Sabtu, 04 Oktober 2008

PAPUA TANAH DAMAI: Apa Artinya?

Bicara tentang Papua berarti bicara tentang keberagaman tetapi juga kesatuan. Artinya, kalau mau belajar tentang berbeda-beda tetapi tetap satu, belajarlah di Papua. Bayangkan saja, dalam studi-studi etnografis dan sebagaimana yang dicatat oleh Badan Pusat Statistik, dapat ditemukan kurang lebih 312 suku di Papua. 

Dalam keragaman dan kekayaan budaya itu, Papua juga dianugerahi dengan kekayaan alam yang sangat berlimpah. Artinya, Papua menyumbang begitu banyak bagi Indonesia baik kekayaan budayanya maupun kekayaan alamnya. 

Membicarakan Papua tidak saja bicara tentang wilayah geografis, tetapi juga manusianya. "Papua" menyatukan begitu banyak keragaman (sebagaimana yang diakui bahwa "Indonesia" dapat menyatukan banyak keragaman). Dalam kenyataan geopolitik Indonesia, Papua dilihat dalam kepentingan politik kewilayahan dan bukan politik kemanusiaan. "Wilayah Papua"-lah yang penting dan bukan "Manusia Papua". Ketika melihat Papua dalam kepentingan ekonomi politik semata, maka kenyataan keterbelakangan - mulai dari ekonomi sampai pada penghargaan terhadap kemanusiaan - yang terjadi di Papua adalah hal yang tidak dapat dipungkiri. 

Mulai dari masa-masa awal pengambilalihan Papua ke dalam Indonesia sampai saat ini, kekerasan terhadap kemanusiaan masih menjadi pilihan utama demi "Stabilitas guna Pembangunan". Indonesia masih memandang bahwa syarat utama bagi berhasilnya pembangunan adalah stabilitas keamanan dan bukan sebaliknya bahwa syarat bagi keamanan yang stabil adalah pembangunan yang mensejahterahkan rakyat. 

Tidak heran bila terjadi kekerasan politik di mana rakyat memberontak secara politis terhadap negaranya tidak dapat dihindari. Sayangnya, protes politis masyarakat itu lagi-lagi dilihat dalam kepentingan geopolitik saja. Ted Robert Gurr menyatakan bahwa orang memberontak secara politis terhadap negara karena sistem negara yang tidak mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat. 

Apa artinya protes masyarakat itu kalau sudah terhisab ke dalam sistem? Sistem negara lah yang akan menentukan seperti apa protes yang boleh dilakukan dan oleh siapa. Sistem negara tidak cukup melakukan evaluasi kritis terhadap kemampuannya memenuhi harapan-harapan rakyat. Dalam keadaan itu, elemen-elemen dalam masyarakat sipil sangat berperan sebagai penyeimbang negara dan penghubung antara negara dengan massa rakyat.

Itulah kenyataan Papua dari waktu ke waktu. Artinya, kalau mau jujur membaca Papua, maka mesti ada pengakuan yang tulus bahwa negara lewat lembaga-lembaga negara telah melakukan banyak kesalahan baik terhadap tanah maupun manusianya. 

Tanah merupakan entitas yang tidak berada di luar tetapi merupakan bagian yang integral dari kehidupan manusia Papua. Sayangnya, tanah yang syarat makna budaya dan berhubungan dengan kosmologi manusia Papua itu dipisahkan dari kemanusiaan Papua dengan alasan ekonomi politik pembangunan. Orang terasing dari tanahnya sendiri dan menjadi penonton terhadap mesin pembangunan yang meraung-raung tanpa dapat mengambil bagian aktif dalam raungan mesin itu.

Dalam kenyataan itu, yang diharapkan hanyalah Damai. Damai bukan saja dalam pengertian negatif di mana tidak ada kekerasan, tetapi lebih dari itu, damai dalam arti positif yang lebih menunjuk pada adanya kesempatan kepada aktualisasi diri manusia dalam hidup dan lingkungannya. 

Bila "Papua" yang adalah pemersatu itu menjadi tanah damai, maka yang akan muncul di sana adalah damai yang positif. Damai yang menjadi core pembangunan. "Papua Tanah Damai" adalah cara pandang baru orang Papua tentang diri dan lingkungannya, yang lahir dari pengalaman-pengalaman dan dianggap sebagai kebenaran. Bila damai menjadi kebenaran bagi orang Papua, kebenaran apa lagi yang dapat menggeser kebenaran itu? 

Pertanyaannya adalah apakah benar "Papua Tanah Damai" telah menjadi cara pandang baru Orang Papua? ataukah masih menjadi euforia belaka? Pencarian terhadap itu adalah proses yang membutuhkan kerja akal dan rasa yang lebih dalam lagi. Membaca Papua tidak saja harus dilakukan dengan akal tetapi juga mesti dengan rasa. Mudah-mudahan dalam pertolonganNya, akal dan rasa ini dapat dipakai untuk membaca Papua dengan baik.




Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"