Bahwa sejarah masyarakat Papua adalah sejarah Pasionis atau sejarah penderitaan sebagaimana istilah yang biasa digunakan dalam setiap pembicaraan, seminar, artikel tentang Papua oleh orang-orang Papua atau mereka yang peduli dengan keberadaan masyarakat Papua, adalah hal yang sulit untuk dipungkiri. Sejarah Pasionis masyarakat Papua terekspresikan sebagai refleksi atas tindakan-tindakan kekerasan yang dilakukan terhadap masyarakat pribumi Papua oleh alat-alat represif Negara yang menamakan dirinya penjaga kedaulatan dan integrasi bangsa atas nama “Negara Kesatuan”.
....
Dalam tataran pengalaman orang Papua, “Negara Kesatuan” tidak lebih dari sekedar terminology politis yang traumatik. Artinya, ketika terminology itu mencuat, orang Papua telah dapat menebak arah dari wacana dan itu diawali dengan trauma mendalam seputar implikasi praktis politisnya.
Dalam tulisan ini, saya kemudian mencoba mempertanyakan kemungkinan-kemungkinan baru memahami makna “Negara Kesatuan” melampaui makna politisnya, yaitu sampai pada tahap sosio kultural bahkan historisitas bersama. Pertanyaan-pertanyaan ini berawal dari kegelisahan saya ketika mengikuti pengantar matakuliah Kebudayaan Nasional dan Pancasila pada program Pascasarjana Ilmu Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Perspektif dan pendekatan yang digunakan dalam upaya memahami mata kuliah itu adalah Integrasi Sejarah Budaya Indonesia. Ketika ditelusuri lebih lanjut, saya tidak menemui satu pun literatur wajib yang diberikan kepada kami membahas tentang sejarah Papua. Dengan alasan apa yang dibicarakan hanyalah mainstream sejarah budaya bangsa, saya melakukan penilaian awal - tetapi bukan semacam prejudice menurut saya - bahwa Papua ternyata belum menyumbangkan apa pun dalam integrasi sejarah bangsa Indonesia.
Fakta bahwa orang Papua belum merasa mendapat tempat secara layak dalam sejarah bangsa Indonesia sulit diingkari. Sejarah Papua belum menjadi sejarah bangsa ini. Kalau saja ada yang mengakui bahwa sejarah Papua adalah juga sejarah bangsa Indonesia, maka dengan sendirinya memori penderitaan orang Papua adalah juga memori bersama bangsa Indonesia. Rakyat Indonesia mana yang telah menyumbangkan sebagian memorinya untuk ikut menderita bersama orang Papua sebagai saudara sebangsa? Rakyat Indonesia mana yang lebih melihat orang Papua sebagai bagian dari wilayah yang terkebelakang di bagian paling timur Indonesia ini dan patut diberadabkan? Mungkinkah seluruh pendekatan dan kebijakan menyangkut Papua dilakukan dari hati yang tulus dan bukan demi kepentingan politis semata?
Menurut saya, bila bangsa Indonesia bisa dengan tulus menjadikan sejarah orang Papua yang cukup lama menderita di bawah tekanan penguasa sebagai sejarah bersama, itu adalah awal orang Papua dapat menjadi bagian yang “integral” dari bangsa ini. Artinya, penerimaan terhadap sejarah orang Papua sekaligus penerimaan terhadap ke-Papua-an itu sendiri. Bila sejarah orang Papua dapat menjadi sejarah bersama, maka dengan sendirinya perjuangan mewujudkan Papua sebagai Tanah Damai pun bukan lagi perjuangan orang Papua sendiri, tetapi merupakan perjuangan bersama seluruh bangsa Indonesia siapa pun dan di mana pun itu.
Bagaimana sejarah orang Papua yang dibungkus dalam terminology “memoria pasionis” itu dapat menjadi sejarah bersama bangsa Indonesia? Menurut saya, hal itu sangatlah dimungkinkan secara metodologis. Artinya, metode-metode penulisan, penuturan dan refleksi kritis atas sejarah dapat menjadi tools bagi upaya itu. Walaupun demikian, ada kesulitan tersendiri yaitu secara epistemologis, penerimaan terhadap refleksi pengalaman masyarakat Papua yang terekam dalam historiografi mereka pun belum tentu berlangsung dengan baik. Hal itu disebabkan karena pengalaman tidak dapat dipaksakan terhadap individu dan pengetahuan yang muncul karena pengalaman itu akan menjadikan orang Papua lebih mengerti dan memahami sejarahnya daripada orang lain.
Saya baru sebatas melakukan penggagasan awal tentang hal ini dan mudah-mudahan tidak berhenti sampai di sini, tetapi merupakan langkah awal bagi kajian-kajian filosofis selanjutnya. Saya secara pribadi mencoba untuk mencurahkan seluruh kemampuan dan waktu saya memahami kegelisahan-kegelisahan itu dan berupaya menemukan jalan-jalan yang dapat dilalui demi mewujudkan gagasan Papua Tanah Damai. Saya bertekad bahwa gagasan ini bukan hanya diperjuangkan oleh orang Papua saja, tetapi oleh seluruh orang yang mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Menurut saya, kesadaran sejarah orang Papua yang termaktub dalam istilah Memoria Pasionis, yang mengarahkan perjuangan menjadikan Papua Tanah Damai mesti dilepaskan dari eksklusifitasnya. Artinya, kesadaran itu sedapat mungkin dibiarkan lepas dari klaim-klaim eksklusif (bahwa itu adalah milik orang Papua dan bukan milik orang lain), dengan demikian kesadaran itu pun bisa mendapat tempat dalam kesadaran sejarah bersama bangsa ini. Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin orang memiliki keadaran sejarah yang sama tanpa pernah mengalami peristiwa-peristiwa dalam rentetan sejarah itu?
Terlepas dari persoalan de jure maupun de facto keberadaan wilayah Papua sebagai bagian dari Republik Indonesia, saya mencoba untuk menemukan jalan lain perjuangan menghadirkan Damai di Papua dengan menjadikan perjuangan itu sebagai perjuangan bersama seluruh komponen bangsa Indonesia dan bukan perjuangan orang Papua semata. Dengan tujuan besar itulah, ada kesadaran akan kesulitan baik dari sisi metodologis maupun epistemologis.
Oleh karena itu, studi saya sebenarnya lebih tertuju pada pencarian akan metodologi yang tepat menjadikan perjuangan Papua Tanah Damai sebagai perjuangan bersama bangsa Indonesia. Kebenaran-kebenaran perjuangan itu pun mesti dikaji secara epistemologis karena kebenaran itulah yang menurut hemat saya dapat membimbing bangsa ini menemukan kembali identitas keindonesiaan dalam kepelbagaian dan keragamannya.
Masih panjang perjalanan dan proses itu akan terus menerus membimbing kita sampai pada tahap memahami jati diri bersama sebagai manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar