Selasa, 23 November 2010

Robot atau Manusia: Sedikit Mengkritisi Sistem Pendidikan Kita



Salah seorang teman baru saja mengajak saya untuk berdiskusi lewat catatannya tentang "Empati dan Identitas Sosial". Dalam tulisan itu, ia mengkritisi model pendidikan yang cenderung tidak memberikan pilihan bagi kemampuan berpendapat peserta didik. Peserta didik seringkali diarahkan secara sengaja untuk memilih jawaban yang benar tanpa perlu mempermasalahkan jawaban itu lagi. Sistem ujian dengan menggunakan pilihan ganda adalah contoh umum yang dapat diberikan.

Dalam diskusi itu, saya teringat pengalaman pahit tetapi cukup membuat saya lega hampir setahun yang lalu. Pahit karena membuat sejarah yang tidak baik di program studi saya, lega karena saya pernah membuat sejarah seperti itu. Sedikit berbagi pengalaman. Alkisah, tahun 2008 saya diterima melanjutkan studi magister filsafat pada salah satu Universitas kebanggaan di negeri ini. Kalau saya bilang Universitas besar itu ada di Yogyakarta, tentu teman-teman semua sudah bisa menebaknya.

Dengan latar belakang S1 yang pas-pasan di bidang filsafat, apalagi datang dari Timur Indonesia yang sarana informasi dan komunikasi penunjang pendidikannya sungguh terbatas, saya coba hadapi semua itu dengan tegar dan tak gentar. Semester I dilewati dengan baik, semester II hancur berantakan. Saya membuat sejarah di dua mata kuliah dengan mendapatkan nilai C dan D. Kata Dekan Fakultas: "Mas, sejak program pascasarjana di fakultas ini berdiri, baru pernah kejadian, nilai ujian akhir mahasiswa sampai dapat D." Saya selain miris, tapi tersenyum bangga. Saya ternyata adalah pelaku sejarah juga. Orang pertama yang mendapat nilai D sepanjang sejarah program studi.

Ceritanya dimulai ketika ujian mata kuliah tersebut dilakukan dengan "pemaksaan kehendak sang dosen." Salah satunya dilakukan dengan sistem "Pilihan Ganda", yang lainnya dengan sistem esai tapi harus jawaban objektif (sesuai dengan catatan dan keinginan dosen). Sepuluh nomor ujian pilihan ganda membuat saya mendapat nilai C karena tidak berniat mengerjakannya, sementara 100 nomor esei dengan jawaban objektif membuat saya mendapat nilai D, karena tidak mengerjakannya juga.

Dalam hati, "Aneh bin Ajaib, di kampus filsafat jenjang S2, masih ada ujian model pilihan ganda yang memberikan batasan jawaban A, B, C, D, di mana tiga jawaban di antaranya adalah salah dan hanya satu jawaban yang benar (menurut dosen)." Saya tidak diberikan kesempatan untuk menjelaskan dan bermain-main dengan geliat pemikiran tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa didapatkan terkait permasalahan yang dihadapi. Saya hanya disuruh memilih A - B - C - D, tanpa penjelasan mengapa harus memilih salah satu di antara itu. Saya masih bisa memahami kalau itu dilakukan pada saat ujian TK, SD, SMP, SMA (SMP n SMA udah ketinggian kayaknya), tetapi di tingkat S2, filsafat lagi, sungguh tak masuk akal. Saya memilih untuk berdiam diri, tidak mengerjakannya, tanpa berupaya memprotes karena teman-teman saya asyik aja mengerjakannya tanpa banyak cincong.

Hal yang sama saya temui dalam ujian mata kuliah yang lain. Dari 100 pertanyaan yang diberikan, saya hanya mengerjakan 12 pertanyaan, itupun dengan memberikan beberapa pendasaran filosofis. Artinya, ada 88 pertanyaan yang tidak saya kerjakan karena benar-benar tidak harus dikerjakan. Pertanyaan yang butuh "jawaban objektif" (sesuai catatan dosen selama kuliah). Pertanyaan-pertanyaan yang tidak membutuhkan kemampuan analisis saya tetapi hanya butuh kemampuan menghafal catatan dosen. Saya benar-benar tidak mampu kalau cuma sekedar disuruh menghafal. Akibatnya sudah bisa dibayangkan, nilai D yang saya dapatkan.

Setelah semua itu, saya melakukan protes kecil-kecilan kepada Dekan dan Pengelola Program Studi dengan alasan: "Apakah mahasiswa magister pascasarjana filsafat harus diarahkan pada satu jawaban yang benar? Bukankah kita selalu menolak dominasi kebenaran karena kita dituntut untuk mencoba menjelaskan dan menganalisis semua kemungkinan jawaban?" Saya memilih untuk mendapatkan nilai C dan D, daripada hasrat dan geliat pemikiran saya dikebiri cuma untuk memilih satu di antara A,B,C,D yang hanya hafalan. Saya lebih memilih mengulangi kuliah satu semester lagi, daripada pergi dan memohon kepada dosen yang sudah menganggap diri sumber kebenaran pengetahuan. Saya akan mengulanginya di semester IV, dengan demikian penulisan Tesis saya terlambat tetapi hati saya tidak lagi tertekan karena dipaksa mengakui kebenaran. Saya akan mengulanginya dengan catatan dosen-dosen itu tidak lagi diberikan kesempatan mengkebiri pikiran mahasiswa hanya demi kepuasan pemahamannya. Akhir kata, saya memang mengulang dua mata kuliah itu di semester IV dengan dosen yang lain. Kedua-duanya dapat saya selesaikan dengan nilai A karena ada kesempatan yang diberikan melakukan olah pikir yang memang harus dilakukan.

Dalam kaitan dengan pendidikan, ada beberapa tahapan tujuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh peserta didik:

1. Mengetahui (ini apa, itu apa, dll).
2. Menjelaskan.
3. Menganalisis.
4. Mencipta.

Apa yang dapat diharapkan ketika sistem pendidikan kita menerapkan ujian dengan model pilihan ganda? Hanya sekedar menguji pengetahuan peserta didik, bukan menguji kemampuan deskripsi, analisis atau menghasilkan karya cipta. Bila cuma butuh menguji pengetahuan pada level yang paling rendah saja, mengapa masih digunakan sampai tingkat pendidikan yang tinggi? Jangan-jangan itu tanda bahwa ada pengajar yang tidak mau berubah dan mentransformasi diri mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan peserta didik? Ataukah mereka tidak mau berubah karena sistem memang sangat membolehkan model seperti itu?

Dari pengalaman itu, saya kemudian menemukan bahwa model pendidikan kita memang tidak diarahkan pada kemampuan untuk menghasilkan sesuatu. Kita hanya diarahkan pada kemampuan menghafal dan mengetahui sesuatu yang kebenarannya itu pun harus sesuai dengan kebenaran yang diberikan oleh para pengajar di sekolah. Memang kebenaran-kebenaran itu adalah kebenaran umum (yang sementara) yang sudah menjadi konsumsi dunia akademis. Tetapi ketika berhenti di situ, maka kita sesungguhnya tidak lebih dari robot-robot yang sudah diprogram sedemikian rupa hanya untuk menghafal.

Ketika membaca catatan teman saya itu, saya dapat menganalogikan ciri pendidikan kita seperti robot di bidang industri yang dihidupkan pada jam tertentu, harus segera ke sekolah sebelum bel didentangkan, duduk dan tinggal diprogram dengan bahasa-bahasa program yang disodorkan, hanya bersuara dengan bahasa-bahasa program itu, kebenaran yang kita keluarkan pun adalah kebenaran dalam bahasa-bahasa itu. Kita tidak memiliki kemampuan lain karena memang tidak pernah diprogramkan untuk itu.

Lewat pengalaman dan catatan ini, saya sebenarnya hendak mengajak untuk sedikit kepala batu dengan situasi di mana pemikiran kita dikebiri dengan alasan apa saja. Saya hendak mengajak kita untuk tidak sekedar berhenti pada program menghafal saja, tetapi terus melakukan protes keras pada program-program seperti itu. Saya hendak mengajak kita untuk terus mencurigai apapun yang disodorkan kepada kita dengan alasan kebenaran. Saya hendak mengajak kita untuk menyatakan perang terhadap segala bentuk dominasi kuasa atas kebenaran di mana saja.

Mari berkeras kepala
Mari menolak jadi penjilat
Mari terus berpikir
Mari berontak terhadap kemapanan sistem
Kalau memang tak sanggup secara terbuka, pikirkanlah cara lain untuk terus berpikir tanpa mau dikebiri.



.

Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"