Selasa, 20 September 2011

Damai = Tenunan Akal Sehat dan Jiwa-Jiwa Penuh Cinta

Hampir tigabelas jam tidak tertidur, hanya coba merenung setelah menyimak beberapa pandangan. Seorang teman di jejaring sosial menyatakan: “Agama yang dogmatis akan membuat manusia malas berpikir dan mematikan keingintahuan”. Belum habis perenungan, muncul lagi pandangan yang menggugah soal “Merawat Indonesia Dengan Akal Sehat” dari seorang pemikir Indonesia. Di akhir pidato budayanya, ia menyatakan tentang keinginannya agar di hari-hari yang akan datang, politik diselenggarakan dengan kekuatan argumen, bukan kumpulan sentimen. Subuh hari ini, membaca lagi pemikiran berdasar pengalaman berharga seorang teman di sudut Ambon yang mengalami “sedikit rusuh” beberapa waktu lalu yang menulis tentang bagaimana cinta diprovokasikan oleh orang-orang yang menjadi korban.

Seharian ini, ada tiga pandangan yang betul-betul mengimpresi indra, merasuki otak dan memaksa diri agar jangan dulu menutup mata untuk tidur, tetapi berefleksi dan berekspresi sebelum semua kabur terbawa mimpi. Agama yang tidak dogmatis, merawat Indonesia dengan kekuatan argumentasi dan bukan sekumpulan sentimen, pengalaman korban rusuh di Ambon yang memprovokasikan cinta, bukan benci adalah helai-helai benang yang mesti dirajut, ditenun menjadi “kain Indonesia yang bermotif damai”.

Bicara tentang menenun kain, saya dibesarkan dalam lingkungan yang tahu betul cara-caranya walaupun masih level tradisional. Saya tahu bahwa tenun ikat dengan motif yang indah itu berasal dari beberapa butir biji kapas yang disemai, setelah tumbuh dipelihara selama beberapa waktu, ditunggu saatnya berbunga, dipilah dan dipilih, dilepas serat-serat dari bijinya, biji disemai lagi, serat dihaluskan, dijadikan benang, diwarnai dengan pewarna alami, diikat dalam tenunan dengan motif hasil imajinasi yang tertuang setelah kain itu jadi.

Tak ada analogi lain selain yang lekat dengan keseharian saya masa kecil untuk membicarakan damai lewat impresi delapan belas jam ini. Agama yang transformatif, yang mampu mengubah dunia tetapi tidak menolak untuk mengubah diri sendiri atas dasar kemanusiaan, kekuatan argumentasi yang lahir dari akal sehat untuk merawat Indonesia, bukan kumpulan sentimen apalagi antipati atas dasar benci dan kerja-kerja mengagumkan dari tubuh-tubuh yang berkepala dingin dan jiwa-jiwa penuh cinta, meski sadar bahwa dirinya adalah korban, mesti dirajut dan ditenun.

Bagi saya, setiap orang yang berbudaya dan cinta Indonesia, memiliki dua tugas besar: (1) Menjadi salah satu benang dalam rajutan damai itu; (2) Ikut merajut benang-benang pemikiran, perasaan, kerja yang penuh cinta dan berdasar akal sehat, yang mengimpresi diri dalam pengalaman keseharian menjadi suatu “kain Indonesia dengan motif damai”.

Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"