Selasa, 21 Oktober 2008

Epistemologi Sosial: Sudah Layakkah Dipakai Sebagai Objek Formal Studi Filosofis?

Menurut J. Sudarminta, berdasarkan objek kajiannya, epistemologi atau filsafat pengetahuan dapat dibedakan menjadi Epistemologi Individu dan Epistemologi Sosial (Social Epistemology). Menurutnya, epistemologi sebagaimana yang dipahami sampai saat ini adalah epistemologi individual, artinya bahwa kajian tentang pengetahuan baik tentang status kognitif maupun proses pemerolehannya adalah semata-mata aktifitas individu terlepas dari lingkungan sosialnya. Tetapi, belakangan ini muncul apa yang disebut sebagai Epistemologi Sosial, yang diartikan sebagai kajian filosofis terhadap pengetahuan sebagai data sosiologis. Bagi epistemologi sosial, hubungan, kepentingan dan lembaga sosial punya peranan yang sangat penting dalam proses, cara pemerolehan pengetahuan. (J. Sudarminta, Epistemologi Dasar: 22-3)
Setelah ditelusuri, ternyata kajian tentang epistemologi sosial ini belum banyak dilakukan. Salah satu buku yang dirujuk oleh Sudarminta adalah Social Epistemology yang ditulis oleh salah seorang professor sosiologi di Universitas Warwick - Inggris, Steve Fuller. Buku ini pun belum saya temukan (kecuali harus membeli di Indiana University Press atau Amazon.com). Hal itu cukup menyulitkan saya yang sementara bermimpi membuat kajian filosofis dari perspektif epistemologi sosial.

Walaupun judul tulisan ini menunjukkan bahwa saya harus membahas tentang Epistemologi Sosial, tetapi dalam kenyataannya itu bukanlah tujuan saya. Tujuan saya sebenarnya adalah untuk mengatakan bahwa kelayakannya menjadi objek formal studi filosofis di Indonesia tergantung dari kesiapan kita menerima gagasan-gagasan di dalamnya itu. Penerimaan itu tentu saja mesti didahului dengan pengujian-pengujian kritis terhadapnya. Alih-alih melakukan pengujian kritis, buku-buku teks yang membahas tentang Epistemologi Sosial saja belum pernah saya baca. (apakah ada di antara rekan-rekan yang memiliki buku ini?).

Lepas dari kekurangan itu, saya sendiri punya mimpi untuk menjadikannya sebagai objek formal thesis filsafat saya. Objek material boleh apa saja, tetapi saya kemudian ada dalam pilihan-pilihan dan pilihan saya adalah GAGASAN "PAPUA, TANAH DAMAI". Mungkinkah kajian tentang Gagasan "Papua, Tanah Damai" dilakukan dengan objek formal "Epistemologi Sosial" dan bukan epistemologi "individual" sebagaimana bahasan-bahasan epistemologi selama ini? Mungkin saja dan kemungkinan itu ingin saya jelajahi perlahan-lahan.

Tujuan dari itu selain hendak mempelajari dengan lebih dalam lagi bagaimana metode epistemologi sosial diterapkan untuk mengkaji suatu gagasan/pengetahuan bersama (pengetahuan sosial), juga ada dalam kerangka pragmatis. Saya memandang bahwa ide-ide dan gagasan-gagasan filosofis bila tidak pragmatis maka percuma saja berpikir (sudah bukan saatnya ilmu dipelajari untuk kepentingan ilmu semata - tetapi pemecahan masalah yang kontekstual adalah tujuan dari gagasan-gagasan yang dipikirkan itu). Epistemologi Sosial mungkin dapat memberikan jalan-jalan memahami pengetahuan manusia bukan sebagai individu tetapi sebagai bagian dari lingkungan sosialnya. Epistemologi sosial mungkin saja dapat menawarkan cara-cara memahami dasar-dasar pengetahuan, cara memperoleh pengetahuan dan pertanggungjawaban kebenaran dalam gagasan "Papua, Tanah Damai". Praksis dari itu adalah selain memberikan dasar bagi studi-studi sosial kritis yang dapat saja melahirkan pedoman-pedoman aksi terkait dengan gagasan "Papua, Tanah Damai", juga membuat pengetahuan bersama tentang "Papua, Tanah Damai" layak dinegosiasikan dalam kutub-kutub pengetahuan pada level-level kekuasaan, otoritas dan legitimasi. Dalam pencermatan saya, kutub-kutub pengetahuan khususnya yang menjadi pijakan kebenaran di Papua dengan pedoman-pedoman aksi yang terstruktur adalah pembebasan Papua yang diperjuangkan oleh sebagian orang Papua dengan upaya pemisahan diri secara politis sebagai kebenarannya di satu sisi dan pengetahuan negara tentang pembangunan demi kesejahteraan rakyat yang berbasis pada paradigma ekonomi politik pembangunan di sisi lain. Kedua kutub pengetahuan ini sejak lama tidak dapat ternegosiasikan karena setiap perjumpaannya melahirkan situasi-situasi destruktif. Para pejuang kemerdekaan Papua terus bergulat dengan pengetahuan bagaimana membubarkan Negara dan mendirikan Negara Baru, sementara pemerintah sebagai representasi kekuasaan Negara bergulat dengan pengetahuan tentang bagaimana mempertahankan keutuhan Negara dengan kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat lagi bahwa NKRI sudah final.

"Papua, Tanah Damai" sebagai gagasan yang diwacanakan oleh para pemimpin agama di Papua sejak tahun 2000 dapat dipertimbangkan sebagai penyeimbang bagi kutub-kutub itu. Untuk menemukan fungsinya sebagai penyeimbang (tentu saja dalam negosiasi pengetahuan yang seimbang), maka "Papua, Tanah Damai" sebagai gagasan bersama perlu dikaji. Selama ini telah dikaji bagaimana praksis "Papua, Tanah Damai" di bidang pembangunan, ekonomi, politik, keamanan, dll., tetapi saya melihat bahwa kajian-kajian praktis itu sedikit tanpa arah, akhirnya seperti tidak bertaji.
Menurut Habermas, pedoman aksi menjadi tugas studi-studi sosial kritis dengan upaya panyadaran masyarakat (emansipatoris), tetapi sebelum studi-studi sosial kritis dilakukan untuk menawarkan pedoman-pedoman aksi, studi dari ilmu-ilmu humaniora khusunya filsafat mesti dilakukan dengan hati-hati dan mendalam. Fungsinya adalah agar dapat memberikan arah bagi studi-studi sosial kritis. Bacaan saya selama ini adalah kajian secara filosofis belum dilakukan terhadap gagasan ini dan kajian sosial kritis pun tidak dilakukan dengan baik dan mendalam. Berdasarkan bacaan itu, maka studi epistemologi terhadap hakekat pengetahuan yang melahirkan gagasan "Papua, Tanah Damai" sangat layak untuk dilakukan. Tentu saja pertanyaan-pertanyaan yang akan terbangun dari studi ini adalah tentang dasar pengetahuan yang melahirkan gagasan "Papua, Tanah Damai"; watak pengetahuan yang melahirkan gagasan "Papua, Tanah Damai"; proses, cara pemerolehan pengetahuan yang melahirkan gagasan "Papua, Tanah Damai"; dasar-dasar kebenaran yang lahir dari pengetahuan itu; pertanggungjawaban kebenaran-kebenaran itu secara nalar. Menurut saya, jawaban yang memadai terhadap persoalan-persoalan di atas akan memperjelas konstruk pengetahuan orang Papua yang melahirkan gagasan "Papua, Tanah Damai". Dengan kejelasan konstruk pengetahuan itu, maka sungguh layak bila gagasan itu dinegosiasikan dalam kutub-kutub pengetahuan seperti disebutkan di atas.

Kemungkinan-kemungkinan itu akan terus ada selama pencarian tidak berhenti dalam kesesatan-kesesatan nalar. Kalaupun ada yang mau berbagi tentang fokus epistemologi sosial ini, saya akan sangat berterima kasih.






1 komentar:

Steve Gaspersz mengatakan...

Tamang, beta kira ale musti lebe cermat mencari di perpustakaan. Beta yakin buku "Social Epistemology" karya Steve Fuller ada di perpustakaan. Sejauh yang beta tau, rasanya epistemologi sosial mungkin tidak beda jauh paradigmanya dari sosiologi pengetahuan (ini hanya dugaan). Nah, kalau untuk sosiologi pengetahuan bisa baca "Tafsir Realitas Sosial" karya Peter Berger dan Thomas Luckmann. Atau kalau tidak salah karya Prof. Aholiab Watloly juga bergerak pada aras epistemologi sosial/budaya.

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"