Kemarin (17 Januari 2012), beta
pulang ke Amahei. Karena sudah setahun tidak pulang ke sana (tahun lalu bersama
istri pulang ke sana lewat jalan darat: Ambon – Kairatu – Masohi), beta ambil
kesempatan untuk nikmati perjalanan lewat darat lagi. Kebetulan lagi musim buah
durian di Ambon dan sekitarnya, beta berharap dalam perjalanan ke Masohi bisa
makan durian di tengah perjalanan. Ternyata harapan itu tidak terwujud sama
sekali karena tak ada satu pohon durian pun yang menampakkan buahnya di
sepanjang jalan antara Kairatu – Masohi.
Tulisan ini bukan tentang
kandasnya harapan karena tidak bisa menikmati buah durian. Tulisan ini dibuat
sebagai penghargaan terhadap perjuangan menggapai harapan dari tiga anak kecil (dan
banyak anak lainnya) di pesisir Seram Selatan.
Singkat kata, dengan didukung
oleh cuaca yang cerah, beta tiba di dermaga ferry Waipirit. Perlahan beta
memacu sepeda motor menuju Masohi. Setelah lepas dari Kota Kairatu, beta
sedikit memacu kendaraan dengan harapan tidak terlalu lama berada di
perjalanan, selain harapan awal di atas. Setelah melewati beberapa negeri, beta
tiba di Negeri Sanahu bertepatan dengan anak-anak SD pulang sekolah. Karena
banyaknya anak, beta memperlambat jalan kendaraan sambil memperhatikan tingkah
laku mereka. Ada yang masih cerah ceria, ada yang sudah lelah dan dengan
guntainya mengayun langkah. Menariknya adalah terhadap setiap kendaraan yang
lewat ke arah Masohi (ada beberapa sepeda motor yang mengekori beta), sebagian
besar dari mereka mengacungkan jarinya minta tumpangan, termasuk kepada beta.
Sayang sekali, tidak ada yang mau berhenti untuk mereka. Sebagian besar
pengendara itu berlalu dengan klakson panjang agar tidak dihalangi jalannya.
Beta pun dengan sedikit menyesal tidak bisa memberikan tumpangan. Bukan karena
beban atau barang bawaan yang banyak, memenuhi kendaraan, tetapi karena yang
mengacungkan jarinya ke arah beta lebih dari sepuluh orang. Beta sendiri tidak
sampai hati kalau hanya mengangkut satu atau dua orang dan meninggalkan yang
lain. Dengan berat hati, beta tetap melaju dengan kecepatan rendah melewati
rombongan demi rombongan anak-anak itu. Dalam pikiran beta, “andai saja semua
pengendara yang telah lewat memberikan tumpangan, paling kurang sudah sekitar
20 anak terangkut ke tujuan mereka”. Tetapi sepertinya itu bukan kebiasaan para
pengendara di pesisir pantai Selatan Seram ini.
Tidak terlalu jauh dari rombongan
besar, mungkin sekitar lima ratus meter, ada empat orang anak laki-laki yang
juga mengacungkan jari mereka sambil teriak, “oom, numpang oom, oom, numpang
oom.” Dalam pertimbangan yang cukup cepat, beta berhenti sekitar sepuluh meter
dan mereka berlari mendapati beta untuk meyakinkan diri bahwa beta memang
berhenti untuk memberikan tumpangan bagi mereka, “oom, katong bisa manumpang
ka?”, “ke mana?” tanya beta, “ke Pohon Batu” dengan serempak mereka menjawab. “Iyo
sudah, naik sudah”, beta mempersilahkan mereka berempat untuk berdesak-desakan
di belakang sepeda motor yang kecil itu. Ternyata hanya tiga orang yang hendak
menumpangi kendaraan beta, sementara yang satunya sudah kelihatan rumahnya.
Di tengah perjalanan, beta
bercakap-cakap dengan mereka bertiga. “Pohon Batu jauh dari Sanahu ka?”, beta
membuka percakapan. “Dekat saja oom, di muka saja. Barang oom seng tahu ka?”,
seorang anak yang paling rapat dengan tubuh beta menjawab seketika. “Iyo, beta jarang
lewat sini, beta jua seng hapal jarak Sanahu deng Pohon Batu”, beta kembali
menerangkan kepada mereka. “Ade dong tiap hari pigi skolah jalan kaki ka?”,
beta kembali bertanya. “Iya oom, bajalang kaki jua, katong samua bajalang kaki.”
Dalam hati beta, “ah, pasti dekat saja Pohon Batu dengan Sanahu.” Beta
perhatikan jarum penunjuk kecepatan dan jarak, sudah hampir satu kilometer.
Beta kembali bertanya, “eh, masih jauh ka?”, seorang yang lain dengan cepat
menjawab, “su dekat oom, di muka saja!!” seolah takut diturunkan. Dengan santai
beta jalankan sepeda motor sambil terus memperhatikan speedometer. Ketika angka
sudah menunjukkan bahwa kami telah melewati hampir dua kilometer, beta kembali
bertanya, “heiii … tadi bilang kata su dekat, ini su amper dua kilo katong
balong sampe lai??”, “seng oom, lewat jombatang di muka tu saja lalu Pohon Batu
..!!” Ternyata, jembatan yang dibilang anak itu masih hampir satu kilo lagi.
Benar saja, setelah melewati jembatan itu, tidak lama kami tiba di Pohon Batu.
Ternyata, Pohon Batu itu adalah dusun dari Negeri Sanahu yang terletak di kaki
Pohon Batu, satu bukit batu terjal yang harus dilewati dalam perjalanan dari
Kairatu ke Masohi atau sebaliknya.
Hitung punya hitung, perjalanan
yang kami tempuh hampir empat kilometer (mudah-mudahan speedometer dan mata beta
tidak saling menipu untuk ini). Ketika tiba dusun itu, beberapa orang tua yang
sementara duduk di teras rumah melihat kami dan mengembangkan senyum mereka
sambil meneriakkan ucapan terima kasih. Ketiga anak itu pun dengan tangkasnya
turun dari sepeda motor, mengucapkan terima kasih dan hendak berlalu. “Ehhhhh …
sabar dolo ..! Beta balong tau dong tiga pung nama. Ale nama sapa?” tanya beta
sambil menunjuk yang paling kecil. “Mario oom ..”, “kalo ale?”, “Semuel oom ..”,
“lalu, ale nama sapa?”, tanya beta kepada yang paling jauh. “Beta Jeky oom ..”,
jawabnya. “Ok, hati-hati eee … sk’olah bae-bae .. !!!”, pesan singkat beta
untuk Mario, Semuel, dan Jeky.
Setelah meninggalkan mereka
bertiga dan dusun mereka, beta terus berpikir tentang perjuangan mereka
memperoleh pendidikan. Syukurlah, hari ini mereka bertiga dapat menumpang motor
beta sementara Mario-Mario, Semuel-Semuel, Jeky-Jeky yang lain mungkin sekitar
1 jam lagi baru tiba di rumah mereka di Pohon Batu.
Semangat mereka menuntut ilmu
mengalahkan keletihan dan kepenatan menempuh hampir delapan kilometer pulang
pergi sekolah.
Banyak tanya berkecamuk dalam
benak tentang adakah kemungkinan-kemungkinan bagi mereka untuk diperhatikan
oleh pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang dengan pendidikan anak-anak
bangsa. Atau yang lebih sederhana, “koq tidak ada satu pun pengendara motor
yang mau berhenti untuk sekedar memberikan tumpangan sejauh tiga kilometer
lebih kepada anak-anak sekolah ini?” Mengingat itu, beta kembali berpikir
tentang matinya rasa dan hati nurani ketika raga masih bergerak.
Anak-anak sebenarnya tidak pernah
melakukan dengan baik dan benar apa yang dikatakan oleh orang tua atau orang
dewasa. Mereka akan melakukan dengan sangat baik dan sangat benar apa yang
dikerjakan oleh orang tua atau orang dewasa. Bertolak dari situ, beta sedikit
menghibur diri karena sudah memberikan contoh kecil bagi Mario, Semuel, dan
Jeky tentang pentingnya saling menolong, terhadap orang-orang yang tidak kita
kenal sekalipun. Banyak orang akan takut dan curiga terhadap pendapat ini, karena
berhadapan dengan orang asing bukanlah hal yang mudah. Tetapi bagi beta, dengan
membuka diri untuk berhadapan kemudian berdampingan dengan tulus, maka
kehidupan akan lebih indah.
Semoga Tuhan mau kuatkan Mario,
Semuel, dan Jeky (juga semua anak seperti mereka bertiga) di Pohon Batu sana …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar