Kamis, 20 Desember 2012

BERKENALAN DENGAN TOBELO: Refleksi 2 Minggu Pertama

Dua (2) minggu sudah saya berkenalan dengan Kota Tobelo. Waktu yang singkat tetapi cukup memberikan gambaran awal tentang situasi sosial dan budayanya. Maunya ku ( ... dirimu ==> Jodohku Anang jadinya) setiap hari dalam 2 minggu ini menulis semacam jurnal terkait perkenalan dengan Kota Tobelo, tetapi kemauan saja tanpa dikerjakan hanyalah mimpi. Bagi saya, daripada tidak menulis sama sekali, lebih baik fakta-fakta perjumpaan itu diendapkan lebih dulu sambil berefleksi tentang perubahan-perubahan yang telah terjadi dan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat saja terjadi. Tentu saja kisah perjalanan ini diawali dengan proses mutasi sebagai dosen kopertis wil. XII dari Jayapura ke Tobelo. Ada tuntutan untuk harus beradaptasi dengan situasi yang baru, tetapi cara untuk itu tidak ditentukan, tetapi dijalani saja seperti air mengalir.

Duduk di depan komputer dan mulai mengisahkan perjalanan 2 minggu ini menyadarkan saya bahwa seleksi atas fakta-fakta yang patut diingat dan fakta-fakta yang tidak terlalu penting secara subjektif telah terjadi dengan sendirinya di dalam memory saya tiap hari. Bahwa ada impresi-impresi tertentu yang ditangkap secara sensual dan menyentuh sampai bilik-bilik logika dan perasaan adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Tetapi tidak semua fakta perjumpaan berujung impresi dan masuk dalam ingatan yang dapat direfleksikan kemudian diekspresikan dalam tulisan ini. Seleksi atas fakta-fakta mana yang patut diingat dan mana yang tidak adalah hal yang tidak dapat dihindari. Dengan demikian, apa yang nanti saya tuliskan di sini adalah apa yang dapat saya ingat dalam 2 minggu terakhir berada di Tobelo.

Berawal dari tibanya saya di Kota Ternate menggunakan KM Lambelu dari Ambon. Beristirahat di rumah pendeta yang melayani di Gereja Ayam (istilah orang Ternate untuk gereja itu) yang saya kenal baik dan dekat. Setelah itu melanjutkan perjalanan dengan menggunakan Speedboat dari Ternate menuju Pulau Halmahera, pulau terbesar dalam gugusan kepulauan Maluku Utara. Selama kurang lebih 40 menit, speedboat menyeberangi lautan dan singgah di daratan Halmahera, tepatnya di Sofifi, wilayah yang direncanakan menjadi Ibukota Provinsi Maluku Utara. Ongkos Speedboat dari Ternate ke Sofifi adalah Rp. 50 rb/orang per Desember 2012 (itu kalau memilih naik Speedboat yang antri). Kalau tidak mau antri, dapat menyewa Speedboat sendiri seharga Rp. 350rb. Dari Sofifi, perjalanan dilanjutkan ke Tobelo dengan menggunakan angkutan darat. Moda transportasi yang digunakan kebanyakan adalah Avanza, Inova, Rush, atau Xenia. Selama 4 jam perjalanan dilakukan, berkelok-kelok, naik turun gunung, dengan kondisi jalan yang sangat mulus (kecuali di beberapa tempat yang jembatannya sementara dibangun). Karena tiba di Sofifi sekitar jam 5 sore, perjalanan ke Tobelo dilakukan menjelang gelap sehingga pemandangan sepanjang jalan tidak dapat dinikmati. Dari perjalanan itu saja, saya dapat berempati dengan masyarakat Tobelo yang harus berurusan ke Ternate (walaupun ada daerah-daerah yang lebih jauh lagi seperti Obi, Bacan, Kep. Sula, dimana teman-teman dari Fak. Teologi Universitas Kristen Indonesia Maluku [UKIM] - Ambon dulu sekarang banyak yang menjadi Pendeta di sana).

Tiba di Tobelo, saya langsung membaca ucapan "SELAMAT DATANG DI BUMI HIBUALAMO". Untuk sementara "numpang tinggal" bersama salah seorang rekan dosen muda Universitas Halmahera. Kesan pertama ketika bertemu rekan-rekan itu adalah keramahan yang tulus. Hmmmm .... tiba di, dan berjumpa juga dengan orang Tobelo. Seperti kata advertizing, kesan pertama begitu menggoda, selanjutnya terserah anda. Kesan itulah yang membuat saya sudah merasa "jatuh cinta" dengan Tobelo. Tetapi tidak mau terlanjur jauh jatuh cinta sebelum mengenal dengan baik (seberapa baik mau dikenal ...??), saya ikut dalam situasi baru tersebut. Bercerita tentang pengalaman-pengalaman sebelumnya, bertanya-tanya tentang situasi di Tobelo dalam pandangan mereka. Rata-rata mereka berpendapat bahwa lebih baik saya mengenal sendiri Tobelo daripada mendengar tentang Tobelo dari mereka. Bagi saya, cukup adil pendapat itu. Sebelum beristirahat, saya sempat menangkap judul salah satu buku di atas meja rekan baru itu yang bertuliskan HIBUA LAMO. Dengan segera saya meminjamnya dan membaca cepat untuk sekilas mengerti apa itu HIBUA LAMO. Dalam bacaan itu, saya mendapati bahwa pengertiannya adalah "Rumah (Hibua) Besar (Lamo)". Hmmmmmm ..... Oke, selamat datang Jusuf Nikolas di Rumah Besar Tobelo. Tepar juga akhirnya setelah melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan tubuh.

Hari ke-2 adalah pagi pertama di Tobelo. Kicauan burung menyambut pagi, sepi dan hangat, tidak seperti di Ambon, apalagi Jayapura. Sepertinya ini suasana idaman (hmmmmm ....).  Hari ini saya pertama kali mengikuti kebaktian Minggu di Gereja Masehi Injili Halmahera (GMIH), Jemaat Kasih Wari Ino, Tobelo. Kebetulan yang berkhotbah di sana adalah rekan saya, Ricardo Nanuru. Karena berada dekat dengan kampus Uniera, kebanyakan anggota jemaat adalah para dosen dan mahasiswa Uniera. Selain liturgi tetap, ibadah disuguhi vocal group dari mahasiswa asal Galela. Menarik karena satu vocal group menggunakan 4 nama pada saat menyanyikan lagu yang berbeda. Tak apalah, yang penting memuji Tuhan, daripada di tempat lain, tak ada yang berani maju melantunkan pujian. Selesai ibadah dan makan siang, motor teman dipinjam untuk putar-putar Kota Tobelo. Rencananya sieh putar-putar saja di Kota yang kecil itu, tetapi rencana berubah ketika perjalanan mulai dinikmati menuju ke arah utara, ke arah Galela. Pada tonggak penunjuk jarak, tercantum Galela 26 KM, akhirnya motor diarahkan ke Galela. Dengan kecepatan rata-rata 40 km/jam, perjalanan itu sungguh saya nikmati. Di kanan kiri perkebunan kelapa, langsa, dan lainnya adalah pemandangan yang menarik. Tanahnya hitam pekat, begitu juga dengan warna batuannya. Ternyata di sana ada gunung berapi bernama Dokuno yang hampir tiap saat memuntahkan kesuburan kepada Tobelo dan sekelilingnya. Tanpa sadar, beberapa tempat saya lewati, belum bisa dihafal satu per satu. Yang sempat diingat hanyalah Gorua, Mamuya (ada sumber air panasnya), Galela. Tiba di Galela, saya memutar balik dan kembali ke Tobelo. Saya sampaikan perjalanan itu kepada teman, dia bilang: "wah abang, saya saja belum pernah pakai motor ini sampai lewat jembatan pertama setelah Uniera, abang tiba langsung jalan ke Galela". Heheheheee .... "kaki panjang" (suka jalan-jalan) juga nieh. Salah seorang teman ketika diceritakan perjalanan itu bilang kalau hanya beberapa km saja dari tempat memutar, saya bisa sampai di Telaga Duma yang terkenal itu. Ketika teman dan paman yang pernah berkunjung ke Tobelo bilang kalau kelapa yang dijadikan kopra adalah hasil utama di Tobelo, saya harus mengaminkan itu setelah melihat sendiri kenyataannya.

Hari Senin adalah hari ke-3 di Tobelo. Pagi hari, setelah mandi, menuju kampus Uniera untuk memberitahukan kedatangan sebagai tenaga dosen baru. Perkenalan dengan beberapa dosen dan karyawan membuat saya bertambah betah saja. Lahan yang luas dengan fasilitas yang masih minimal tetap sudah cukup untuk saat ini adalah kesan pertama saya terhadap Uniera (4 fakultas dengan sejumlah prodi yang rata-rata sudah terakreditasi C - bagi kampus yang baru berdiri tahun 2008 adalah tanda kemajuan berarti). Lebih jauh, internet dapat diakses di mana saja dalam areal kampus atau sekeliling kampus melalui sistem wireless atau LAN yang tersambung ke semua ruangan kerja dosen. Tersedia laboratorium dan koperasi yang cukup memadai. Sepertinya, inilah kampus masa depan di Halmahera Utara dan Maluku Utara.

Hari-hari selanjutnya diisi perkenalan dengan orang-orang di sekitar dan di dalam Kampus Uniera. Selain itu, mencari rumah tinggal adalah prioritas utama sebelum berlibur ke Ambon untuk Natal. Untuk ukuran Kota Tobelo, harga sewa kamar kost rata-rata adalah Rp. 300rb (biasa) - Rp. 750rb sebulan (elite). Dapat dikira-kira, mana yang harga mahasiswa, mana yang harga pegawai dan karyawan. Dibandingkan dengan harga di Jayapura, maka harga seperti itu termasuk murah. Saya sendiri dengan bantuan rekan dosen mendapat tempat tinggal, kamar kost yang cukup nyaman dan terjangkau harganya. Ke depannya, tentu saja kost dan kontrakan di Tobelo akan menjadi primadona karena keberadaan Uniera, Politeknik Padamara, dan salah satu Stikes sebagai kampus-kampus yang mulai berkembang di Halmahera Utara. Para mahasiswanya berasal dari seluruh wilayah Maluku Utara. Hal itu menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan tinggi di Tobelo lewat kampus-kampus tersebut mulai tinggi.

Impresi berikutnya adalah terkait beberapa isu penting yang dibicarakan dan didiskusikan bersama beberapa rekan dosen. Untuk mencari tahu situasi di Tobelo, saya mencoba mengajak tiap rekan dosen yang ditemui untuk menceritakan sekilas Tobelo dalam sudut pandang mereka. Kemajuan adalah hal yang tidak dapat dipungkiri. Namun ada kesadaran juga bahwa kemajuan akan dibarengi dengan kemunduran, khususnya di bidang moralitas dan tradisi lokal. Makin mudahnya masyarakat mengakses informasi dan berkomunikasi lewat media-media baru menunjukkan bahwa masyarakat semakin berkembang ke arah yang lebih baik, dari sisi penguasaan pengetahuan dan informasi mutakhir. Tetapi kemudahan itu pun dibarengi dengan makin mudahnya masyarakat mengkonsumsi nilai-nilai yang menurut beberapa rekan bukanlah nilai lokal. Sebut saja, maraknya tempat-tempat hiburan, bahkan ada anak-anak SMA yang berprofesi sebagai wanita panggilan. Semakin banyaknya rumah kost dan kontrakan yang berdiri juga berujung pada semakin longgarnya pengawasan terhadap aktifitas-aktifitas anak-anak muda. Perubahan adalah keniscayaan, bagaimana menyikapinya adalah tanggung jawab tersendiri bagi orang-orang yang peduli.

Selain hal di atas, kegelisahan berikut yang ditangkap adalah terkait masalah ekonomi. Harga Kopra yang turun drastis belakangan ini membuat kondisi ekonomi masyarakat menjadi lemah. Ada permintaan agar pemerintah daerah turun tangan dalam memperbaiki situasi itu. Dalam pembicaraan yang berkembang, kami sama-sama menyadari bahwa ketergantungan masyarakat pada kopra membuat mereka akan terpukul ketika harga kopra merosot. Diversifikasi hasil olahan dari kelapa yang banyak di Tobelo dan sekitarnya dapat juga menjadi jalan keluar. Tanggung jawab pemerintah dan lembaga-lembaga pendidikan termasuk Uniera adalah menyediakan ruang-ruang bagi pemberdayaan masyarakat terkait ide itu. Mudah-mudahan ide tentang pemberdayaan masyarakat dalam kerangka diversifikasi hasil olahan itu dapat berjalan (memang butuh proses).

Isu lainnya adalah soal kegalauan beberapa rekan tentang makin memudarnya identitas lokal masyarakat Tobelo. Indikator untuk itu adalah soal penggunaan Bahasa Tobelo dalam percakapan sehari-hari. Ada teman yang bercerita: Suatu ketika, bersama seorang rekan yang sama-sama orang Tobelo, mereka berangkat ke Jakarta menggunakan pesawat. Di depan mereka duduk 2 orang yang asyik bercakap-cakap dengan bahasa Jawa. Di samping mereka, duduk 2 orang yang asyik bercakap-cakap dengan bahasa Batak. Sementara mereka berdua yang adalah orang Tobelo, asyik bercakap-cakap dengan bahasa Indonesia." Ada kesadaran identitas yang muncul saat itu, tetapi bagi rekan itu, untuk berbahasa Tobelo dalam aktifitas sehari-hari butuh keberanian tersendiri. Rektor Universitas Khairun Ternate yang expert di bidang bahasa dan sastra turut menegaskan bahwa punahnya beberapa bahasa lokal di Maluku Utara tinggal menunggu waktu saja. Apabila para penuturnya yang telah berumur lanjut saat ini meninggal, maka punah juga bahasa itu dalam penuturan setiap hari masyarakat. Bahasa Ibu menjadi kasus tersendiri. Saat ini bahasa Kao juga terancam, selain bahasa Tobelo seperti yang dikuatirkan beberapa rekan.

Isu berikutnya adalah soal eksplorasi Sumber Daya Alam di Halmahera. Dalam diskusi dengan salah seorang pejabat di pemda diperoleh informasi bahwa ada ijin eksplorasi yang menurut pemda sudah layak diterbitkan. Entah di wilayah mana, yang pasti ketika pemda membuka ruang dengan menerbitkan ijin eksplorasi, maka masyarakat di sekitar wilayah eksplorasi itu mesti bersiap diri menghadapi perubahan yang disebabkan aktifitas eksplorasi itu. Perubahan itu dapat bersifat alamiah (perubahan lingkungan tempat hidup) dan sosial (perubahan situasi sosial). Harapannya adalah lembaga-lembaga pendidikan di Halmahera Utara dapat pro-aktif membaca kondisi tersebut demi memperjuangkan kemaslahatan masyarakat lokal.

Selain isu-isu tersebut di atas, ada banyak peluang yang dapat dimanfaatkan di Halmahera Utara sebagai wilayah berkembang baru. Misalnya di sisi pariwisata, konservasi lingkungan, dll. Tentu saja peluang-peluang itu dibarengi tantangan-tantangan tersendiri. Kemampuan membaca peluang dan tantangan eksternal adalah kekuatan tersendiri bagi lembaga-lembaga pendidikan tinggi di Tobelo untuk menegaskan peran dan fungsinya di tengah masyarakat. Mungkin ada kelemahan terkait Sumber Daya Manusia yang belum banyak pengalaman tetapi hal itu bisa disiasati dengan keterlibatan dalam setiap agenda pemerintah daerah, khususnya dalam penelitian terkait Rencana Induk Pembangunan Daerah. Buat saya, Pemda Halmahera Utara sudah saatnya memberikan kesempatan lebih banyak bagi partisipasi lembaga-lembaga pendidikan di Halmahera Utara seperti Uniera dan Poltek Padamara dalam mengkaji dan menyusun draft-draft RIPDA pada SKPD-SKPD yang ada. Hanya dengan keberanian membuka ruang itu, SDM di Halmahera Utara dapat mendapatkan tempatnya dalam partisipasi pembangunan di wilayahnya sendiri.

Akhirnya, setelah 2 minggu mengendap, refleksi atas perjumpaan pertama dengan Kota dan orang-orang Tobelo dapat saya ekspresikan di Ternate, di salah satu warnet yang ada di Kampung Pisang ini. 

Semoga dapat menjadi bahan refleksi bagi semua rekan yang bergulat dengan pembangunan manusia dan kemanusiaan di Tobelo, bumi Hibua Lamo itu.

Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"