Selasa, 07 Februari 2012

Kisah 17 Januari 2012 bersama "para pejuang cilik" di Pesisir Seram Selatan


Kemarin (17 Januari 2012), beta pulang ke Amahei. Karena sudah setahun tidak pulang ke sana (tahun lalu bersama istri pulang ke sana lewat jalan darat: Ambon – Kairatu – Masohi), beta ambil kesempatan untuk nikmati perjalanan lewat darat lagi. Kebetulan lagi musim buah durian di Ambon dan sekitarnya, beta berharap dalam perjalanan ke Masohi bisa makan durian di tengah perjalanan. Ternyata harapan itu tidak terwujud sama sekali karena tak ada satu pohon durian pun yang menampakkan buahnya di sepanjang jalan antara Kairatu – Masohi.

Tulisan ini bukan tentang kandasnya harapan karena tidak bisa menikmati buah durian. Tulisan ini dibuat sebagai penghargaan terhadap perjuangan menggapai harapan dari tiga anak kecil (dan banyak anak lainnya) di pesisir Seram Selatan.

Singkat kata, dengan didukung oleh cuaca yang cerah, beta tiba di dermaga ferry Waipirit. Perlahan beta memacu sepeda motor menuju Masohi. Setelah lepas dari Kota Kairatu, beta sedikit memacu kendaraan dengan harapan tidak terlalu lama berada di perjalanan, selain harapan awal di atas. Setelah melewati beberapa negeri, beta tiba di Negeri Sanahu bertepatan dengan anak-anak SD pulang sekolah. Karena banyaknya anak, beta memperlambat jalan kendaraan sambil memperhatikan tingkah laku mereka. Ada yang masih cerah ceria, ada yang sudah lelah dan dengan guntainya mengayun langkah. Menariknya adalah terhadap setiap kendaraan yang lewat ke arah Masohi (ada beberapa sepeda motor yang mengekori beta), sebagian besar dari mereka mengacungkan jarinya minta tumpangan, termasuk kepada beta. Sayang sekali, tidak ada yang mau berhenti untuk mereka. Sebagian besar pengendara itu berlalu dengan klakson panjang agar tidak dihalangi jalannya. Beta pun dengan sedikit menyesal tidak bisa memberikan tumpangan. Bukan karena beban atau barang bawaan yang banyak, memenuhi kendaraan, tetapi karena yang mengacungkan jarinya ke arah beta lebih dari sepuluh orang. Beta sendiri tidak sampai hati kalau hanya mengangkut satu atau dua orang dan meninggalkan yang lain. Dengan berat hati, beta tetap melaju dengan kecepatan rendah melewati rombongan demi rombongan anak-anak itu. Dalam pikiran beta, “andai saja semua pengendara yang telah lewat memberikan tumpangan, paling kurang sudah sekitar 20 anak terangkut ke tujuan mereka”. Tetapi sepertinya itu bukan kebiasaan para pengendara di pesisir pantai Selatan Seram ini.

Tidak terlalu jauh dari rombongan besar, mungkin sekitar lima ratus meter, ada empat orang anak laki-laki yang juga mengacungkan jari mereka sambil teriak, “oom, numpang oom, oom, numpang oom.” Dalam pertimbangan yang cukup cepat, beta berhenti sekitar sepuluh meter dan mereka berlari mendapati beta untuk meyakinkan diri bahwa beta memang berhenti untuk memberikan tumpangan bagi mereka, “oom, katong bisa manumpang ka?”, “ke mana?” tanya beta, “ke Pohon Batu” dengan serempak mereka menjawab. “Iyo sudah, naik sudah”, beta mempersilahkan mereka berempat untuk berdesak-desakan di belakang sepeda motor yang kecil itu. Ternyata hanya tiga orang yang hendak menumpangi kendaraan beta, sementara yang satunya sudah kelihatan rumahnya. 

Di tengah perjalanan, beta bercakap-cakap dengan mereka bertiga. “Pohon Batu jauh dari Sanahu ka?”, beta membuka percakapan. “Dekat saja oom, di muka saja. Barang oom seng tahu ka?”, seorang anak yang paling rapat dengan tubuh beta menjawab seketika. “Iyo, beta jarang lewat sini, beta jua seng hapal jarak Sanahu deng Pohon Batu”, beta kembali menerangkan kepada mereka. “Ade dong tiap hari pigi skolah jalan kaki ka?”, beta kembali bertanya. “Iya oom, bajalang kaki jua, katong samua bajalang kaki.” Dalam hati beta, “ah, pasti dekat saja Pohon Batu dengan Sanahu.” Beta perhatikan jarum penunjuk kecepatan dan jarak, sudah hampir satu kilometer. Beta kembali bertanya, “eh, masih jauh ka?”, seorang yang lain dengan cepat menjawab, “su dekat oom, di muka saja!!” seolah takut diturunkan. Dengan santai beta jalankan sepeda motor sambil terus memperhatikan speedometer. Ketika angka sudah menunjukkan bahwa kami telah melewati hampir dua kilometer, beta kembali bertanya, “heiii … tadi bilang kata su dekat, ini su amper dua kilo katong balong sampe lai??”, “seng oom, lewat jombatang di muka tu saja lalu Pohon Batu ..!!” Ternyata, jembatan yang dibilang anak itu masih hampir satu kilo lagi. Benar saja, setelah melewati jembatan itu, tidak lama kami tiba di Pohon Batu. Ternyata, Pohon Batu itu adalah dusun dari Negeri Sanahu yang terletak di kaki Pohon Batu, satu bukit batu terjal yang harus dilewati dalam perjalanan dari Kairatu ke Masohi atau sebaliknya.

Hitung punya hitung, perjalanan yang kami tempuh hampir empat kilometer (mudah-mudahan speedometer dan mata beta tidak saling menipu untuk ini). Ketika tiba dusun itu, beberapa orang tua yang sementara duduk di teras rumah melihat kami dan mengembangkan senyum mereka sambil meneriakkan ucapan terima kasih. Ketiga anak itu pun dengan tangkasnya turun dari sepeda motor, mengucapkan terima kasih dan hendak berlalu. “Ehhhhh … sabar dolo ..! Beta balong tau dong tiga pung nama. Ale nama sapa?” tanya beta sambil menunjuk yang paling kecil. “Mario oom ..”, “kalo ale?”, “Semuel oom ..”, “lalu, ale nama sapa?”, tanya beta kepada yang paling jauh. “Beta Jeky oom ..”, jawabnya. “Ok, hati-hati eee … sk’olah bae-bae .. !!!”, pesan singkat beta untuk Mario, Semuel, dan Jeky.

Setelah meninggalkan mereka bertiga dan dusun mereka, beta terus berpikir tentang perjuangan mereka memperoleh pendidikan. Syukurlah, hari ini mereka bertiga dapat menumpang motor beta sementara Mario-Mario, Semuel-Semuel, Jeky-Jeky yang lain mungkin sekitar 1 jam lagi baru tiba di rumah mereka di Pohon Batu.

Semangat mereka menuntut ilmu mengalahkan keletihan dan kepenatan menempuh hampir delapan kilometer pulang pergi sekolah. 

Banyak tanya berkecamuk dalam benak tentang adakah kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk diperhatikan oleh pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang dengan pendidikan anak-anak bangsa. Atau yang lebih sederhana, “koq tidak ada satu pun pengendara motor yang mau berhenti untuk sekedar memberikan tumpangan sejauh tiga kilometer lebih kepada anak-anak sekolah ini?” Mengingat itu, beta kembali berpikir tentang matinya rasa dan hati nurani ketika raga masih bergerak. 

Anak-anak sebenarnya tidak pernah melakukan dengan baik dan benar apa yang dikatakan oleh orang tua atau orang dewasa. Mereka akan melakukan dengan sangat baik dan sangat benar apa yang dikerjakan oleh orang tua atau orang dewasa. Bertolak dari situ, beta sedikit menghibur diri karena sudah memberikan contoh kecil bagi Mario, Semuel, dan Jeky tentang pentingnya saling menolong, terhadap orang-orang yang tidak kita kenal sekalipun. Banyak orang akan takut dan curiga terhadap pendapat ini, karena berhadapan dengan orang asing bukanlah hal yang mudah. Tetapi bagi beta, dengan membuka diri untuk berhadapan kemudian berdampingan dengan tulus, maka kehidupan akan lebih indah. 

Semoga Tuhan mau kuatkan Mario, Semuel, dan Jeky (juga semua anak seperti mereka bertiga) di Pohon Batu sana  

Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"