Hampir tigabelas jam tidak tertidur, hanya
coba merenung setelah menyimak beberapa pandangan. Seorang teman di
jejaring sosial menyatakan: “Agama yang dogmatis akan membuat manusia
malas berpikir dan mematikan keingintahuan”. Belum habis perenungan,
muncul lagi pandangan yang menggugah soal “Merawat Indonesia Dengan Akal
Sehat” dari seorang pemikir Indonesia. Di akhir pidato budayanya, ia
menyatakan tentang keinginannya agar di hari-hari yang akan datang,
politik diselenggarakan dengan kekuatan argumen, bukan kumpulan
sentimen. Subuh hari ini, membaca lagi pemikiran berdasar pengalaman
berharga seorang teman di sudut Ambon yang mengalami “sedikit rusuh”
beberapa waktu lalu yang menulis tentang bagaimana cinta diprovokasikan
oleh orang-orang yang menjadi korban.
Seharian ini, ada tiga pandangan yang betul-betul mengimpresi indra,
merasuki otak dan memaksa diri agar jangan dulu menutup mata untuk
tidur, tetapi berefleksi dan berekspresi sebelum semua kabur terbawa
mimpi. Agama yang tidak dogmatis, merawat Indonesia dengan kekuatan
argumentasi dan bukan sekumpulan sentimen, pengalaman korban rusuh di
Ambon yang memprovokasikan cinta, bukan benci adalah helai-helai benang
yang mesti dirajut, ditenun menjadi “kain Indonesia yang bermotif
damai”.
Bicara tentang menenun kain, saya dibesarkan dalam lingkungan yang tahu
betul cara-caranya walaupun masih level tradisional. Saya tahu bahwa
tenun ikat dengan motif yang indah itu berasal dari beberapa butir biji
kapas yang disemai, setelah tumbuh dipelihara selama beberapa waktu,
ditunggu saatnya berbunga, dipilah dan dipilih, dilepas serat-serat dari
bijinya, biji disemai lagi, serat dihaluskan, dijadikan benang,
diwarnai dengan pewarna alami, diikat dalam tenunan dengan motif hasil
imajinasi yang tertuang setelah kain itu jadi.
Tak ada analogi lain selain yang lekat dengan keseharian saya masa kecil
untuk membicarakan damai lewat impresi delapan belas jam ini. Agama
yang transformatif, yang mampu mengubah dunia tetapi tidak menolak untuk
mengubah diri sendiri atas dasar kemanusiaan, kekuatan argumentasi yang
lahir dari akal sehat untuk merawat Indonesia, bukan kumpulan sentimen
apalagi antipati atas dasar benci dan kerja-kerja mengagumkan dari
tubuh-tubuh yang berkepala dingin dan jiwa-jiwa penuh cinta, meski sadar
bahwa dirinya adalah korban, mesti dirajut dan ditenun.
Bagi saya, setiap orang yang berbudaya dan cinta Indonesia, memiliki dua
tugas besar: (1) Menjadi salah satu benang dalam rajutan damai itu; (2)
Ikut merajut benang-benang pemikiran, perasaan, kerja yang penuh cinta
dan berdasar akal sehat, yang mengimpresi diri dalam pengalaman
keseharian menjadi suatu “kain Indonesia dengan motif damai”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar