Jumat, 17 Oktober 2008

RASISME DALAM LEMBAGA NEGARA: Sedikit Cerita Dari Uji Publik RUU Pornografi di Yogyakarta

Belum lama ini dilaksanakan uji publik terhadap RUU Pornografi di Provinsi D.I. Yogyakarta. Uji publik itu dilakukan oleh pokja RUU pornografi. Dalam tarik ulur pro dan kontra terhadap RUU Pornografi ini, ada hal yang membuat saya sangat berang dan marah, yaitu pernyataan Balkan Kaplale (seingat saya, Kaplale itu salah satu marga dari Maluku Tengah - di Masohi, ibukota Kabupaten Maluku Tengah, ada salah satu tempat yang namanya gedung Kaplale dekat Lapangan Olahraga Nusantara.) untuk mengomentari pertanyaan dan pendapat dari salah seorang wakil masyarakat Papua, kalau tidak salah namanya Albert. Balkan Kaplele mengatakan seperti ini, "Adik Albert kita sama-sama orang Timur, Belajarlah dari orang Jawa biar jadi beradab, dan menikah dengan orang Solo saja agar memperbaiki keturunan".
Saya kembali teringat tulisan Sendius Wonda, SH, M.Si yang berjudul Tenggelamnya Rumpun Melanesia: Pertarungan Politik NKRI di Papua Barat. Buku yang ditarik dari peredarannya oleh “pihak yang menyatakan mereka berwenang” karena dianggap dapat memicu ketegangan sosial. Penulis buku itu mengingatkan bahwa salah satu hal yang dapat menjadi penyebab tenggelamnya rumpun Melanesia khususnya di Papua Barat adalah perkawinan campuran. Umumnya orang beranggapan – beberapa orang Papua juga berpikir demikian – bahwa ketika kawin campur akan ada perbaikan keturunan. Wonda menyatakan bahwa itu adalah pemikiran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Itu adalah salah satu bentuk politik penguasa agar dapat menguasai suatu suku bangsa tertentu. Menurut saya, politik seperti itu benar-benar kotor dan sangat rasis. Dalam pandangan Balkan Kaplale, ada penghancuran nilai-nilai kemanusiaan yang memandang manusia itu sejajar siapa pun dia. Karena itu, saya berani mengatakan bahwa Balkan Kaplale - dan kemungkinan para anggota Pokja RUU - sangat rasis ketika membahas RUU Pornografi ini.
Rasisme sendiri berarti gagasan dan/atau tindakan yang berupa permusuhan, penghinaan, prasangka-prasangka berdasarkan ras. Contoh paling nyata dari rasisme adalah Nazisme dimana ras Arya dianggap sebagai ras yang paling unggul dan ras-ras di luar Arya bukan apa-apa; perbudakan di Amerika Serikat di mana orang Negro adalah ras yang berada pada posisi sebagai budak; dan politik Apartheid di Afrika Selatan yang baru saja runtuh demi kemanusiaan. Dari sekian banyak contoh, perbedaan ras berdasarkan warna kulit adalah klasifikasi yang banyak menjadi dasar rasisme. Orang-orang berkulit gelap dianggap sebagai golongan manusia nomor dua. Gelap selalu saja berhadap-hadapan dengan terang di mana gelap ada pada posisi tersubordinasi. Hitam selalu tersubordinasi dari putih dan ketika hal itu masuk dalam wacana keagamaan, maka dapat menjadi legitimasi rasis yang lebih luas seluas kapasitas agama itu sendiri. Lebih dari itu, masih ada saja orang yang beranggapan bahwa perbedaan ras juga menunjukkan perbedaan perilaku, inteligensia, dan kemampuan lain yang ada dalam diri manusia. Orang-orang inilah yang mempromosikan rasisme dengan baik di muka bumi ini.
Dalam konteks pembicaraan akademik seperti uji publik terhadap suatu rancangan undang-undang, maka pendapat-pendapat yang tidak berdasar dan tidak dapat dipertanggungjawabkan seperti itu harusnya diusut tuntas. Kenyataan itu menunjukkan bahwa konsep mereka tentang manusia sangatlah berhubungan dengan fisik. Segi jiwa, nurani, rasa, daya cipta manusia tidak mendapat tempat. Dengan dasar pandangan tentang manusia itulah maka RUU Pornografi ini dibuat sehingga tidak saja mencederai kemanusiaan tetapi sangat menghina kemanusiaan itu sendiri. Saya mencurigai RUU Pornografi ini pun sangat rasis. Dengan membiarkan rasisme berkembang di kalangan anggota lembaga negara, sama saja dengan membiarkan rasisme menggerogoti kehidupan bangsa ini dan jangan salahkan kalau kita akan selamanya berbhineka dan tidak akan pernah menjadi tunggal ika. Hidup bersama dengan orang-orang yang merendahkan derajat manusia adalah sama dengan ikut mendukung pendapat mereka.
Rasisme ternyata tidak hanya terjadi di bidang olahraga khususnya sepak bola saja (saya masih ingat ketika beberapa pemain bola asal Papua diejek dengan gerakan-gerakan meniru tingkah laku hewan beberapa waktu silam oleh pendukung salah satu kesebelasan di Indonesia dan mengakibatkan para pemain asal Papua berkeinginan untuk memboikot persepakbolaan di Indonesia), tetapi ternyata sudah merambah sampai ke ranah politik bahkan akademik. Dengan kenyataan itu, apakah tulisan-tulisan yang memprovokasi rasa kemanusiaan kita (seperti tulisan Sendius Wonda atau Socratez Sofyan Yoman itu) patut dianggap berbahaya bagi keamanan negara, sementara orang-orang yang rasis dibiarkan menikmati hidup, dilindungi bahkan dihidupi negara?
Ini adalah bentuk ketidakadilan negara terhadap masyarakatnya. Ini adalah bentuk kekerasan kultural dengan mensubordinasikan kelompok masyarakat tertentu.
Jadi, jangan salah kalau orang Papua akan terus menerus menuntut kebebasan dari penindasan dan kekerasan baik langsung, struktural maupun kultural seperti yang telah dilakukan negara terhadap mereka selama sekian puluh tahun.




1 komentar:

Steve Gaspersz mengatakan...

Pernyataan Balkan Kaplale jelas mempertontonkan ketidakmampuannya memahami realitas kemajemukan Indonesia secara cerdas. Cukup mengherankan orang dengan pikiran secuil itu bisa menjadi bagian dari aktivitas lembaga negara yang sepenting itu.
Justru dalam konteks ini beta liat Kaplale-lah yang masih terperangkap dalam mindset primitif yang melihat karakter dan kecerdasan manusia hanya ditentukan oleh "warna kulitnya" semata. Kaplale mungkin agak gagap teknologi (gatek) untuk meneropong sejenak perkembangan politik multikultural yang berkembang di seluruh dunia saat ini. Afrika Selatan sudah meninggalkan paradigma politik apartheid tapi Kaplale malah mundur ke abad ke-17 yang masih getol main-main dengan adagium politik identitas berbau rasis.
Orang-orang dengan mindset seperti inilah sebenarnya yang merusak hakikat berindonesia yang dibangun dari warna-warni identitasnya, bukan untuk tujuan "memperbaiki keturunan" sebagaimana dikatakan oleh Kaplale itu.

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"