Kamis, 28 Februari 2008

Pencarian Jati Diri: Kesulitan Epistemologi

Beberapa bulan yang lalu, beta menerima satu e-mail dari seseorang di Belanda yang bernama Leo Burnama. Isinya singkat saja: “Salam kenal. Bung, beta Leo Burnama di Belanda. Beta cari-cari di internet tentang Amahei dan beta temukan alamat e-mail bung. Beta minta tolong kalau bung bisa, cari tahu tentang asal-usul katong Burnama di Amahei. Terima kasih”.


Dalam e-mail balasan, beta bilang akan berusaha semampu beta. Beta s’karang di Jayapura dan sulit juga untuk cari tahu dan kalau mau tahu, itu artinya beta harus pulang ke Amahei. Beta coba lacak di internet dan dapatkan sekian banyak orang yang memakai Burnama. Beta coba hubungi mereka satu per satu lewat alamat yang mungkin. Beberapa hari kemudian muncul banyak jawaban tentang itu di e-mail beta. Ada banyak Burnama, tetapi sebagian besar hanyalah nama keluarga di daerah Medan dan Palembang dan bukan marga dari Amahei.
Beta coba ingat-ingat lagi ke belakang dan ternyata ada Burnama yang memang dari Amahei tetapi sudah keluar dan tidak ada lagi marga Burnama di sana. Sebut saja Oom Piterdjaya Burnama yang bintang film itu. Oom Bram Burnama yang juga bintang film, Yopi Burnama yang juga masih sudara mereka. Tahun 90-an, mereka pernah ke Amahei dalam rangka acara adat. Burnama benar-benar menghilang dan tidak ada jejak sama sekali di Amahei. Tanah petuanan milik mereka pun telah diserahkan kepada Negeri (Desa Adat).
Salah satu karyawan di UKIM Ambon bermarga Burnama, tetapi antua tidak terlalu paham asal-usul Amaheinya.

Pertanyaan beta, apakah ada marga Burnama dari negeri-negeri lain di Maluku? Beta sudah janjikan buat Leo untuk cari tahu tentang itu dan pasti beta tepati, tinggal masalah waktu.

Terlepas dari itu semua, pencarian jati diri memang penting di tengah arus modernisasi dan globalisasi. Gagasan-gagasan postmodern mengisyaratkan bahwa universalitas bukanlah sesuatu yang akan menghilangkan jejak jati diri seseorang tetapi semakin menguatkan spirit pencarian terhadap itu. Universalitas akan diimbangi dengan partikularitas yang berujung pada dekonstruksi identitas.

Apa yang akan terjadi ketika seseorang kehilangan akar identitasnya? Bagi beta, dia tidak lebih dari obyek bernama tanpa nama, apalagi bagi seorang Maluku yang begitu peduli dengan identitas diri dan keluarga.

Makna identitas akan berbeda bagi masing-masing orang sesuai dengan pengalaman hidupnya. Bagi saudara Leo, makna sosial identitas merujuk pada akar budayanya. Pencarian identitasnya didasarkan pada pengalaman sebagai orang yang terpisah baik waktu dan tempat dari akar budayanya itu. Artinya, generasi-generasi sebelum Leo pun telah terpisah dari akarnya sehingga berdasarkan waktu, Leo akan kesulitan melacak akarnya. Dari sisi tempat, jelas Belanda dan Amahei sangat berbeda. Masalahnya adalah siapa yang lebih memaknai identitas itu, apakah Leo sebagai orang Amahei di perantauan atau orang Amahei yang masih ada dan hidup di Amahei atau pemaknaan identitas itu sebenarnya sama saja tetapi dalam konteks dan tujuan yang berbeda?...

Yang bisa menjawab itu sebenarnya bukan saja Leo sendiri tetapi setiap orang Maluku yang memiliki pengalaman seperti Leo dan juga setiap orang Maluku yang ada dan hidup di negerinya masing-masing. Artinya, jika seseorang tidak mengalami seperti yang Leo alami, atas dasar apakah dia membicarakan tentang makna dari pencarian identitas sebagai perantau?

Bagi beta, situasi yang dialami Leo kemudian melahirkan suatu kesulitan epistemology. Kesulitan itu muncul karena kita tidak tahu secara pasti pengalaman keseharian orang-orang seperti Leo yang terpisah dari akar budayanya sendiri dan pengalaman bagaimana yang layak dijadikan bahan kajian. Kesulitan berikutnya adalah kita tidak tahu dengan pasti kriteria apa yang dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami tindakan-tindakan, tujuan-tujuan dan emosi mereka. Sebagai hasilnya, mungkin saja pengalaman orang-orang seperti Leo hanya dapat dimengerti dalam konstruksi yang arbiter. Artinya, upaya memahami pengalaman mereka dapat beresiko mengangkat pengalaman sekelompok orang saja secara normatif dan mengabaikan pengalaman para perantau lain yang juga terpisah dari akarnya tetapi mungkin saja tidak terlalu peduli akan hal itu.

Siapa kita dan bagaimana kita memahami diri berdampak pada pengalaman dan pemahaman kita tentang dan dalam dunia. Artinya, konsep-konsep tentang keberadaan kita sebagai makhluk sosial (identitas kita) mempengaruhi – dan juga dipengaruhi – pemahaman kita tentang bagaimana keluarga dan masyarakat kita dibentuk serta siapa kita dan apa yang dapat dilakukan dalam struktur keluarga dan masyarakat itu. Tentu saja tidak selalu sama pemahaman kita tentang pentingnya identitas dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Sebagai contoh, Leo dalam pemahaman identitasnya sebagai perantau generasi ke-sekian dapat saja memahami struktur sosial di tempatnya sebagai sesuatu yang menempatkannya sebagai orang luar. Itu hanyalah asumsi yang muncul dari kesulitan epistemology yang beta maksud di atas. Bagaimana beta tahu Leo berpikir begitu kalau beta tidak pernah mengalami apa yang Leo rasakan….?

Pertanyaan beta yang berikut adalah siapakah Leo ketika suatu saat dia kembali ke Amahei? Apakah dia benar-benar orang Amahei ataukah tidak lagi…. ?

Pengalaman beta sebenarnya hampir sama dengan Leo. Asal beta dari Yatoke, Pulau-Pulau Babar Maluku Tenggara Barat. Tapi kalau ada yang tanya tentang Yatoke, beta bilang tidak tahu (beta seng tahu). Karena kami terpisah dari akar kami sejak tahun 1948 waktu kakek memutuskan untuk meninggalkan kampong ke Ambon dan akhirnya ke Amahei/Soahuku. Beta punya mama orang Amahei, beta lahir dan besar di Amahei, beta lebih tahu sejarah dan perkembangan Amahei, beta ikut perkumpulan orang Amahei. Beta tidak tahu apa-apa tentang Yatoke, apakah beta bukan orang Yatoke? Beta seng merasa tersinggung sama sekali kalau ada yang bilang “ . . . dasar Tenggara” (tidak perlu berbohong bahwa pernah terjadi orang tenggara diunderestimate oleh orang Ambon dan Lease, mungkin saja sampai sekarang hal itu masih ada dalam pikiran beberapa orang..??? Walahualam…???). Tapi kalau ada yang bicara orang Seram sembarangan khususnya Amahei, secara emotif beta cukup sakit. Apakah itu menandakan beta bukan orang Yatoke di Maluku Tenggara sana …. ????? Kalau suatu saat (Tuhan sayang, kasih umur panjang) beta atau anak cucu beta pulang ke Yatoke, apakah kami masih dapat disebut orang Yatoke…???..

Apa yang beta tulis dari tadi baru membicarakan tentang identitas kultural. Bagaimana dengan identitas gender, identitas agama, identitas ini, identitas itu, dll..???.. Membicarakan identitas memang cukup sulit …???... Tidak tahulah, kalau saja ada yang dapat membantu katong yang tercabut dari akar ini untuk mengerti dan memahami dunia ini…??

4 komentar:

Anonim mengatakan...

anamofa??? anamopa!!! dari yatoke opa karel anamopa KALWEDO

Anonim mengatakan...

anamofa ???? anamopa!!!! dari kampong yatoke pulau babar KALWEDO (DI BELANDA)

t4l4mburang mengatakan...

Selamat baku dapa di sini saudara... Kalau Opa Karel beta kenal. Di Belanda, beta tahu ada Boyke, Janjte dan Michel...

Anonim mengatakan...

Salamat Bung Jusuf,
Ini sekarang Jantje jg tulis Bung Jusuf. Jantje senang sekali badja bung pun "webside/homepage". Maaf Jantje pun behasa. Sekarang Bung tinggal di mana de Indonesia?? Baik di situ?? Ini hari atau bisok akan datang Michel pun anak nomor tiga datang ke dunia dengan slamat, berkat basar dari Tuhan.Pertama anak dua laki Senna(4) (Jantje punja anak sarani) dan nomor dua Delano(2), dan sekarang Tuhan kasih Michel anak perpuan. Jantje punja anak laki satu namanja Gianni (12). Dan Bung munkin su ketemu Ellen Jantje pun istri?? Baru pulang dari Yatoke Kaka Frans dan anak dua. Tete manis sayang ketong bertemu lagi!!
Sampai sini dolo. Harus kabar kembali.
Hormat dari Om Jantje,tante Ellen dan Gianni.

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"