Rabu, 19 Januari 2011

Dapatkah Kita Juga Belajar Dari FPI?

Front Pembela Islam (FPI) adalah sebuah organisasi Islam bergaris keras yang berpusat di Kota Jakarta, didirikan pada 17 Agustus 1998. Organisasi yang bertekad menegakkan Amar Ma’ruf, Nahi Munkar ini sangat terkenal dengan tindakan-tindakan sweeping yang dilakukannya terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau dianggap bertentangan dengan syariat Islam, terutama pada bulan Ramadhan.
Selain itu, FPI juga terkenal keras dengan perbedaan aliran dan agama. Contoh yang paling mutakhir adalah sikap mereka terhadap Ahmadiyah dan beberapa kegiatan peribadatan agama lain, khususnya Kristen di tempat-tempat yang oleh mereka bukanlah tempat untuk beribadah.

Bagi sebagian umat Muslim dan umat Kristen umumnya, tindakan-tindakan FPI dianggap sudah di luar batas karena telah bertindak sebagai alat represif (entah alat represif siapa ..??) terhadap kebebasan beragama di dalam negara yang menjunjung perbedaan seperti Indonesia.

Pertanyaannya adalah, dari persepsi yang buruk terhadap FPI itu, adakah yang dapat kita pelajari dari tindakan-tindakan mereka?

Saya sebenarnya akan merasa sangat bersalah bila tidak menyuarakan tentang situasi yang dihadapi oleh gereja ketika berhadapan dengan hal-hal yang dianggap secara umum menyalahi aturan-aturan moral.

Di kampung saya, hampir seluruhnya beragama Kristen. Para penduduk yang beragama Kristen umumnya menjadi anggota salah satu gereja terbesar di Maluku (GPM = Gereja Protestan Maluku). Oleh karena itu, dikenal dengan istilah Jemaat GPM. Sistem pengorganisasian GPM adalah Presbyterial, yaitu ada orang-orang dengan kemampuan dan kesediaan yang tulus diangkat secara demokratis dalam pemilihan oleh seluruh warga jemaat yang telah menjadi anggota sidi gereja sebagai Presbyter, yaitu Penatua dan Diaken. Dalam organisasi gereja, mereka biasa disebut sebagai Para Majelis Jemaat. Seperti yang telah disebutkan, mereka yang diangkat menjadi Majelis Jemaat Gereja adalah orang-orang yang memiliki kemampuan dan ketulusan melayani umat gereja dalam semua situasi dan kondisi. Mereka adalah orang-orang terpercaya yang dianggap mampu mengayomi dan melakukan pendampingan-pendampingan baik secara umum, maupun secara khusus kepada para anggota jemaat.

Itu artinya, dalam keyakinan para anggota jemaat, seseorang yang diangkat menjadi Majelis Jemaat adalah mereka yang betul-betul dipilih oleh Tuhan lewat suara para anggota jemaat itu. Permasalahan akan timbul ketika kualitas sebagai seorang Majelis Jemaat itu diciderai dengan hal-hal yang sangat bertolak belakang dengan posisi gereja sebagai pemberi jalan bagi moralitas para anggotanya. Masalah itu juga yang saya dapati di kampung ketika berlibur beberapa waktu lalu ke sana. Salah seorang Majelis Jemaat Gereja, dengan terang-terangan membuka Café Hiburan dengan mendatangkan para wanita penghibur dari pulau Jawa. Tentu saja para pengunjung Café itu adalah kaum lelaki, para suami, para ayah, para kakek yang ada di sekitar Café itu berada, termasuk di kampung kami. Setelah mengikuti perkembangan Café itu dari cerita beberapa teman, ternyata keberadaannya telah cukup mengganggu keharmonisan rumah-rumah tangga yang para kepala keluarganya sering menghabiskan waktu dan tentu saja uang di Café tersebut.

Saya sempat menanyakan tentang keberadaan Café-Café sejenis di kota kami dan dikatakan oleh beberapa teman bahwa Café-Café seperti itu sudah dilarang di dalam kota. Beberapa Café yang dibuka di lingkungan umat Muslim telah ditutup paksa karena Majelis Ulama Indonesia di wilayah kami dengan tegas melarangnya. Itu artinya, Café yang dimiliki oleh salah seorang Majelis Jemaat itu sangat kurang kompetitornya dan dapat meraup omzet sampai jutaan rupiah semalam.

Pada hari pertama kedatangan saya di kampung, ada perayaan natal yang cukup meriah di Café itu. Seluruh anggota Majelis Jemaat, termasuk pendeta Jemaat diundang hadir. Seluruh staf pemerintah negeri, termasuk Raja Negeri juga diundang hadir. Kehadiran mereka, baik pendeta dan Majelis Jemaat, maupun Raja Negeri dan staf pemerintah menunjukkan suatu posisi yang merestui keberadaan Café itu. Khotbah Natal diperdengarkan, sambutan-sambutan Natal disampaikan kepada para pramuria yang hampir semuanya bukan beragama Kristen.

Ketika merenungkan tentang situasi di kampung saya saat ini, saya teringat akan satu perikop dalam Alkitab di Injil Yohanes 8 : 3 - 11.

"Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zinah." Yohanes 8:3

Dosa perzinahan adalah salah satu dosa yang mematikan bagi bangsa Yahudi. Dosa ini akan membawa pelakunya kepada hukuman mati, seperti tertulis di Imamat 20 : 10 dan Bilangan 22 : 22. Bentuk hukuman matinya terutama adalah dirajam, meskipun jika kita mencoba melihat lebih dalam tidak hanya hukuman rajam saja, seperti diambarkan dalam Yehezkiel 16:38-40 misalnya.

"Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah." Yohanes 8:6

Pada ayat 6, kita tahu bahwa ahli Taurat dan orang Farisi bermaksud mencobai Yesus dengan membawa perempuan itu kepada-Nya. Yesus seharusnya berada dalam sebuah dilema. Jika Dia berkata ya, perempuan itu harus dihukum mati, maka orang Farisi akan mempersalahkan-Nya atas mengambil kekuasaan pemerintah Roma, yaitu kuasa menentukan hidup dan mati. Selain itu, Dia juga akan dipersalahkan karena mengambil keputusan tanpa adanya pengadilan, main hakim sendiri, Di sisi lain, jelas bila Yesus berkata tidak, Dia juga akan dipersalahkan karena tidak mematuhi hukum Taurat Musa. Dia seolah - olah berada dalam kesulitan.

Namun Dia Maha Bijaksana. Daripada menjawab pertanyaaan itu, Ia malah membungkuk di tanah dan menulis sesuatu. Banyak penafsir percaya bahwa yang ditulisNya adalah kata - kata yang selanjutnya Dia katakan. Namun kita tidak perlu berspekulasi lebih jauh, karena pada ayat selanjutnya Yesus mengutarakan "ide"-Nya.

"Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu." Yohanes 8:7b

Dalam tradisi Yahudi, keputusan hukuman mati tidak bisa hanya berdasarkan seorang saksi saja. Berdasarkan Bilangan 17:6-7, kesalahan yang fatal tersebut (dalam hal ini zinah) harus diketahui pula oleh dua atau tiga saksi. Pelemparan batu pertama harus dilakukan oleh saksi - saksi ini sebagai bentuk pertanggungjawaban atas keterangan (memberatkan) yang dia berikan kepada "hakim" atas kasus ini. Jika saksi tidak berani, tentu saja berarti dia sendiri tidak yakin si tersangka melakukan kesalahan yang bisa mendatangkan kematian atasnya tersebut.

Yang terjadi adalah tidak ada seorangpun di antara mereka yang membawa perkara itu kepadaNya yang berani mengambil batu, apalagi sampai melemparkannya kepada perempuan itu. Mereka malah pergi meninggalkan masalah itu begitu saja.

"Akupun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang." Yohanes 8:11b

Yesus yang sesungguhnya tidak berdosa juga tidak menghukum perempuan ini. Yesus memang tidak menghakimi menurut ukuran manusia. Tidak pada penampilan luarnya atau perbuatannya. Yang Yesus inginkan sesungguhnya adalah pertobatan dan tidak mengulangi kesalahan lagi karena manusia telah lebih dahulu diampuni.

Ketika membaca dan coba memahami bagian cerita kitab suci ini, saya sempat berpikir bahwa ada benarnya juga kalau natal dirayakan di Café tersebut. Ada benarnya juga ketika khotbah natal yang disampaikan berisi ajakan untuk bertobat kepada para pramuria di dalam Café itu. Ketika khotbah natal tentang Tuhan Beserta Kita itu menjadi langkah baru bagi sang Majelis Jemaat untuk menghentikan dengan segera operasional Café tersebut dan ikut menyerukan pertobatan bagi para pramuria yang dipekerjakannya. Hal itulah yang tidak terjadi. Yang terjadi adalah doa-doa yang dinaikkan sangat selaras dengan keinginan manusiawi, yaitu agar usaha itu dilancarkan dan mendapatkan keuntungan.

Mendoakan kelancaran operasional Café hiburan, dengan sendirinya mendoakan agar semakin banyak pelanggan yang masuk ke sana, menghabiskan waktu dan uang untuk bersenang-senang. Mendoakan kelancaran usaha itu berarti mendoakan kehancuran rumah tangga para anggota jemaat secara perlahan. Ketika rumah tangga para anggota jemaat telah mengalami perpecahan dan pertengkaran luar biasa, maka Pendeta dan Majelis Jemaat akan mendapatkan pekerjaan melakukan pendampingan pastoral. Pendeta yang melakukan pendampingan itu tentu saja adalah pendeta yang sama, yang mendoakan kelancaran usaha Café itu. Itu artinya, teladan Yesus untuk menjadikan orang berubah, sama sekali catatan tak berguna dalam Injil yang cuma dibaca tetapi tak bisa dilakukan karena kepentingan-kepentingan sesaat seperti uang, kehormatan di mata manusia, kekuasaan, dan sebagainya.

Terus, apa hubungannya dengan FPI di atas? Bagi saya, seharusnya kita bisa dapat belajar dari tindakan FPI memerangi segala yang berbau kemaksiatan (walaupun dalam keyakinan saya, mereka pun terlibat dalam sistem yang tidak benar). Mereka memang cuma menghentikan kegiatan secara fisik, tetapi tidak menghentikan jiwa para pekerjanya untuk terus menggauli pekerjaan seperti itu. Namun, bukankah itu masih lebih baik daripada membiarkan bahkan merestui hal-hal seperti itu terjadi di sekeliling kita? Apakah ada alasan lain yang patut dikemukakan sehubungan dengan pembiaran itu? Soal pembukaan lapangan kerja? Bukankah telah ada kursus-kursus kerja yang mampu memberikan ketrampilan kepada mereka yang mau terlibat di sana sehingga dapat menggunakannya untuk menghasilkan uang bagi pemenuhan kebutuhan hidup sesehari?

Masalah utama yang dapat saya temukan adalah kuatnya kuasa uang dalam kehidupan manusia. Gereja semakin kuat berkutat dengan uang, pemilik usaha telah merasakan derasnya uang mengalir lewat usaha itu, para pekerjapun telah merasakan kuasa uang dalam kehidupan mereka sehingga enggan untuk menemukan jalan lain.

Dapatlah kita berkata, barang siapa yang merasa diri tidak berdosa dapat melemparkan batunya pertama kali kepada mereka (kalau hukuman rajam juga bisa diberlakukan di Maluku). Tetapi dapatkah kita berkata biarkan saja rumah tangga-rumah tangga Kristen pecah dan hancur berantakan karena kita tidak bertindak melawan hal itu, bahkan cenderung merestuinya?

Ini hanyalah suara hati yang gelisah. Suara hati yang menghendaki agar gereja bertindak tegas, meminta kepada Majelis Jemaat bersangkutan menghentikan usahanya lewat strategi pastoral yang baik, atau mengambil tindak disiplin bagi yang bersangkutan. Tentu saja, kegelisahan ini didasari pada idealisme bahwa kualitas itu lebih penting daripada kuantitas. Jumlah anggota jemaat yang banyak bukanlah jaminan pertumbuhan gereja. Lebih baik anggota jemaat yang sedikit, tetapi dengan kualitas yang mendekati ideal, daripada jumlah yang banyak tetapi dengan sadar tidak berani mengambil resiko untuk meningkatkan kualitas diri dan pelayanan.

Semoga Tuhan Sang Hakim Yang Adil mau memberikan kebijakan yang berkualitas dalam menghadapi tiap masalah di sekeliling kita.




Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"