Pernah waktu masih di Ambon, ketika melihat seorang pastor – atau apapun namanya – mengendarai sepeda sepanjang ruas-ruas jalan, membawaku pada masa kisah masa kecil. Ketika tiba di Yogyakarta, setiap hari disuguhkan dengan orang bersepeda onta, semakin menguatkan kenangan-kenangan itu. Kenangan dalam batas ingatan masa kecilku, tentang sepeda onta milik ayah yang diperolehnya setelah keluar dari relawan AURI, penjaga tangki minyak di ujung Kuako, pada masa penguasa negeri mengumandangkan Trikora.
Waktu itu, harta kami yang paling berharga hanyalah sepeda onta yang selalu divernis tiap awal tahun. Sepeda yang berat, apalagi kalau sampai harus ditimpa oleh batang-batang besi yang kokoh itu karena hilang keseimbangan saat kucoba untuk mengguncang-guncangkannya. Rumah kami masih gubuk reot dari belahan “gaba-gaba” di mana sinar pelita di dalam rumah masih dapat dilihat dari pinggir rumah tetangga. Ketika tidur malam, selimut harus ditendangkan menutupi ujung jari karena angin menelusup lewat celah-celah dinding. Dalam keadaan itu, tak ada yang lebih berharga kecuali sepeda onta ayah.
Sepeda itu menjadi satu-satunya alat transportasi ke manapun ayahku pergi. Ke tempat kerja barunya di rumah kediaman Bupati Masohi, waktu itu Sugiarto, sebagai sopir; ke tempat-tempat ibadah; ke hutan di mana ia menyibukkan diri memetik daun-daun jati yang akan dijual ibu esok pagi selain buat pembungkus rajahan nangka mentah. Sepeda itu pula yang menjadi alat transportasiku ke sekolah waktu menginjak bangku TK. Pulang pergi Kampung Baru di Amahei/Soahuku ke Namano tiap pagi adalah aktifitasku selama hampir dua tahun ber-TK ria di Ina Monika, TK milik Yayasan Pendidikan Kristen di kampungku. Setelah menurunkan aku di depan sekolah, ayah akan cepat-cepat mengayuh sepedanya ke Masohi untuk bekerja. Pulang sekolah, waktuku dihabiskan di rumah keluarga ibu, sambil menunggu jam 1 siang, ayah pulang kerja. Tiap akhir bulan, ayah harus mengayuh sepeda dengan membonceng aku di belakang dan sekarung beras di besi tengah sepeda. Santai-santai saja kami lewati 3-4 kilometer perjalanan pulang ke rumah.
Sampai pada waktunya, aku sudah bisa mengendarai harta itu. Karena kaki yang tidak cukup panjang, aku terpaksa mengendarainya dari samping sambil terus mengurut pinggul karena terus menerus terpukul pada besi yang melintang di tengah sepeda. Di antara semua sepeda temanku, sepedakulah yang paling jadul. Tapi tak apa, karena diameter bannya yang besar, selalu saja aku menang balapan dengan teman-teman yang hanya pakai BMX biasa. Kadang, ingin juga dibelikan BMX atau paling kurang sepeda yang bisa membuatku berbangga di depan teman-teman saat itu. Tapi sayang sekali, ayah masih belum mampu membelikannya. Ayah dan ibu masih berkutat dengan rumah kami yang reot dan minta baru.
Setiap ayah pulang kantor, sepeda itu jadi tungganganku. Kadangkala aku berlagak seperti seorang pembalap sepeda kawakan, memacunya sepanjang lapangan terbang yang 1 km panjangnya di sudut kampung kami. Kadang juga berlaku seperti seorang off roader sejati ketika memacunya di bukit-bukit kecil sepanjang pantai Salobar sampai ujung Tanjung Kuako. Dua sampai tiga jam aku memanjakan diriku tiap hari dengan sepeda ayah, sebelum ayah bangun dari tidurnya karena cape mengayuh sepeda dan melanjutkan kegiatannya sehari-hari dengan sepeda yang sama.
Saat lulus SD, ayah membelikanku sepeda baru, BMX berwarna kuning. Sepeda itulah alat transportasiku ke sekolah saat SMP. Tapi sepeda itu tidak bisa mengalihkan kecintaanku pada si onta tua, tunggangan ayah. Entah mengapa, ketika salah seorang saudara ibu hendak membelinya, ayah begitu saja menjualnya. Aku sempat marah-marah, tetapi begitulah ayah, tak harus mempersoalkan hal-hal yang menurutnya tak begitu penting. Yang lebih penting adalah bisa menolong saudara karena sesungguhnya sepeda ayah harus digunakan untuk mengganti sepeda atasan saudara ibuku yang terbakar entah kenapa.
Apapun itu, kenangan tentang sepeda onta tua bervernis perak tak pernah terlupa. Ingatan tentang ayah yang benar-benar jadi pahlawan bagi keluarga seringkali membuatku harus berlinang air mata. Kalau pada masanya, ayah begitu setia menjalani hidup apa adanya, apa yang akan terjadi dengan diriku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar