Senin, 05 Mei 2008

Jangan Biarkan Maluku Kering Lagi

Uang di tangan, kaki di perahu, ungkapan orang Maluku yang lahir dalam budaya perdagangan pesisir. Kurang lebih berarti ketika ada uang, segala sesuatu dapat dilakukan dengan baik dan lancar. Sejak ditinggalkannya sistem barter dengan barang, uang memang tak bisa dilepaskan dari kehidupan manusia. Walaupun kedua sistem pertukaran itu sama saja, tetapi dalam perkembangannya, uang menjadi bentuk yang simple, sederhana dan selalu mempunyai nilai lebih.




Dalam perkembangan sistem tukar-menukar saat ini, uang yang adalah alat telah berubah menjadi tujuan. Kepuasan didapatkan manusia ketika tujuannya tercapai. Bagaimana mendapatkan tujuan itulah yang menjadi masalah. Dalam etika Kristen, dikenal etika akibat, dimana untuk mencapai tujuan dihalalkan segala cara. Yang penting adalah tujuannya, bila tujuan baik cara apapun dapat dipakai.
Mungkin gaya itulah yang sementara dipakai oleh beberapa orang “penting” di Maluku saat ini. Bila tujuan itu baik dan sesuai dengan kepentingannya atau kelompoknya, cara apa pun dipakai. Pertanyaannya adalah apakah ada yang salah dengan gaya seperti itu? Toh semua orang punya kepentingan dan kepentingan itu harus diperjuangkan. Bila kepentingan tidak diperjuangkan, bukan namanya manusia dong? Membaca beberapa masalah yang termuat di media belakangan ini, cukup banyak melibatkan orang Kristen baik pada bidang politik, ekonomi, sosial. Kasus-kasus korupsi di Maluku pascakonflik, timbul pertanyaan, apa yang salah dari orang Maluku? Apakah mentalnya ataukah sistem yang membuat kemudahan-kemudahan tertentu bagi terjadinya tindakan tersebut?
Tidak pernah ada kata hitam dan putih bagi upaya mewacanakan korupsi di mana saja. Selalu saja ruang abu-abu menjadi arena di mana aktor, sistem dan semua perangkat pendukung tak mudah dikenali. Dengan alasan pembuktian yang lemah, tindakan korupsi sangat sulit diberantas. Apalagi kalau interest orang memang sangat lekat dengannya.
Membaca perkembangan di Maluku, maka sangat layak dikatakan sebagai tindakan yang tidak wajar bahkan kurang ajar. Dalam keadaan yang sudah kering, masih saja Maluku dihisap habis-habisan dan menjadi semakin kering. Saat mendengar tentang aksi demonstrasi mahasiswa di Ambon menuntut agar para pelaku korupsi di Maluku ditindak, saya berpikir bahwa masih ada modal yang dapat diandalkan. Modal itu adalah kekuatan masyarakat sipil yang terwakili dalam elemen-elemen seperti organisasi non-pemerintah, organisasi kemahasiswaan, organisasi profesi dan lain-lain. Walaupun sistem yang ada masih belum memungkinkan elemen-elemen itu mendapat posisi tawar yang kuat, tetapi paling kurang masyarakat mengetahui bahwa mereka sementara diperas oleh orang-orang bertopeng kemanusiaan.

Pemilu telah membuktikan bahwa masyarakat dapat menjadi hakim yang baik dalam memberikan pelajaran bagi para politisi yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak memusingkan kepentingan orang banyak. Tetapi peranan masyarakat tidak hanya dibutuhkan setiap lima tahun dalam mekanisme demokrasi seperti pemilu. Masih banyak mekanisme lain yang dapat dibuat sehingga kekuatan masyarakat sipil benar-benar ditunjukkan. Dan yang mempunyai kesempatan untuk memikirkan mekanisme-mekanisme seperti itu sebenarnya adalah para intelektual muda Maluku yang tidak memiliki interest sempit seputar mendapatkan keuntungan bagi diri sendiri.

Selama ini orang selalu membaca tentang kepentingan dari perspektif politisi, di mana pilihan-pilihan rasional yang dikedepankan adalah keinginan untuk terpilih kembali, mempertahankan kedudukan bahkan meningkatkan apa yang telah diperoleh. Sangat kurang orang membaca kepentingan dari perspektif masyarakat, di mana pilihan-pilihan rasional yang harus dibuat adalah mengusahakan agar masyarakat memperoleh haknya sebagaimana layaknya manusia.

Salah satu mekanisme yang dapat dilakukan adalah mekanisme pembagian informasi yang merata kepada masyarakat tentang segala tindakan yang tidak mengedepankan kepentingan orang banyak. Apalagi ketika tindakan-tindakan seperti itu dilakukan oleh para penjabat publik. Dengan meratanya informasi yang diterima masyarakat, paling kurang dapat membentuk kesadaran tentang keberadaan para aktor dalam suatu sistem yang tidak mendukung pemulihan Maluku. Mekanisme seperti itu dapat dikerjakan oleh semua elemen yang berpihak pada masa depan Maluku yang lebih baik. Dengan dibantu oleh media masa yang berpatokan pada upaya-upaya jurnalisme investigasi, maka masyarakat sipil khususnya di Maluku dapat benar-benar diberdayakan dan sadar akan diri dan lingkungannya.

Mekanisme formal sebenarnya dimainkan oleh para wakil rakyat yang ada di DPRD. Namun harus pula disadari bahwa ketika jabatan telah didapat dan saat mereka membaca kepentingan dari perspektif sebagai politisi, maka jangan terlalu berharap banyak. Apakah para politisi kita di Maluku ada yang benar-benar bersih dari penyalahgunaan kedudukannya sebagai wakil rakyat? Kalaupun ada, patut disyukuri dan didukung. Dengan sedikit pesimis, harus diakui bahwa masih saja ada jalan di mana lembaga perwakilan rakyat dapat diberdayakan. Jadi bukan saja masyarakat yang harus diberdayakan dan dicerahkan, tetapi para politisi pun harus diberdayakan. Dan yang dapat memberdayakan mereka adalah elemen masyarakat sipil sendiri.

Kembali lagi kita diperhadapkan dengan mekanisme dan instrumen pemberdayaan terhadap para politisi. Pemberdayaan politisi berarti membuat para politisi tahu dan bertindak sesuai dengan fungsinya sebagai wakil rakyat dan bukan sebagai politisi saja. Masyarakat sipil bukanlah militer dan juga masyarakat politik. Saat pembedaan itu dapat dilakukan, maka langkah selanjutnya dapat juga dilakukan dalam mekanisme pemberdayaan itu.

Langkah pertama yang mungkin harus dilakukan adalah dengan menarik sejauh mungkin masyarakat sipil dan elemen-elemennya dari arena masyarakat politik. Itu berarti kekuatan politik formal yaitu partai politik tidak lagi memiliki kekuatan mempengaruhi. Dalam bacaan saya, penarikan diri itu sementara berjalan mulai dari pemilu yang lalu walaupun masih ada saja elemen-elemen masyarakat sipil yang sangat dekat dengan wilayah masyarakat politik dan kemudian tidak bisa berbuat lebih banyak lagi. Dengan penarikan itu, berarti ketergantungan masyarakat sipil dari masyarakat politik perlahan-lahan dikurangi dan dapat dihilangkan sama sekali. Bila itu telah terjadi, maka langkah selanjutnya adalah masyarakat sipil dan elemen-elemen pendukungnya masuk kembali ke arena masyarakat politik tetapi dengan cara yang lain. Cara lain itu adalah masuk dan mempengaruhi. Itu berarti elemen-elemen masyarakat sipil yang dimaksudkan di atas harus siap menjadi tangki pemikir. Mengkaji dan menganalisis semua kebutuhan masyarakat bukan saja hak dan kewajiban para politisi atau para birokrat, tetapi juga menjadi hak dan kewajiban masyarakat sipil. Sampai pada tahap ini, sebenarnya elemen kampus dapat mengambil posisi penting dengan catatan bahwa mereka telah mengambil jarak kritis dengan masyarakat politik.

Terhadap kemungkinan-kemungkinan itu, maka tawaran langkah praktis saat ini sehubungan dengan penghisapan Maluku oleh para koruptor adalah elemen masyarakat sipil yang ada dan peduli, mulai merecord. Yang direcord adalah segala ucapan dan tindakan para politisi di Maluku. Bila memang ada yang menyatakan akan berjuang memberantas korupsi dan dalam perjalanannya dia tidak bertindak sesuai dengan ucapannya itu, maka dia berhak diadili secara politis maupun intelektual. Kredibilitasnya sangat layak diragukan sebagai orang yang tidak menepati janji. Media masa kembali dapat memainkan fungsi pentingnya sebagai alat kontrol sosial.

Dengan diberdayakannya lembaga wakil rakyat, maka dengan sendirinya para birokrat di lembaga pemerintahan akan terus dikontrol oleh para politisi. Walaupun kemungkinan “main mata” tetap ada, tetapi paling kurang masyarakat kita telah memiliki semacam kesadaran akan hak dan kewajibannya sebagai masyarakat. Masih banyak hak dan kewajiban lain yang harus dipenuhi oleh kita sebagai masyarakat bukan saja membayar pajak.

Bila ingin agar Maluku tidak habis dihisap oleh orang-orang kurang ajar yang tidak tahu diri, maka seluruh elemen masyarakat sipil harus bersatu-padu. Kepentingan banyak orang yang mesti diperjuangkan dan itu tidak dapat ditawar-tawar lagi. Bagi masyarakat kampus di Maluku khususnya, ada pekerjaan besar ke depan dalam rangka melakukan penyadaran dan pencerahan atau lebih tepatnya transformasi di Maluku pascakonflik. Bila masyarakat kampus sendiri tidak dapat mengambil jarak kritis dari seluruh elemen masyarakat politik dan birokrasi, maka bersiaplah untuk melihat Maluku yang kaya ini kering dan tenggelam di tengah birunya laut yang mengelilinginya. Semoga tidak.


1 komentar:

Steve Gaspersz mengatakan...

Pembangunan memang multimakna. Tapi yang pasti pembangunan harus menjadikan manusia sebagai prioritasnya. Pembangunan dilakukan agar manusia mampu mencapai martabatnya sebagai manusia sejati. Sudahkah kita sampai kesana? Rasanya belum. Membaca tulisan bung Jus ini beta hati ancor paskali, apalai kalo inga rekaman cerita2 tragis tentang pembangunan Maluku dalam buku "Potret Orang-orang Kalah" yang berisi tentang serangkaian proses dehumanisasi dalam pembangunan di Maluku dari ujung utara hingga ke tenggara.

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"