkungan dalam proses pembentukkan diri setiap entitas aktual. Disebut
sebagai consequent karena hakikat itu
tergantung pada keputusan-keputusan entitas aktual bukan Tuhan lainnya. Kegiatan
konseptual Tuhan adalah tindakan kreatif bebas yang hanya memerlukan
objek-objek abadi sebagai datanya. Kegiatan konseptual itu adalah untuk
menentukan relevansi objek-objek abadi bagi setiap entitas aktual di dalam
konkresinya (perasaan tumbuh bersama untuk menjadi ada yang objektif) (Hadi: 191-2).
Dari penjelasan di atas, jelas bahwa
setiap entitas aktual selalu dimulai dengan upaya pengumpulan data dari masa
lalu. Data masa lalu itu bersumber dari entitas aktual masa lalu dan dari Tuhan
yang juga adalah entitas aktual. Namun entitas aktual di masa lalu dan Tuhan
memberikan kontribusi yang berbeda bagi pembentukkan entitas aktual baru. Tiap
entitas aktual menjadi data yang nantinya akan ditangkap, diolah dan dipilih
dalam pembentukkan entitas aktual baru. Tuhan menentukan kemungkinan atau
relevansi bagi objek-objek abadi untuk setiap entitas aktual baru. Ketika
setiap entitas telah menjadi ada yang
objektif, maka itu adalah keputusan untuk menjadi terlepas dari semua
kemungkinan kemenjadiannya. Kontribusi Tuhan tidak membatasi keputusan meng-ada-nya suatu entitas aktual, tetapi
menyokong keseluruhan keteraturan alam, juga menyediakan sumber-sumber baru
bagi sokongan keteraturan itu (Keller, 2007: 136-8).
3.Kejahatan
dan Kemahakuasaan Tuhan dalam perspektif Teodise Proses
Dalam bacaan singkat tentang teisme
proses di atas, jelas bahwa Tuhan bukanlah penentu absolut bagi keberadaan
suatu entitas aktual. Dengan demikian, Tuhan bukanlah penentu bagi keberadaan
kejahatan, apalagi harus mengatasi atau menguranginya. Keller (2007: 141)
mengemukakan pemikiran teisme proses terkait dengan masalah kejahatan sebagai
berikut: (1) Proses di dalam dunia sangat dipengaruhi oleh masa lalu dan tidak
dipengaruhi oleh akibat apa yang akan terjadi atas manusia atau makhluk-makhluk
lainnya. Kadang-kadang proses itu menjadi
penderitaan bagi manusia dan makhluk lainnya; (2) Penderitaan terjadi karena
makhluk berbeda dalam tujuan, berkompetisi mendapatkan sesuatu; (3) Ada
kejahatan, dalam hal ini kejahatan moral, karena manusia tidak menyesuaikan
keputusannya dengan daya pikat Tuhan yang tersedia demi keteraturan; (4)
Sebagian orang pada waktu-waktu tertentu merasakan dorongan yang kuat untuk
mencegah atau mengurangi kejahatan tertentu. Kadang-kadang dorongan itu menjadi
semacam penggerak bagi gerakan yang lebih luas dan efektif untuk mengurangi
kejahatan tertentu. Jadi, menurut Keller, teisme proses membimbing manusia
untuk menduga-duga jenis-jenis penderitaan yang akan ditemu, sekaligus
jenis-jenis tindakan yang perlu diputuskan untuk mencegah atau menguranginya.
Dalam kerangka itu, teisme proses sangat percaya bahwa suatu dunia yang baik
adalah mungkin dan yang perlu dilakukan adalah menemukan apa yang diberikan
Tuhan, mengambil keputusan dan menjadi entitas aktual yang baik.
C. Penutup
Dari paparan di atas, maka ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu:
- Masalah kejahatan adalah realitas yang diperhadapkan kepada kita setiap hari. Dalam literatur-literatur filosofis, pada umumnya dikenal dua jenis masalah kejahatan, yaitu kejahatan alam (natural evil) dan kejahatan moral (moral evil).
- Masalah kejahatan menjadi penting karena digunakan sebagai argumentasi yang kuat untuk menentang pendapat tentang keberadaan Tuhan. Hal itu dapat dilihat dalam pandangan-pandangan teoretis tentang masalah kejahatan dalam hubungannya dengan keberadaan Tuhan, baik secara logis, evidensial maupun eksistensial.
- Banyak pemikir filsafat agama telah mengemukakan pendapatnya tentang masalah kejahatan dan eksistensi Tuhan. Salah satunya adalah pendapat dari kaum teisme proses yang mendapatkan sandaran filosofisnya pada filsafat proses A.N. Whitehead.
- Teisme proses adalah pemikiran yang menerima eksistensi Tuhan tetapi secara metafisik berbeda dengan teisme tradisional. Perbedaannya adalah bahwa Tuhan tidak ditempatkan pada level yang berbeda dengan makhluk lain dan dunia, tetapi pada level yang sama, yaitu sama-sama sebagai entitas aktual.
- Entitas aktual adalah unsur terkecil yang terbayangkan yang membentuk dunia. Entitas aktual adalah pengada yang terdiri dari taraf-taraf tertentu dan pembentukkannya melalui proses tertentu hingga menjadi ada yang objektif.
Daftar Pustaka
Berthold,
Fred, Jr., (2004), God, Evil and Human
Learning: A Critique and Revision of The Free Will Defense In Theodicy, New
York: State University of New York Press.
Griffin,
David Ray, “Creation out of Nothing, Creation out of Chaos, and the Problem of
Evil,” dalam Stephen T. David, ed., Encountering Evil: Live Options in
Theodicy, new ed. (Louisville, KY: Westminster John Knox Press, 2001),
108–25.
Hadi,
Hardono (1996), Jatidiri Manusia:
Berdasar Filsafat Organisme Whitehead, Yogyakarta: Kanisius.
Keller,
James A. (2007), Problems of Evil and The
Power of God, Hampshire: Ashgate.
Meister, C. V. (2009), Introducing Philosophy of Religion,
London ; New York, Routledge.
Peterson, M. L., et.al. (1996), Philosophy of Religion:
Selected Readings, New York, Oxford University Press.
Whitehead, A. N. (1929), Process and Reality: An essay in cosmology,
New York: The Free Press.