Hari ini ada sedikit kegundahan karena istri dikabarkan sudah masuk
rumah sakit, bersiap untuk melahirkan, sementara tiket Jayapura - Ambon
yang didapat hanya untuk hari Jumat. Iseng-iseng, kubuka lagi daftar
kiriman e-mailku dan kudapati satu tulisan yang kukirim kepada beberapa
teman, hampir 6 tahun silam.
SURAT BUAT ANAK-ANAK MALUKU
Surat ini aku tulis dalam keheningan yang mendalam,
di bawah sinar bulan dan cerahnya malam.
Belum pernah kulihat malam secarah ini.
Mungkin di tempat lain, tetapi tidak di tanah kita.
Surat ini aku tulis dalam kesyahduan malam,
dibarengi titik air mata karena kesedihan yang melanda,
mengingat masa-masa di mana kami meradang . . . merana
tak kuasa menahan amarah yang berbuah petaka
Surat ini aku tulis dalam harapan berlapis gundah
penyesalan tak henti atas noda besar yang kami buat dalam sejarah tanah kita,
dan ingin memohon maaf, wariskan negeri yang tak lagi indah.
Surat ini aku tulis agar kalian tak lupa,
bahwa
"katong samua basudara", "potong di kuku, rasa di daging", "ale rasa,
beta rasa", walaupun ada juga yang seperti pedang bermata dua.
Aku
sadar, kalian tak bisa lagi tatapi megahnya Gereja Tua di Negeri Hila
yang harus hancur dilanda angkara, atau nikmati semaraknya festival
tahunan Taman Hiburan Remaja di pesisir Waihaong, karena yang ada
disana kini hanyalah kuburan para Syuhada.
Surat ini aku tulis dalam ingatan tak terlupa,
tentang teman dan sahabat yang mati satu per satu sia-sia,
tentang saudara dan keluarga yang meregang nyawa tak bersalah,
tentang rumah dan tempat ibadah yang kami hancurkan bersama semua yang ada di dalamnya,
tentang
kebun dan ladang yang kami jarah, dan tentang sekolah, rumah sakit dan
banyak lagi yang kami bakar dan akhirnya musnah, seakan semua punya
salah,
tentang ribuan orang yang terpaksa lari tinggalkan tanah tumpah darah, tak tahu kapan harus kembali.
Sekarang aku baru tersadar bahwa saat itu kami bukan lagi manusia,
ketika orang-orang tak berdaya yang lari dan hampir tenggelam di dinginnya laut ,
atau
jatuh terjengkang di kerasnya gunung, masih kami tembaki dengan
peluru dari laras-laras senjata, masih kami hujani dengan bom yang tak
juga mereda.
Aku tak mampu lagi menghitung semua.
Bagiku, satu saja terlalu banyak bagai sejuta.
Tetapi kukuatkan hati agar kata tetap terangkai dan surat ini bisa kutulis buat kalian penerus masa.
Entah
siapa kami? Kami tak lagi mengenal diri, ketika Minggu pagi memuji DIA
di Gereja dan siangnya menghilangkan nyawa, ketika Jumat siang
menyembah DIA di Masjid dan sorenya menumpahkan darah.
DIA, TUHAN
yang kami puji dan sembah di pagi dan siang itu, ternyata adalah DIA,
TUHAN yang kami bunuh di siang dan sore harinya.
Selalu saja kami bertamasya dalam asyiknya dosa.
Banyak
di antara kami yang mau jadi pahlawan. Mungkin ingin agar namanya
tercatat dalam lembaran sejarah kelam sebagai pengkhianat kehidupan
yang berbangga ketika menghitung satu per satu nyawa yang meregang di
ujung senjata.
Tetapi tak sedikit juga yang mau mengail di air keruh, keruh karena merahnya darah yang tertumpah.
Surat ini aku tulis dalam ingatan tak terlupa,
tentang masa-masa kelam ketika saudara membunuh saudara.
Tentang kesalahan terbesar tak terkira.
Surat ini aku tulis sebagai tanda buat kalian,
bahwa kita tidak akan menjadi keledai-keledai dungu yang masuk lagi ke lobang hitam yang sama.
Bahwa kita akan berbenah dan kalian bisa tertawa bahagia.
Kalian harus belajar bahwa agama bukan apa-apa bila dipakai sebagai dasar hancurkan kehidupan dan menghilangkan nyawa.
Kalian harus pahami bahwa hidup lebih berharga daripada ideologi-ideologi pembawa bencana.
Kalian harus berjanji bahkan bersumpah, tidak akan lagi mengulang kesalahan kami.
Kalian harus kuat 'tuk kembalikan senyuman di wajah negeri kita.
Surat ini aku tulis sambil berharap,
kalian sudi memaafkan kami yang wariskan negeri penuh duka,
kalian sudi memaafkan kami yang hancurkan indahnya hidup orang basudara,
kalian sudi memaafkan kami yang hampir tak peduli dengan masa depan tanah tumpah darah.
Surat ini aku tulis karena aku tak mampu lagi berkata.
Air mata terlalu deras tertumpah dan hati ini sedih gundah gulana.
Tetapi
tetap saja kutulis surat ini, tanda peringatan dan cinta, pada kalian
para pewaris tanah pusaka, ANAK-ANAK MALUKU MANISE.
dalam rindu tak tertahan akan tanah MALUKU
Jusnick Anamofa
Jayapura, 12 Agustus 2006
"Talamburang" adalah istilah Ambon untuk menggambarkan keadaan yang tidak teratur, kacau balau, berantakan, amburadul. Namun, hanya dengan "talamburang" (chaos) maka keteraturan (cosmos) dapat dipahami dengan baik dan jernih.
Rabu, 23 November 2011
Jumat, 18 November 2011
NAMA UNTUK ANAKKU
Kami menikah tanggal 30
Desember 2007 dengan cara yang tenang karena tidak dihadiri (bahkan
tidak diketahui oleh keluarga dari pihak kami berdua). Pernikahan yang
dilangsungkan di Jemaat GKI di Tanah Papua Maribu Tua (Dekat Depapre -
Sentani - Papua) itu hanya dihadiri oleh kenalan dan warga jemaat
setempat. Selesai menikah, kami masih sempat tinggal bersama selama
hampir 2 bulan sebelum saya berangkat ke Jogja, sementara istri bekerja
di Biak sekitar Februari 2008.
Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga kami berencana untuk belum punya anak dulu. Hampir 3 tahun di Jogja (2008 - 2011), kami bertemu hanya 1 tahun sekali, saat merayakan Natal dan Tahun Baru di Ambon. Lagi-lagi dalam perjumpaan-perjumpaan itu, kami masih ada dalam rencana di atas. Setelah saya menyelesaikan studi, Januari 2011, maka rencana baru pun dibuat, sudah saatnya kami punya anak. Awalnya ada keinginan bahwa dia (calon anak kami) mesti "made in Bali", tetapi ternyata salah perhitungan atau salah "kreatifitas", akhirnya gagal.
Puji Tuhan Sumber Segala Berkat atas semuanya, anakku ternyata "made in Nabire, Papua" (setahun terakhir, istri telah dipindahtugaskan dari Biak ke Nabire). Seiring waktu berjalan, pertemuan dengan istri pun hanya sekitar 1 bulan, saya kembali ke Jayapura untuk bekerja dan istri tetap di Nabire untuk bekerja. Hal utama yang kami pikirkan tentang itu adalah syukur kepada DIA, Sang Hidup. Hal selanjutnya adalah mempersiapkan hal-hal terkait situasi besar ini, termasuk finansial dan sebagainya.
Sampai beberapa waktu yang lalu, belum terpikir satu nama pun di dalam benak kami karena memang belum ada pemeriksaan tentang jenis kelaminnya (pake teknik kedokteran modern juga nieh). Setelah ada informasi dari Nabire bahwa si dia berjenis kelamin laki-laki, mulailah pekerjaan besar saya, sebagai (calon) Ayah untuk memberikan nama kepadanya.
Entah bagi orang lain, tetapi bagi saya pribadi, nama anak mesti diberikan oleh ayahnya (rada paternalistis juga nieh) karena itu adalah cara untuk menyatakan bahwa "Inilah Anakku, Kepadanyalah Aku Berkenan" (xixixixiiii). Dialah yang akan mewarisi namaku (Anamofa) agar aku (Anamofa) dapat hidup seterusnya walaupun aku (Jusuf Nikolas) akan mati pada waktunya.
Awalnya saya ingin mencari-cari nama yang baik dan tepat bagi anak saya. Saya coba mengingat-ingat lagi nama-nama yang beken dari Barat sana, kemudian nama-nama yang Alkitabiah (istri saya meminta supaya dia kelak dinamakan dengan arti "jawaban Tuhan"), tidak puas, saya coba mengingat nama moyang-moyang leluhur kami. Tidak puas juga, tidak puas juga, tidak puas juga, akhirnya saya berhenti mencari. Perhentian itu bukan berarti diam dalam ketidakpastian, tetapi diam dalam ketenangan sambil merefleksikan perjalanan hidup Anamofa, si ayah ini. Harapannya, refleksi itulah yang akan mendatangkan nama bagi si anak, Anamofa itu.
Setelah melewati pergumulan beberapa saat, akhirnya telah diputuskan bahwa Anamofa akan menjadi namanya. Dia adalah Pemberian Allah (sesuai keinginan istri agar salah satu namanya bermakna "Jawaban Tuhan"). Terkait nama itu, saya mesti membuka kamus salah satu bahasa dunia yang jarang digunakan di Indonesia, yaitu bahasa Rusia (entah mengapa tiba-tiba ada intuisi bahwa makna itu harus terkandung dalam salah satu nama bahasa Rusia). Munculah nama MATVEY yang berarti PEMBERIAN ALLAH. Bagi saya, nama itu masih menyiratkan keinginan ibunya. Refleksi atas perjalanan hidup saya belum nampak di sana lewat namanya.
Sekedar mengingat-ingat lagi, saya terlahir dari keluarga yang sederhana, di salah satu negeri Selatan Pulau Seram (Soahuku). Ayah saya, Zeth Imanuel Anamofa adalah pegawai golongan bawah karena cuma lulusan SMP (sebelumnya adalah relawan TNI AU saat Trikora yang bertugas menjaga logistik terutama bahan bakar pesawat-pesawat tempur di lapter Kuako). Ibu saya, Esterlina Adersina Sopacuaperu pun cuma ibu rumah tangga saja. Namun dalam kesederhanaan itu, saya bersama seorang adik, Stefanus Hendrik Robert Anamofa dibesarkan. Kami juga diasuh oleh nenek dari Ayah, Dina Anidlah yang bagi kami saat itu adalah seorang nenek yang sangat keras dengan semua hal yang dianggapnya salah. Kelemahlembutan dan kekerasan adalah makanan kami setiap hari. Setelah besar barulah saya mengerti, betapa bijaknya mereka berdua mendidik kami. Seiring waktu, semakin beranjak besar, semakin menjadi-jadilah diriku sebagai seorang Anamofa.
Kalau diibaratkan sungai, ada saat hidup saya penuh ketenangan, ada saat muncul riam-riam kecil, ada saat harus penuh batu-batu besar, bahkan harus melalui terjalnya gunung seperti air terjun. Walaupun demikian, hidup ini terus mengalir saja. Pernah suatu ketika, hampir dipotong jari-jari ini oleh Ibu karena mengambil seluruh gaji Ayah sebulan hanya untuk dipakai bermain biliard. Waktu itu saya baru saja naik kelas 6 SD. Beruntung masih separoh yang dipakai, kalah lagi. Atau pada saat SMA, saya hidup beberapa lama di atas keramba ikan, bekerja sambil sekolah. Bahkan saat ujian akhir (Ebtanas) pun, Ibu harus memanggil untuk turun dari keramba karena ketiduran akibat lelah bekerja. Masih pada waktu SMA, sempat menjadi penarik becak di malam hari di Masohi selama beberapa bulan karena kalau siang hari malu juga (apalagi rumah si ex pas di depan jalan utama). Saya hanya ingin menemukan sensasi dan pengalaman bekerja sebagai penarik becak saja waktu itu (1994/1995). Pada suatu ketika, masih di SMA, saya harus melarikan diri ke Tehoru (Menuju Seram Timur) karena bermasalah dengan pihak keamanan. Kalau tawuran intra atau antar sekolah, jangan ditanya lagi. Pernah saya bersama seorang rekan bahkan ditangkap oleh beberapa anggota Kodim Masohi dan diserahkan ke Polisi karena menyerang Akademi Perawat yang ada di RSU Masohi.
Karena itulah, semua orang tidak percaya kalau saya memilih sekolah Teologi sebagai tempat labuhan akademis berikutnya. Tetapi itulah pekerjaan Tuhan. Di bangku kuliah, yang harusnya menjadikan diri ini semakin baik, ternyata tidak demikian adanya. Pernah diskors 1 semester (nilai 1 semester dibatalkan) gara-gara membantu teman-teman pada saat ujian (skors masal terhadap angkatan 1996, fak. Teologi UKIM). Saat itulah saya benar-benar jatuh mentalnya. Saat masuk kembali, kuliah saya sudah mulai berantakan. Hal yang paling berpengaruh baik secara fisik maupun psikis bagi saya sampai saat ini ada 2, yaitu saat saya harus terbaring koma selama beberapa saat karena terlibat perkelahian dan harus dikeroyok di dalam sebuah rumah ibadah di kawasan Waringin - Talake - Ambon pada 30 Agustus 1997 dan berikutnya adalah saat konflik Ambon dan terlibat dalam kekerasan-kekerasan di dalamnya.
Namun Tuhan Maha Besar, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemberi Hidup, sampai saat ini, sungai kehidupan ini masih tetap saja mengalir.
Selain kekacauan-kekacauan dan kebanditan-kebanditan itu, ada hal-hal baik yang saya pelajari dari semua orang yang bagi saya adalah rekan, guru, sahabat sejati. Dalam kesalahan ada teguran keras, tetapi dalam teguran keras itu ada pelajaran-pelajaran besar. Setelah lulus kuliah S1 (saya jalani selama 7 tahun), saya tidak ingin menunggu untuk vikaris, saya langsung berangkat ke Jogja, menjajal salah satu Program Studi yang baru dibuka oleh UGM, Perdamaian dan Resolusi Konflik. Sayang sekali, saya harus mengaku kalah karena aspek finansial. Ada pilihan lain yang harus segera dibuat untuk mentransformasi kekalahan itu menjadi kesempatan baru untuk kelak bertanding lagi. Tes CPNS di lingkungan Pendidikan Tinggi adalah pilihan yang diambil. Lulus, ditempatkan di Jayapura adalah tanda kemurahanNYA.
Pengalaman-pengalaman baik dan buruk itu telah menjadi kekuatan bagi saya untuk terus menghidupi kehidupan ini. Bagi saya, semua itu terjadi karena ada spirit yang asalnya dari DIA. Spirit itulah yang menjadi kekuatan untuk terus menjalani kehidupan dalam peluang dan tantangannya. Setelah berefleksi dan tersadarkan akan kekuatan yang hanya datang dari DIA, maka anakku akan kuberi nama "AR'EILY" yang harafiahnya berarti "Singa Allah" (Ibrani). Singa sebagai simbol kekuatan tetapi bukan kekuatan natural, melainkan "Kekuatan dari Allah". Karena itu, nama itu akan bermakna "KEKUATAN ALLAH".
Belum cukup juga dua nama penting itu bagi saya. Satunya berbahasa Rusia, satu lagi berbahasa Ibrani. Mesti ada nama yang bermakna bagi kehidupan saya tetapi datang dari bahasa Tanah, bahasa Seram, bahasa Maluku. Refleksi itu pun membawa saya pada pengalaman berkumpul bersama beberapa kakak, teman, sahabat di SERI sekitar tahun 2000-an. Saat itu kami membantu kegiatan Pertemuan PI se-GPM. Lahirlah ide brilian untuk menghadirkan media PI GPM oleh seorang sahabat (Pdt. Elifas Tomix Maspaitella). Awalnya nama yang diberikan untuk media itu adalah dalam bahasa Yunani. Pertanyaan sederhana saya waktu itu adalah: "Bu, katong mau ber-PI kontekstual tapi media ini masih pake nama Yunani, seng ada nama lain dalam bahasa tanah yang bisa menerjemahkan akang bahasa Yunani ni?" Sedikit tertegun, entah penasaran, berpikir, akhirnya tanpa bersuara diketiklah satu kata: "ASSAU". Kata dalam bahasa yang digunakan oleh orang-orang Nuaulu yang secara sederhana dapat diartikan sebagai "PEMBAWA BERITA". Assau adalah orang sekaligus fungsi penyampaian berita kepada komunitas dari para pemimpin komunitas. Assau fungsi hermeneutis masyarakat lokal. Dengan ingat akan pengalaman itu, maka salah satu nama bagi anak saya adalah "ASSAUW", bahasa yang digunakan orang Nuaulu, yang berarti "PEMBAWA BERITA".
Lengkap sudah namanya, seorang ANAMOFA yang adalah MATVEY, pemberian Allah, yang bertugas dalam hidupnya sebagai ASSAUW, pembawa berita, tentang AR'EILY, kekuatan-kekuatan dari Allah.
AR'EILY ASSAUW MATVEY ANAMOFA, itulah namanya. Diprediksikan dokter lahir pada 2 Desember 2011, bisa maju, bisa mundur, tergantung SANG DOKTER AGUNG.
Ada pertimbangan-pertimbangan tertentu sehingga kami berencana untuk belum punya anak dulu. Hampir 3 tahun di Jogja (2008 - 2011), kami bertemu hanya 1 tahun sekali, saat merayakan Natal dan Tahun Baru di Ambon. Lagi-lagi dalam perjumpaan-perjumpaan itu, kami masih ada dalam rencana di atas. Setelah saya menyelesaikan studi, Januari 2011, maka rencana baru pun dibuat, sudah saatnya kami punya anak. Awalnya ada keinginan bahwa dia (calon anak kami) mesti "made in Bali", tetapi ternyata salah perhitungan atau salah "kreatifitas", akhirnya gagal.
Puji Tuhan Sumber Segala Berkat atas semuanya, anakku ternyata "made in Nabire, Papua" (setahun terakhir, istri telah dipindahtugaskan dari Biak ke Nabire). Seiring waktu berjalan, pertemuan dengan istri pun hanya sekitar 1 bulan, saya kembali ke Jayapura untuk bekerja dan istri tetap di Nabire untuk bekerja. Hal utama yang kami pikirkan tentang itu adalah syukur kepada DIA, Sang Hidup. Hal selanjutnya adalah mempersiapkan hal-hal terkait situasi besar ini, termasuk finansial dan sebagainya.
Sampai beberapa waktu yang lalu, belum terpikir satu nama pun di dalam benak kami karena memang belum ada pemeriksaan tentang jenis kelaminnya (pake teknik kedokteran modern juga nieh). Setelah ada informasi dari Nabire bahwa si dia berjenis kelamin laki-laki, mulailah pekerjaan besar saya, sebagai (calon) Ayah untuk memberikan nama kepadanya.
Entah bagi orang lain, tetapi bagi saya pribadi, nama anak mesti diberikan oleh ayahnya (rada paternalistis juga nieh) karena itu adalah cara untuk menyatakan bahwa "Inilah Anakku, Kepadanyalah Aku Berkenan" (xixixixiiii). Dialah yang akan mewarisi namaku (Anamofa) agar aku (Anamofa) dapat hidup seterusnya walaupun aku (Jusuf Nikolas) akan mati pada waktunya.
Awalnya saya ingin mencari-cari nama yang baik dan tepat bagi anak saya. Saya coba mengingat-ingat lagi nama-nama yang beken dari Barat sana, kemudian nama-nama yang Alkitabiah (istri saya meminta supaya dia kelak dinamakan dengan arti "jawaban Tuhan"), tidak puas, saya coba mengingat nama moyang-moyang leluhur kami. Tidak puas juga, tidak puas juga, tidak puas juga, akhirnya saya berhenti mencari. Perhentian itu bukan berarti diam dalam ketidakpastian, tetapi diam dalam ketenangan sambil merefleksikan perjalanan hidup Anamofa, si ayah ini. Harapannya, refleksi itulah yang akan mendatangkan nama bagi si anak, Anamofa itu.
Setelah melewati pergumulan beberapa saat, akhirnya telah diputuskan bahwa Anamofa akan menjadi namanya. Dia adalah Pemberian Allah (sesuai keinginan istri agar salah satu namanya bermakna "Jawaban Tuhan"). Terkait nama itu, saya mesti membuka kamus salah satu bahasa dunia yang jarang digunakan di Indonesia, yaitu bahasa Rusia (entah mengapa tiba-tiba ada intuisi bahwa makna itu harus terkandung dalam salah satu nama bahasa Rusia). Munculah nama MATVEY yang berarti PEMBERIAN ALLAH. Bagi saya, nama itu masih menyiratkan keinginan ibunya. Refleksi atas perjalanan hidup saya belum nampak di sana lewat namanya.
Sekedar mengingat-ingat lagi, saya terlahir dari keluarga yang sederhana, di salah satu negeri Selatan Pulau Seram (Soahuku). Ayah saya, Zeth Imanuel Anamofa adalah pegawai golongan bawah karena cuma lulusan SMP (sebelumnya adalah relawan TNI AU saat Trikora yang bertugas menjaga logistik terutama bahan bakar pesawat-pesawat tempur di lapter Kuako). Ibu saya, Esterlina Adersina Sopacuaperu pun cuma ibu rumah tangga saja. Namun dalam kesederhanaan itu, saya bersama seorang adik, Stefanus Hendrik Robert Anamofa dibesarkan. Kami juga diasuh oleh nenek dari Ayah, Dina Anidlah yang bagi kami saat itu adalah seorang nenek yang sangat keras dengan semua hal yang dianggapnya salah. Kelemahlembutan dan kekerasan adalah makanan kami setiap hari. Setelah besar barulah saya mengerti, betapa bijaknya mereka berdua mendidik kami. Seiring waktu, semakin beranjak besar, semakin menjadi-jadilah diriku sebagai seorang Anamofa.
Kalau diibaratkan sungai, ada saat hidup saya penuh ketenangan, ada saat muncul riam-riam kecil, ada saat harus penuh batu-batu besar, bahkan harus melalui terjalnya gunung seperti air terjun. Walaupun demikian, hidup ini terus mengalir saja. Pernah suatu ketika, hampir dipotong jari-jari ini oleh Ibu karena mengambil seluruh gaji Ayah sebulan hanya untuk dipakai bermain biliard. Waktu itu saya baru saja naik kelas 6 SD. Beruntung masih separoh yang dipakai, kalah lagi. Atau pada saat SMA, saya hidup beberapa lama di atas keramba ikan, bekerja sambil sekolah. Bahkan saat ujian akhir (Ebtanas) pun, Ibu harus memanggil untuk turun dari keramba karena ketiduran akibat lelah bekerja. Masih pada waktu SMA, sempat menjadi penarik becak di malam hari di Masohi selama beberapa bulan karena kalau siang hari malu juga (apalagi rumah si ex pas di depan jalan utama). Saya hanya ingin menemukan sensasi dan pengalaman bekerja sebagai penarik becak saja waktu itu (1994/1995). Pada suatu ketika, masih di SMA, saya harus melarikan diri ke Tehoru (Menuju Seram Timur) karena bermasalah dengan pihak keamanan. Kalau tawuran intra atau antar sekolah, jangan ditanya lagi. Pernah saya bersama seorang rekan bahkan ditangkap oleh beberapa anggota Kodim Masohi dan diserahkan ke Polisi karena menyerang Akademi Perawat yang ada di RSU Masohi.
Karena itulah, semua orang tidak percaya kalau saya memilih sekolah Teologi sebagai tempat labuhan akademis berikutnya. Tetapi itulah pekerjaan Tuhan. Di bangku kuliah, yang harusnya menjadikan diri ini semakin baik, ternyata tidak demikian adanya. Pernah diskors 1 semester (nilai 1 semester dibatalkan) gara-gara membantu teman-teman pada saat ujian (skors masal terhadap angkatan 1996, fak. Teologi UKIM). Saat itulah saya benar-benar jatuh mentalnya. Saat masuk kembali, kuliah saya sudah mulai berantakan. Hal yang paling berpengaruh baik secara fisik maupun psikis bagi saya sampai saat ini ada 2, yaitu saat saya harus terbaring koma selama beberapa saat karena terlibat perkelahian dan harus dikeroyok di dalam sebuah rumah ibadah di kawasan Waringin - Talake - Ambon pada 30 Agustus 1997 dan berikutnya adalah saat konflik Ambon dan terlibat dalam kekerasan-kekerasan di dalamnya.
Namun Tuhan Maha Besar, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Pemberi Hidup, sampai saat ini, sungai kehidupan ini masih tetap saja mengalir.
Selain kekacauan-kekacauan dan kebanditan-kebanditan itu, ada hal-hal baik yang saya pelajari dari semua orang yang bagi saya adalah rekan, guru, sahabat sejati. Dalam kesalahan ada teguran keras, tetapi dalam teguran keras itu ada pelajaran-pelajaran besar. Setelah lulus kuliah S1 (saya jalani selama 7 tahun), saya tidak ingin menunggu untuk vikaris, saya langsung berangkat ke Jogja, menjajal salah satu Program Studi yang baru dibuka oleh UGM, Perdamaian dan Resolusi Konflik. Sayang sekali, saya harus mengaku kalah karena aspek finansial. Ada pilihan lain yang harus segera dibuat untuk mentransformasi kekalahan itu menjadi kesempatan baru untuk kelak bertanding lagi. Tes CPNS di lingkungan Pendidikan Tinggi adalah pilihan yang diambil. Lulus, ditempatkan di Jayapura adalah tanda kemurahanNYA.
Pengalaman-pengalaman baik dan buruk itu telah menjadi kekuatan bagi saya untuk terus menghidupi kehidupan ini. Bagi saya, semua itu terjadi karena ada spirit yang asalnya dari DIA. Spirit itulah yang menjadi kekuatan untuk terus menjalani kehidupan dalam peluang dan tantangannya. Setelah berefleksi dan tersadarkan akan kekuatan yang hanya datang dari DIA, maka anakku akan kuberi nama "AR'EILY" yang harafiahnya berarti "Singa Allah" (Ibrani). Singa sebagai simbol kekuatan tetapi bukan kekuatan natural, melainkan "Kekuatan dari Allah". Karena itu, nama itu akan bermakna "KEKUATAN ALLAH".
Belum cukup juga dua nama penting itu bagi saya. Satunya berbahasa Rusia, satu lagi berbahasa Ibrani. Mesti ada nama yang bermakna bagi kehidupan saya tetapi datang dari bahasa Tanah, bahasa Seram, bahasa Maluku. Refleksi itu pun membawa saya pada pengalaman berkumpul bersama beberapa kakak, teman, sahabat di SERI sekitar tahun 2000-an. Saat itu kami membantu kegiatan Pertemuan PI se-GPM. Lahirlah ide brilian untuk menghadirkan media PI GPM oleh seorang sahabat (Pdt. Elifas Tomix Maspaitella). Awalnya nama yang diberikan untuk media itu adalah dalam bahasa Yunani. Pertanyaan sederhana saya waktu itu adalah: "Bu, katong mau ber-PI kontekstual tapi media ini masih pake nama Yunani, seng ada nama lain dalam bahasa tanah yang bisa menerjemahkan akang bahasa Yunani ni?" Sedikit tertegun, entah penasaran, berpikir, akhirnya tanpa bersuara diketiklah satu kata: "ASSAU". Kata dalam bahasa yang digunakan oleh orang-orang Nuaulu yang secara sederhana dapat diartikan sebagai "PEMBAWA BERITA". Assau adalah orang sekaligus fungsi penyampaian berita kepada komunitas dari para pemimpin komunitas. Assau fungsi hermeneutis masyarakat lokal. Dengan ingat akan pengalaman itu, maka salah satu nama bagi anak saya adalah "ASSAUW", bahasa yang digunakan orang Nuaulu, yang berarti "PEMBAWA BERITA".
Lengkap sudah namanya, seorang ANAMOFA yang adalah MATVEY, pemberian Allah, yang bertugas dalam hidupnya sebagai ASSAUW, pembawa berita, tentang AR'EILY, kekuatan-kekuatan dari Allah.
AR'EILY ASSAUW MATVEY ANAMOFA, itulah namanya. Diprediksikan dokter lahir pada 2 Desember 2011, bisa maju, bisa mundur, tergantung SANG DOKTER AGUNG.
Langganan:
Postingan (Atom)