Senin, 15 Desember 2008

Quo Vadis Filsafat Nusantara?

Hari ini, ada satu seminar dengan topik "Quo Vadis Filsafat Nusantara" yang diselenggarakan dalam rangka launching IRDP (Institute for Research and Development of Philosophy). IDRP sendiri merupakan gagasan yang dikerjakan oleh para mahasiswa S2 Pascasarjana Filsafat UGM-Yogyakarta.

IDRP sendiri lahir sebagai bentuk keprihatinan terhadap kenyataan bahwa kekayaan pandangan hidup di Nusantara belum dieksplorasi secara filsafati dengan metodologi filsafat yang jelas. Dengan demikian, IDRP diharapkan mampu menjadi wadah yang khusus untuk penelitian dan pengembangan filsafat nusantara. 

Pertanyaannya: Mengapa Filsafat Nusantara? Karena itulah kekayaan kita. Kalau mau memfokuskan diri pada filsafat yang lain, lebih khusus lagi filsafat sistematis, maka orang lain di luar Indonesia telah mengerjakan itu dengan sangat baik. Filsafat Nusantara adalah kelebihan kita. 

Seminar tentang Quo Vadis Filsafat Nusantara menunjukkan bahwa sebenarnya Filsafat Nusantara itu telah ada dan lebih luas daripada sekedar yang terkristalisasi di dalam Pancasila. Keluasan dan kedalamannya itulah yang belum dieksplorasi dan dielaborasi dengan lebih baik lagi.

Pembicara dalam Seminar itu adalah Dr. Muktasar Syamsudin, Dekan Fakultas Filsafat UGM; Prof. Dr. Kaelan, MS; Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra; Prof. Dr. Damardjati. Inti dari bahasan para pembicara adalah menemukan kerangka metodologis untuk meneliti dan mengembangkan filsafat nusantara.

Menarik ketika Prof. Dr. Damardjati mengungkapkan pendapatnya tentang Metafisika Nusantara dan menyatakan untuk "Kembali ke laut". Membicarakan laut sebagai kekuatan dan jati diri orang-orang Nusantara.

Selain itu, beliau yang adalah ahli Jawa menyebutkan tentang keseimbangan antara konsepsi diri, emosi, kebutuhan dan tingkah laku sebagai keseimbangan yang paripurna. Beliau menganalogikan keseimbangan itu kepada perempuan yang mBobot, yang seimbang. Acuan utama beliau terhadap wanita seperti itu adalah Virgin Mariam yang mBobot Firman yang membadan (Magnificant animamea Dominum)dan ditariklah pada "Mataram yang mBobot jiwa kang kajawi". 

Beliau merujuk pada Yesus sebagai salah satu tokoh revolusi spiritual (revolusi tapi tanpa kekerasan = menurut beliau, itulah yang dikatakan oleh Ir. Soekarno ketika menyatakan bahwa yang dibutuhkan Indonesia adalah Revolusi Spiritual dan itu dapat dipelajari pada Nabi Isa).

Memang jalan masih panjang, tetapi kalau itu adalah harapan dan impian agar filsafat nusantara dapat menjadi kekuatan bersama, mengapa tidak mungkin? Intinya adalah mengerjakan impian dan harapan itu.



1 komentar:

Anonim mengatakan...

nusantara juga masih banyak dipertanyakan... apalagi filsafat mau ke mana, yah hanya orang-orang filsafat yang harus sepakat mau ke mana, dengan cara apa, dan untuk apa... tapi kalo boleh saran berikan dulu identitas pada nusantara itu baru bicara mau kemana filsafat di nusantara ini, pemaksaan penggunaan istilah ini telah mendapat banyak resistensi, lalu filsafat sendiri banyak kelas, lalu banyak juga yang ndak suka filsafat... aduh mending jadi seniman aja, buat puisi-puisi indah atau jadi orang talamburang... itu penting

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"