Rabu, 10 Desember 2008

Agama di Maluku su Ancor Talamburang

Nah...nah...nah. Etika Publiknya Pak John Ruhulessin ternyata baru menjadi pembahasan di dunia akademik. Etika Publik yang akademis seperti itu harusnya dapat digunakan untuk mengkritisi keberadaan manusia di ranah publik, bukan di ranah akademik. Dalam hal ini, apa yang distudikan itu dapat menjadi pedoman-pedoman aksi bagi kehidupan manusia khususnya manusia yang menjadi lokus penelitiannya.
Tidak ada yang salah dengan agama. Pertanyaan-pertanyaan tentang otonomi agama kemudian tidak dapat dengan mudah ditemukan jawabannya. Agama itu fungsional bagi manusia. Dalam pendekatan strukturalis, agama itu ada dalam level tertinggi dan terdalam manusia (individu-masyarakat).
Intinya, ada dua ranah agama yang perlu diketahui oleh masyarakat kita (orang-orang yang tidak mempelajari agama sebagai pengetahuan akademik tetapi mengalami agama sebagai pengetahuan sakral tiap saat). Kedua ranah itu adalah ranah privat dan ranah publik. Ranah Privat menjadi core atau inti agama itu sendiri. Dalam ranah privat, tidak ada yang boleh diganggu gugat: Keyakinan tentang Tuhan, Orang-orang Suci, Aturan-Aturan (hukum), Tempat-tempat keramat dan suci, dan hal-hal lain yang ketika dikorek sedikit saja, akan membuat sejenis kegelisahan terdalam bagi pribadi-pribadi penganutnya. Agama pada ranah publik, adalah agama yang fenomenal, yang menggejala lewat Organisasinya, Ritualnya, Tempat Ibadahnya, Simbol-Simbolnya, yang mendapatkan bahan bakar dari ranah privat itu dan bahan bakar itu diorganisasikan sedemikian rupa. Kalau bahan bakarnya dibakar, maka kendaraannya akan meledak. Banyak orang yang masih mau mambakar bahan bakar keagamaan, bukannya menghargai dan menghormati bahan bakar itu sebagai bahan bakar yang mudah terbakar.
Saya jadi curiga terhadap orang-orang yang suka membakar bahan bakar agama itu, jangan-jangan mereka tidak mempunyai bahan bakar agama sendiri (tidak beragama secara privat dan hanya secara publik). Kalau begitu yang terjadi, mereka ini yang harus diwaspadai dan bukan penganut agama lain.
Artinya, introspeksi ke dalam komunitas sendiri adalah hal terbaik yang perlu dilakukan kita bersama. Kalau ada saudaramu yang berbuat salah, tegorlah dia dalam kasih. Jangan sampai saudara melecehkan agama lain dan kita mendukungnya dengan pernyataan-pernyataan yang seolah-olah ilmiah tetapi sebenarnya menunjukkan keberadaan kita seperti katak di bawah tempurung, tidak mengenal dunia lain yang berbeda darinya.
Para penyusun Kurikulum Sekolah Minggu dan Katekisasi GPM sebagai lembaga pendidikan formal gereja mestinya menjadkan hal ini sebagai salah satu pokok yang penting untuk diajarkan. Bila perlu masuk dalam ajaran gereja, tentang penghormatan terhadap umat beragama lain sebagaimana kita menghormati dan menghargai agama kita. Wah, itu udah terlalu jauh.... Kalau tujuannya adalah penghargaan terhadap kemanusiaan, lakukanlah.





2 komentar:

Steve Gaspersz mengatakan...

Belajar filsafat penting untuk mengasah kita agar tidak kehabisan napas untuk mempertanyakan segala sesuatu, atau untuk meragukan segala sesuatu termasuk keraguan itu sendiri. Maar beta rasa ale balumpa talalu cepat ke kintal hipotesa sebagaimana terkristal dalam judul.
Sejarah hubungan antaragama adalah sejarah sarat konflik dan berdarah. Toh, hingga kini orang masih menaruh harap pada kekuatan agama untuk menemukan matra-matra batiniah manusiawi yang nyaris tergerus oleh spirit materialisme dengan pemujaan pada Dewa Uang. Ke-ancortalamburang-an agama di Maluku (jika memakai kasus Masohi sebagai indikator empiris yang mutakhir) tentulah tak sebanding dengan Perang Salib pada masa lampau, atau konflik Inggris (Protestan) vs Irlandia Utara (Katolik), atau Hindu vs Islam di India.
Perlawanan para biksu Buddha di Myanmar terhadap pemerintahan junta militer, memperlihatkan dengan tegas bahwa persoalan beragama bukanlah sebatas "meditasi", "hening dalam doa", melainkan proses membangkitkan kegelisahan terhadap pembelengguan manusia sehingga tidak lagi dihargai sebagai manusia.
Orang-orang yang suka pakai agama sebagai "bahan bakar" biasanya adalah orang-orang yang tidak mampu membeli "bahan bakar minyak" alias terbelit oleh kemiskinan struktural yang akut.
Kemiskinan itulah yang bisa membuat orang menjadikan "tuhan" sebagai amunisi untuk menjadi marah, membunuh, memperkosa, menindas...
Yaaahh... Tuhan, Tuhan, agamamu apa sih?

Anonim mengatakan...

maso orang pung kintal par bagangu kapa, itu mangkali bagian dari proses filsafat ini itu... pa steve belum memperjelas apa itu miskin... bagaimana menyebutkan kemiskinan itu pembentuk agama-agama brutal... apa lagi tuhan yang diadakan... semua ini beta yang atur... jadi itu aturannya... beta ini peraturan...

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"