Senin, 05 Mei 2008

WAJAH AGAMA DI PAPUA: Suatu Refleksi Atas Fungsi dan Peranan Agama di Tanah Papua

Manusia yang hanya bisa mengharapkan kebaikan dan belas kasihan orang lain adalah manusia yang sudah kehilangan akal budi dan pikirannya yang akhirnya akan membuat dia kehilangan daya hidup dan kreatifitas. Di sisi lain, daya hidup dan kreatifitas manusia juga terkadang dihalangi oleh pihak lain - seringkali oleh penguasa dan pemilik modal, terkadang juga agama - sehingga ia tidak dapat mengaktualisasikan potensi dirinya itu secara wajar. Upaya menghalangi aktualisasi diri manusia itulah yang oleh Johan Galtung disebut sebagai kekerasan, dan oleh Marx disebut sebagai keterasingan manusia dari dirinya sendiri dan lingkungan realnya.



Saya teringat pada satu kegiatan seminar yang dilaksanakan baru-baru ini di Jayapura. Dalam kesempatan itu, salah seorang pemakalah yang juga adalah tokoh agama di daerah ini mengeluarkan pernyataan yang mengajak seluruh peserta seminar untuk tidak lagi berbicara dan melakukan aksi berkaitan dengan situasi kehidupan sebagai orang Papua yang sementara menderita saat ini. Lebih lanjut dikatakan bahwa telah banyak kata-kata yang terbuang percuma ke telinga orang-orang tuli di negeri ini dan hal terbaik yang bisa dilakukan saat ini adalah berdoa kepada Tuhan.

Dalam rentang waktu yang cukup lama mengalami penindasan baik oleh penguasa maupun pemilik modal, penulis merasa bahwa pernyataan itu merupakan ungkapan kekecewaan paling mendalam dari manusia Papua yang menghidupi kehidupan di tanah ini.
Namun perasaan itu kemudian menyadarkan saya bahwa ada sesuatu yang tidak beres dengan pernyataan tersebut. Saya langsung teringat dengan kritik agama Karl Marx yang mengatakan “agama adalah candu masyarakat”. Dalam beberapa tulisan yang mengulas pernyataan Marx ini, Saya menemukan sisi penting dari kritik agama yang dilakukan Marx dihubungkan dengan situasi yang menjadi kenyataan real kehidupan manusia Papua hingga kini.

Pernyataan Marx di atas adalah pernyataan yang paling kontroversial, khususnya di kalangan orang-orang beragama. Terlepas dari kontroversi seputar pernyataan tersebut, mungkin lebih baik kita masuk sedikit ke dalam gagasan itu.
Bagi Marx, agama memang pantas disebut sebagai candu masyarakat dalam situasi hidupnya saat itu. Seperti candu ia memberikan harapan-harapan semu, dapat membantu orang untuk sementara waktu melupakan masalah real hidupnya. Candu adalah obat yang meminimalkan kesdaran manusia sehingga orang lupa akan kenyataan hidupnya. Tetapi candu bukanlah solusi atas masalah-masalah hidup manusia.

Apa hubungannya dengan agama? Agama menjadi candu ketika agama tidak mampu membebaskan pemeluknya dari ketidakadilan, penindasan, pemelaratan dan pembodohan yang semakin dalam. Orang tertindas lalu melarikan diri kepada agama dengan resep-resep keagamaan. Doa menjadi salah satu resep keagamaan dimana umat beragama menggunakannya sebagai media menghadap Tuhannya. Dengan berdoa orang merasa tenang dan seolah terlepas dari masalah hidupnya. Ketika selesai doa-doa dilafaskan, yang terjadi adalah penderitaan itu tidak akan hilang, yang miskin tetap miskin, yang tertindas semakin merana, yang bodoh semakin bodoh. Resep-resep keagamaan seperti itu menjadi alat modifikasi watak manusia sepanjang sejarah manusia itu sendiri.

Bagi Marx, kenyataan ini kemudian melahirkan apa yang disebutnya fetisisme, yang akan melahirkan “harapan semu orang tertindas". Doa atau tepatnya Tuhan umat beragama menjadi tempat pelarian terakhir ketika manusia tidak lagi mampu berkata. Gagasan seperti ini semakin menjurus kepada fetisisme agama dan itulah yang dikehendaki oleh penguasa atau penindas.

Pertanyaannya adalah apalagi yang dapat dilakukan oleh umat beragama yang juga adalah manusia-manusia Papua yang tertindas menghadapi konspirasi para penindas yang adalah golongan penguasa pusat dan lokal beserta seluruh kerabatnya termasuk pemilik modal selain berdoa dan menyerahkan masalah hidupnya pada Tuhan?

Jawaban terhadap pertanyaan di atas menjadi tanggung jawab kita bersama yang menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan di tanah ini. Alih-alih mencoba menjawab pertanyaan tersebut, penulis hanya hendak menggugah sedikit kegelisahan iman orang beragama di Papua untuk beriman dengan sejati dan benar.
Bagi Saya, doa hanya akan menjadi resep keagamaan yang tidak berguna ketika doa menjadi pelarian terakhir manusia Papua. Bila memang demikian adanya, maka ujung-ujungnya Tuhan umat beragama yang akan disalahkan ketika manusia tetap ditindas meskipun sudah menaikkan doa-doanya.

Doa akan berguna bila berfungsi sebagai refleksi terhadap perjuangan yang telah dilakukan sebagai manusia Papua yang juga bermartabat di hadapan Tuhan. Refleksi yang diikuti dengan aksi yang melahirkan refleksi dan aksi yang baru dan seterusnya, itulah doa yang sempurna.

Masyarakat tanpa penindasan, pemiskinan, pembodohan adalah masyarakat yang adil dan itu hanya bisa diciptakan dalam kerjasama dengan semua orang yang berkehendak baik.
Salah satu jalan yang bisa dilakukan agama-agama khususnya gereja di Papua saat ini adalah proses penyadaran manusia Papua tentang situasi mereka. Berhentilah sebentar untuk bicara tentang sorga atau neraka, umat pilihan Allah atau yang bukan, dan lain-lain. Mulailah berbicara dalam teks kekinian, dalam narasi-narasi manusia Papua yang tertindas dan terpinggirkan, yang tidak pernah didengarkan.

Dalam pendekatan itu, saya mencoba memperhadapkan kenyataan ini dengan keyakinan iman saya sebagai orang Kristen. Menurut saya, teks-teks penindasan manusia Papua adalah juga Firman Tuhan sebagaimana kekristenan meyakini teks-teks tentang penindasan orang-orang Israel di Mesir atau orang-orang Kristen di Roma sebagai Firman Tuhan. Bila para pemimpin agama - yang memiliki otoritas untuk menafsirkan Firman Tuhan - telah tiba pada tahapan ini, maka kita telah memulai jalan baru untuk tidak sekedar berdoa dan berdoa saja. Kita telah melampaui teks-teks yang disucikan itu dan bicara dalam teks-teks kekinian kita. Itulah yang kemudian dimaksudkankan dengan berteologi. Berteologi bagi saya mengikuti gagasan Bevans adalah suatu keberlanjutan sekaligus keterputusan. Keberlanjutan karena kita mengenal, mengalami Allah dalam refleksi dan aksi manusia-manusia yang ditulis dan kemudian diakui sebagai kitan suci. Keterputusan karena kita juga memiliki pengalaman sendiri, aksi sendiri, refleksi sendiri yang tidak kalah pentingnya untuk ditulis sebagai pengalaman kita akan Allah itu.

Semakin banyak jalan yang ditawarkan, semakin banyak pula alternatif bagi perjuangan manusia Papua untuk keluar dari kungkungan penindasan. Ini hanyalah langkah awal bagi agama-agama, khususnya gereja di tanah Papua ini untuk memulai lagi aksi-aksi pembebasan setelah berefleksi dalam doa pada Tuhannya.
Percaya atau tidak, semakin banyak orang yang hanya berdoa dan semakin sedikit orang yang bicara dan bekerja dalam kreatifitas dan kebebasan selaku manusia, maka semakin enak dan lelap para penindas tertidur. Kebaikan selalu menghasilkan kebaikan, keadilan tidak akan ada tanpa usaha dan jerih payah orang yang mengusahakannya.


Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"