Selasa, 09 Desember 2008

Masohi Rusuh Lagi: Ada Apa Dengan Perdamaian?

Baru saja kabar pica (dengar berita) kalau Masohi rusuh lagi. Menurut detikNews dalam semua pemberitaannya tentang peristiwa ini, bentrokan dipicu kasus penghinaan yang dilakukan terhadap salah satu kelompok oleh seorang Guru SDN 4 Masohi.
Wah... wah... wah..... kalau sudah pakai kata picu-memicu (triggering - triger), maka kita mesti kembali melirik pada teori-teori konflik deh. Ternyata, ketika kelompok-kelompok tertentu masih saling bertikai berdarah-darah karena faktor pemicu, maka sebenarnya ada yang lebih dari sekedar penghinaan sebagai pemicu itu. Pemicu itu hanya permukaan dari sesuatu yang lebih dalam.
Masalahnya adalah perdamaian yang diusahakan di Masohi itu ternyata tidak mampu bertahan melewati waktu. Bentrokan masih terjadi karena masih belum dapat saling menerima dan menghargai. Terus, mengapa perdamaian di Masohi itu tidak mampu dipertahankan? Menurut saya, karena pendekatan yang digunakan hanyalah pada level elite dan untuk kepentingan pemerintah (lebih tepatnya lagi, perdamaian itu sarat dengan kepentingan politik tertentu). Pelakunya adalah lembaga-lembaga elite dan bukan masyarakat sendiri. Perdamaian tidak datang dari hati tetapi datang dari perintah dan aturan-aturan pemerintah. Intinya, kampanye perdamaian dan upaya-upaya perdamaian yang dilakukan selama ini tidak menyentuh bagian terdalam dari rasa manusia, yaitu hati. Perdamaian selalu dipikirkan dan dihitung dengan logika. Apa hasilnya, rasa akan terluka ketika tidak ada penghargaan atas identitas. Perdamaian di Maluku khususnya Masohi adalah persoalan identitas dan bukan masalah sosial politik semata. Mengapa persoalan identitas, karena telah terjadi pergeseran besar-besaran identitas dan sistem kekerabatan orang Maluku, dari ikatan-ikatan sosial berdasarkan genealogis menjadi ikatan-ikatan sosial berdasarkan agama. Itu tentulah persoalan identitas yang bergeser. Pergeseran itu tentu menimbulkan implikasi-implikasi tertentu termasuk rentan terhadap gesekan-gesekan yang dapat berujung pada kekerasan yang massif.
Lalu, apa solusinya? Menurut Saya, salah satu solusi yang dapat dipertimbangkan adalah kembali ke adat. Artinya, ketika hukum positif negara ini tidak dapat menjadi acuan bagi tindakan-tindakan yang menghargai kemanusiaan, maka adat suatu wilayah mesti dipertimbangkan. Itu artinya, penghargaan terhadap komunitas-komunitas adat di wilayah tersebut mesti ditumbuhkan lagi. Bagaimana cara menumbuhkan penghargaan-penghargaan itu kembali, menurut Saya dengan ketegasan-ketegasan adat.
Untuk kasus Masohi, bila perlu negeri-negeri adat di sekitarnya (Intamurolouno - 5 Negeri Bersaudara itu) membuat pertemuan adat yang mengharuskan semua pihak yang berada dalam petuanannya tunduk dan menghargai adatnya, siapa pun dia, dari kelompok agama apa pun dia. Kalau pun ada yang kedapatan melanggar sumpah-sumpah itu, maka dia layak dikenakan sanksi-sanksi adat, sampai pada tahap pengusiran dari wilayah petuanan adat.
Eh,,,, koq ribet amat ya... gimana mau ngusir orang kalau bebas keluar masuk karena sama-sama warga negara Indonesia. Ya udahlah kalau gak bisa, jadi mereka bebas keluar masuk dan bebas juga berbuat kekerasan, memicu kekerasan, tanpa menghargai orang lain.
Ya, gak tahu deh... itu aja yang Saya pikirkan sekarang ini terkait dengan masalah yang terjadi di Masohi




1 komentar:

Agus Lopuhaa mengatakan...

ancor talamburang... upaya katong untuk bangun perdamaian yang sejati di tanah nusa ina.
ada apa deng orang masohi? apakah dong su lupa jati diri sebagai anak negeri? atau katong perlu merekonstruksi ulang pola beragama di Masohi dan juga maluku dalam konteks kepulauan?

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"