Pengantar
Pragmatisme sebagai aliran filsafat dikembangkan pertama kali di Amerika. Filsuf pertama yang memperkenalkan dan mengembangkan pemikiran pragmatisme adalah Charles S. Peirce yang menekankan tentang aktifitas dan tujuan manusia dalam memperoleh pengertian dan pengetahuan. Pemikir Amerika yang sangat lekat dengan filsafat pendidikan pragmatisme adalah John Dewey. Pragmatisme sebagai aliran filsafat dapat dipahami secara metafisis, epistemologis dan aksiologis.
Metafisika dan Epistemologi
Realitas dalam pandangan pragmatisme adalah kenyataan yang tidak tetap dan terus berubah. Perubahan-perubahan dalam realitas itu menuntut perubahan juga dalam pemahaman tentang realitas. Jika realitas berubah secara kontinyu, maka yang dibutuhkan adalah transfomasi dalam memahami realitas. Transformasi itu nampak dalam pendekatan epistemologis menurut pragmatisme.
Epistemologi melibatkan individu, organisme dan lingkungan. Individu berinteraksi dengan lingkungan untuk hidup, tumbuh dan berkembang. Interaksi ini dapat mengubah lingkungan atau bahkan mengubah individu. Pengetahuan adalah transaksi antara individu sebagai orang yang belajar dengan lingkungannya. Dasar atas interaksi ini adalah konsep tentang perubahan. Masing-masing interaksi mungkin memiliki beberapa aspek umum atau pengalaman-pengalaman yang dapat ditransfer untuk interaksi berikutnya. Jadi, individu akan berubah dan demikian juga transaksi akan berubah. Kebenaran bagi pragmatisme adalah ketika suatu konsep itu bekerja dan mampu digunakan untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Oleh karena realitas dalam pendekatan metafisis pragmatisme adalah realitas yang tidak tetap, tetapi terus berubah, maka nilai-nilai yang mengikutinya pun akan terus berubah. Konsep nilai dalam pandangan pragmatisme adalah konsep yang situasional, tergantung situasi dan lingkungan. Nilai bersifat relatif terhadap waktu, tempat dan keadaan. Terhadap nilai-nilai lama yang terus dipertahankan dan tidak lagi memadai, perlu dilakukan uji ulang atas asumsi-asumsi yang mendasarinya.
Belajar Dari John Dewey
Dewey dalam bukunya The School and Society (1976: 39-40) menyatakan bahwa:
“[kita harus] membuat setiap sekolah kita sebagai embrio kehidupan masyarakat, aktif dengan tipe-tipe pekerjaan yang merefleksikan kehidupan dalam masyarakat pada umumnya dan menyebarkan semangat seni, sejarah dan pengembangan ilmu ke semua orang. Ketika sekolah memperkenalkan dan melatih tiap anak dalam masyarakat menjadi bagian dari masyarakat dengan belajar dari masyarakat kecil di sekolah, memenuhkan dia dengan spirit melayani dan menyediakan baginya instrumen-instrumen yang efektif agar dapat digunakan secara pribadi, kita dapat berharap dengan baik tentang suatu masyarakat besar yang layak, penuh cinta dan harmoni.”
Pragmatisme Pendidikan yang dipelopori oleh filsuf Amerika John Dewey didasarkan pada perubahan, proses, relatifitas, dan rekonstruksi pengalaman. Pragmatisme pendidikan Dewey cukup dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin bahwa semua makhluk hidup baik secara biologis maupun sosiologis memiliki naluri untuk bertahan hidup dan untuk berkembang. Setiap organisme hidup di dalam habitat atau lingkungannya. Dalam proses kehidupan, organisme manusia mengalami situasi-situasi yang problematik sebagai ancaman bagi kelanjutan eksistensinya. Manusia yang sukses dalam hal ini adalah yang mampu memecahkan masalah-masalah itu dan menambahkan rincian-rincian dari proses-proses pemecahan masalah yang berbeda-beda ke dalam gudang pengalaman-pengalamannya untuk digunakan menghadapi masalah-masalah yang mungkin saja mirip di masa akan datang. Dalam filsafat pendidikan John Dewey, pengalaman adalah kata kunci. Pengalaman dapat didefinisikan sebagai interaksi antara makhluk manusia dengan lingkungannya. Dalam pandangan Darwin, untuk hidup tergantung dari kemampuan memecahkan masalah-masalah, maka Dewey memandang bahwa pendidikan menjadi tempat pelatihan bagi ketrampilan-ketrampilan dan metode-metode pemecahan masalah (problem solving skills and methods).
Filsafat pragmatis Dewey dapat juga disebut sebagai filsafat Eksperimentalis. Hal itu disebabkan karena menurutnya “tujuan dan rencana, dalam hal ini konsep-konsep manusia hanya dapat divalidasi dengan menjadikannya dasar tindakan dan dari konsekuensi-konsekuensi yang lahir dari tindakan-tindakan itulah tujuan, rencana atau konsep-konsep manusia dapat dinilai.” Penilaian berdasarkan konsekuensi tindakan juga diterapkan di dunia pendidikan. Bagi Dewey, suatu kurikulum atau strategi metodologi hanya dapat dikatakan valid dan berhasil bila telah diujicobakan dan dari uji coba itu hasil-hasilnya dapat dinilai. Ia dengan jelas menolak dasar-dasar pendidikan yang a priori seperti yang dikembangkan oleh kaum idealis, realis dan perennialis.
Dewey menekankan metodologi yang berhubungan dengan proses pemecahan masalah. Belajar berarti seseorang terlibat di dalam pemecahan masalah. Dalam epistemologi eksperimental menurut Dewey, siswa/pelajar, baik sebagai individu maupun anggota kelompok menggunakan metode-metode ilmu untuk memecahkan baik masalah pribadi maupun masalah sosial.
Menurut Dewey, anak-anak belajar lebih banyak dan lebih cepat ketika guru mendorong rasa keingintahuan alami mereka, bukan menjadikan mereka sebagai subjek yang kaku dan berdisiplin dengan cara-cara memberikan hukuman secara tradisional seperti dalam pendidikan abad ke-19 pada umumnya. Oleh karena itu, ia menggunakan permainan dan bentuk-bentuknya yang beragam sebagai alat belajar. Dari situlah, ia membentuk metodologi pendidikan modern abad ke-20. Dalam pengamatannya, ia menemukan bahwa cara anak-anak belajar banyak hal adalah sama dengan orang dewasa, yang berbeda hanyalah informasi yang mereka butuhkan untuk memecahkan masalah-masalah yang mereka mengerti dalam sudut pandang mereka sendiri. Oleh karena itu, pendidikan menurutnya bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, tetapi akan bermakna dalam rangka pemecahan masalah-masalah.
Ia tidak sekedar memikirkan konsep pendidikan secara pragmatis, tetapi mengujicobakannya. Pada tahun 1894, Dewey pindah dari Universitas Michigan ke Universitas Chicago yang baru berumur 3 tahun sebagai kepala Departemen Filsafat di sana. Dia membuka Laboratorium Sekolah Universitas Chicago. Lewat laboratorium itulah ia menguji pemikirannya tentang pendidikan yang revolusioner itu. Sekolah itu kemudian dikenal dengan nama Sekolah Dewey, yang menjadi model dari sekolah-sekolah yang superior secara akademis di USA dan seluruh dunia sampai saat ini. Sekolah Dewey dibuka dengan 16 siswa dan 2 pengajar, namun dalam 7 tahun, berkembang menjadi 140 siswa, 23 pengajar dan 10 asisten pengajar. Sekolah itu dibuka dalam 10 kelas, mulai dari pra-sekolah sampai kelas 10. Sekolah menetapkan proyek-proyek yang menarik sesuai dengan usia para siswa.
Siswa yang paling muda ‘bermain’ rumah-rumahan, belajar berbagai tugas seperti memasak, menjahit, menggergaji dan memaku kayu dan membuat perabotan. Tetapi sementara bermain, mereka juga belajar matematika dengan mengukur, menambah dan mengurangi. Mereka juga belajar membaca dengan melihat resep masakan, juga belajar pola dan rencana dalam proses menjahit.
Anak umur 6 tahun (kelas 1) menggunakan ketrampilan dan peralatan dalam taman kanak-kanak untuk ‘membangun’ suatu peternakan, menggunakan blok-blok untuk tiap bangunan dan menanam tanaman-tanaman tiruan di atas meja pasir yang besar. Dengan membagi meja itu ke dalam area-area berbeda untuk tanaman-tanaman berbeda, mereka belajar tentang pecahan matematika. Anak-anak yang berumur enam tahun belajar dengan menggunakan tongkat-tongkat untuk membagi area bermain mereka ke dalam beberapa bagian. Sambil bermain, mreka belajar mengkonversi ukuran, dari inci ke kaki, yard, are dan unit-unit ukuran lainnya. Mereka mempelajari tentang volume ketika menggunakan gantang dalam permainan. Mereka belajar penjumlahan dan pengurangan serta satuan-satuan uang dengan bermain sebagai petani yang melakukan panen atas hasil panen dan menjualnya ke pasar. Mereka juga belajar menulis dan membaca dengan cepat karena harus membuat label-label tanaman yang harus mereka tanam dan kemudian jual di pasar. Mereka belajar melukis rencana bangunan untuk membangun rumah pertanian, gudang, kandang, dan melakukan pelabelan terhadap tiap bagian dari rencana itu dengan kata-kata yang jelas dan tepat. Mereka harus mengukur dengan pasti dan benar untuk menentukan blok nomor berapa yang akan digunakan membangun apa. Setiap kesalahan yang mereka buat, baik dalam pelabelan maupun pengukuran, akan membuat rumah pertanian dan yang lainnya tidak akan selesai atau roboh karena salah perhitungan. Dari situlah mereka belajar, dengan cara menghitung lagi dengan benar dan membangun lagi. Dengan cara belajar terus menerus dari kesalahan-kesalahan itu, mereka dapat memecahkan masalah-masalah itu dengan benar.
Siswa kelas 2 mempelajari kehidupan pra-sejarah dengan membangun gua buatan (menggunakan balok dan lembaran-lembaran kertas besar) dan berpura-pura hidup di dalamnya. Dalam setiap langkah untuk itu, siswa mengkombinasikan apa yang mereka baca di buku dengan melakukannya. Siswa kelas tiga belajar tentang peradaban awal, sementara siswa 9 tahun belajar tentang sejarah lokal dan geografi. Siswa 10 tahun belajar tentang sejarah kolonial dengan cara membangun pondok-pondok kayu pertahanan. Selain itu, ‘Darmawisata’ juga digunakan Dewey sebagai salah satu metode belajarnya guna menangkap imajinasi anak didiknya.
Anak kelas enam dan semua siswa yang lebih besar belajar dengan bekerja pada proyek-proyek yang melibatkan hal-hal yang lebih kompleks, seperti politik, pemerintahan dan ekonomi. Tidak lupa proyek-proyek penelitian ilmiah: biologi, kimia dan fisika dalam laboratorium di kelas. Demokrasi diajarkan dengan cara mempraktekkannya. Setiap kesempatan, kesalahan dalam pemahaman tentang demokrasi selalu dibetulkan dengan cara pengulangan.
Masalahnya adalah untuk mengajar di Sekolah Dewey lebih sulit daripada di sekolah-sekolah konvensional atau sekolah-sekolah biasa. Guru yang mengajar di sana harus dilatih dalam metode Dewey dan juga mendapatkan pelatihan yang cukup tentang psikologi anak. Selain itu, guru juga harus menjadikan pengetahuan tiap hari sebagai kemampuan diri. Pengetahuan tiap hari yang harus dikuasai oleh guru itu adalah penguasaan ketrampilan yang harus difasilitasi pembelajarannya kepada murid, mulai dari menjahit, pertukangan, fisika, musik, seni, olahraga dan lain sebagainya.
Guru dalam perspektif pendidikan aliran pragmatisme bukanlah guru yang terpaku pada diktat tetapi guru yang dituntut untuk kreatif. Guru harus belajar mempertahankan agar anak didik senang belajar dengan melihat dunia dari sudut pandang anak-anak serta sudut pandang orang dewasa.
Penutup
Dari bahasan tentang pengalaman John Dewey di atas, sangat jelas terlihat bahwa aliran Pragmatisme Pendidikan menghadirkan nuansa lain dari dunia pendidikan yang selama ini biasa diketahui. Pragmatisme pendidikan memposisikan anak didik sebagai pihak yang sangat penting dan mesti dipahami dengan baik dan benar. Dengan pemahaman yang baik dan benar terhadap kebutuhan anak didik, diharapkan agar anak didik dapat menikmati sistem pendidikan yang diterapkan kepada mereka.
Dalam proses pelaksanaan pendidikan saat ini, pendidikan yang dimulai dari play group sampai dengan di tingkat pendidikan tinggi juga telah menganut pragmatisme pendidikan. Walaupun demikian, tidak ada satu aliran pendidikan pun yang diterapkan secara sendiri-sendiri dalam sistem pendidikan. Selalu saja ada gabungan dari aliran-aliran pendidikan yang ada sehingga menghasilkan suatu sistem pendidikan yang baik dan dapat memenuhi standar.
DAFTAR PUSTAKA
Dewey, John, 1920, Reconstruction in Philosophy, Henry Holt and Company: NY.
---------------------------, 1938, Logic: The Theory of Inquiry, Henry Holt & Co., Inc.: NY
---------------------------, (Jo Ann Boydston, Ed.), 1976, The School and Society, Southern Illinois University Press
Ornstein, Alan, C., & Levine, Daniel, U., (ed.), 1988, An Introduction to The Foundation of Education, Houghton Miftin Company: Boston.
Palmer, Joy, A., 2001, Fifty Major Thinkers on Education: From Confucius to Dewey, Routledge: London.
Provenzo, Eugene, F., & John Philip Renaud (ed.), 2009, Encyclopedia of The Social and Cultural Foundations of Education (vol. 1-3). Sage Publications: London.
Shook, John, R., & Joseph Margolis (ed.), 2006, A Companion to Pragmatism, Blackwell Publishing: MA
Unger, Harlow, G., 2007, Encyclopedia of American Education (vol. 1-3), Facts On File Inc.: NY.
Winch, Christoper & John Gingell, 1999, Philosophy of Education: The Key Concepts (2nd ed.). Routledge: London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar