Selasa, 10 Februari 2009

Sejarah Pela AMAHAI - IHAMAHU

Salah satu hal yang membedakan manusia dengan hewan lainnya adalah kemampuannya untuk terus menerus menelusuri akar dan asal-usulnya. Dalam kenyataannya, akar dan asal-usul Tepa yang saya miliki belum dapat ditelusuri. Namun demikian, darah dari ibulah yang membuat saya menelusuri terus menerus sejarah dan asal-usul yang terkait dengan negeri Amahai.
Pada bagian ini, saya hendak memaparkan secara singkat tentang hubungan Pela antara Amahai (Lounusa Maatita) dengan Ihamahu (Noraito Amapati). Kalau saja ada basudara yang sempat membaca hal ini dan hendak memberikan masukkan atau kritik, silahkan komentari saja demi penyempurnaannya. Sejarah ini saya dapatkan dari Hasil Seminar Sejarah Lounusa Maatita di Amahai, yang diselenggarakan pada tahun 1991.

Terjadinya hubungan pela antara Amahai dan Ihamahu berawal ketika negeri Ihamahu (Noraito Amapati) hendak membangun gedung gereja di negeri mereka. Dalam proses pengerjaannya, negeri Noraito Amapati menghadapi kesulitan dalam pembangunan. Kesulitan itu adalah menyangkut bahan kayu yang dibutuhkan untuk ramuan Gedung Gereja, yaitu Kayu Besi. Untuk mencari Kayu Besi, utusan telah dikirimkan ke Rumahkay, Kairatu, tetapi tidak berhasil karena di daerah-daerah itu kekurangan kayu besi.

Dalam upaya pencarian mereka, terbetik berita bahwa di petuanan Negeri Soahuku (Lilipory Kalapessy) banyak terdapa pohon kayu besi. Raja Soahuku pada waktu itu adalah Alfaris Tamaela, yang menikah dengan seorang putri dari Ihamahu, Nona Lilipaly. Dengan demikian, terbukalah jalan untuk mengirimkan utusan ke Soahuku untuk menjajaki kemungkinan mencari ramuan Gedung Gereja ke sana. Rapat Saniri pun diadakan dan diputuskanlah untuk mengirimkan 3 (tiga) orang utusan ke Soahuku, yaitu: Kepala Soa A. Sanaky, Kepala Soa E. Kipuw, dan Tuagama E. Anakotta. Mereka tiba di Soahuku pada hari Kamis pagi, tanggal 9 Januari 1890. Pada sore harinya, utusan dari Noraito Amapati menemui Raja Alfaris Tamaela untuk menyampaikan maksudnya. Tetapi permintaan utusan dari Noraito Amapati itu tidak dapat dipenuhi karena di Soahuku sendiri kekurangan kayu besi. Gedung Gereja di Soahuku pada waktu itu terbuat dari kayu Gupasa (karena kekurangan kayu Besi itu). Satu-satunya negeri yang petuanannya banyak terdapat kayu besi adalah Amahai. Karena itu, Raja Alfaris Tamaela berjanji untuk mengantarkan utusan Ihamahu menghadap Raja Amahai guna menyampaikan maksud mereka.

Keesokan harinya, Jumat tanggal 10 Januari 1890, pada waktu sore, datanglah utusan dari Noraito Amapati diantar oleh Raja Alfaris Tamaela menghadap Raja Amahai Wilhelem Hallatu. Setelah disuguhkan apapua oleh tuan rumah, maka utusan pun menyampaikan maksud kedatangan mereka. Raja Wilhelem Hallatu adalah seorang Kristen yang baik, suka membantu pekerjaan-pekerjaan yang berhubungan dengan pelayanan. Karena itu, beliau dengan sukarela menerima atau mengabulkan permintaan utusan dari Noraito. Setelah berunding dengan Para Saniri Negeri dan Para Kewang, maka ditunjuklah Hutan Sersamawony, sebab di sana banyak terdapat pohon kayu besi. Setelah perundingan selesai, kembalilah utusan dari Noraito Amapati bersama dengan Raja Alfaris Tamaela ke Soahuku untuk beristirahat. Pada hari Selasa, 14 Januari 1890, kembalilah para utusan itu ke negerinya Noraito Amapati, Ihamahu, untuk melaporkan hasil perjalanan mereka kepada Saniri Negeri.

Segala persiapan pembangunan Gedung Gereja pun dilakukan. Batu pertama pondasi pun diletakkan pada Hari Sabtu sore, 1 Pebruari 1890. Pada hari Senin, 3 Pebruari 1890, pondasi Gedung Gereja itu mulai dekerjakan dan selesai hanya dalam beberapa hari saja karena ketekunan dan semangat untuk memiliki sebuah Rumah Ibadah yang baik dan permanen.

Setelah itu, diadakanlah persiapan keberangkatan rombongan ke Amahai untuk mendapatkan kayu besi sebagaimana yang telah dijanjikan oleh Raja Amahai. Setelah semua persiapan rampung, berangkatlah sebanyak 80 orang pria dewasa pada tanggal 10 April 1890 di bawah pimpinan Pattih Ihamahu, W. J. Lilipaly, didampingi oleh 4 (empat) orang kepala soa dan 3 (tiga) orang Tuagama, masing-masing: Kepala Soa A.Sanaky, Kepala Soa E.Kipuw, Kepala Soa P.Anakotta, Kepala Soa E.Sahetapy, Tuagama D.Anakotta, Tuagama J.Haulussy.

Pemerintah Negeri Amahai sebelumnya telah mendapat kabar dari Ihamahu tentang kedatangan rombongan yang akan dipimpin oleh Pattih Ihamahu itu. Karena itu, penyambutan di Amahai pun dipersiapkan. Sudah direncanakan di Ihamahu agar antara Amahai dan Ihamahu sebaiknya diikatkan dalam suatu hubungan persekutuan orang bersaudara, yang secara adat dan kebiasaan golongan Patasiwa, ialah mengadakan PELA.

Sehari setelah rombongan itu tiba di Amahai, diadakanlah musyawarah di Baeleu Amahai. Musyawarah itu berjalan lancar dan Amahai dengan penuh sukacita menerima Ihamahu sebagai PELA. Karena itu, pada hari Minggu tanggal 13 April 1890, diadakanlah Pasawari Adat dihadiri oleh seluruh Rakyat Amahai dan rombongan dari Ihamahu.

Setelah sebagian besar ramuan Gedung Gereja telah selesai dikumpulkan, beberapa pria Dewasa dari Amahai yang telah biasa hanyut gosepa dari kepala air, ikut serta dengan para pekerja dari Ihamahu untuk hanyut gosepa ramuan Gereja ke Amahai. Pada tanggal 22 Desember 1896, gosepa ramuan Gereja dihanyutkan dari Sersamawony ke Amahai. Dalam hanyut gosepa itu, dinaikkanlah kidung-kidung Rohani diselingi dengan lagu musik tomahua dan kapata-kapata. Setelah sehari beristirahat di Amahai, tanggal 24 Desember 1986 bertolaklah gosepa ramuan Gedung Gereja ke Ihamahu.

Pemuda-pemuda Amahai yang ikut dengan gosepa ramuan Gereja ke Ihamahu diterima dan dibagi-bagi untuk tinggal di rumah-rumah rakyat Negeri Ihamahu. Kareja jumlah orang Amahai yang pergi ke Ihamahu cuma sedikit, maka secara bergilir mereka berpindah dari satu rumah ke rumah lain. Orang-orang Amahai berada di Ihamahu hampir satu bulan lamanya. Selama mereka berada di Ihamahu, hampir tiap minggu diadakan pesta. Pada tanggal 15 Januari 1897, kembalilah orang-orang Amahai ke negeri Lounusa Maatita.

Pada tanggal 29 September 1899, terjadilah suatu bencana alam yang banyak merenggut jiwa manusia. Dalam penjelasan yang kemudian, bencana itu disebabkan karena patahan di sekitar teluk Elpaputih. Bencana ini pula yang disebut sebagai Bahaya Seram, dimana banyak merenggut nyawa termasuk orang Amahai dan Ihamahu. Orang Ihamahu turut menjadi korban dalam peristiwa ini karena mereka hendak menyelesaikan pekerjaan pemotongan kayu sisa. Gedung Gereja mereka masih kekurangan beberapa bilah papan untuk pintu dan jendela. Oleh karena itu, pada tanggal 27 September 1899, berangkatlah dari Ihamahu 4 (empat) buah Rembaya yang berisi 80 orang disertai Pattih Ihamahu, W.J. Lilipaly dengan 3 (tiga) orang Kepala Soa, masing-masing: E.Kipuw, E.Sahetapy dan P.Anakotta. Pada perencanaan awal, rombongan akan berangkat dari Amahai ke Sirsamawony setelah selesai ibadah tanggal 30 September 1899, tetapi dalam kenyataannya manusia boleh berencana, tetapi Tuhan jua lah yang menentukan segalanya.

Rembaya-Rembaya orang Ihamahu berlabuh di Pantai Sirupu. Rombongan sebagian besar melewatkan malam 29 September 1899 di rumah-rumah orang Amahai. Dalam lelap mereka, saat jam menunjukkan pukul 01.20 waktu setempat, terjadilah suatu gempa yang dahsyat. Gempa itu diikuti oleh 3 (tiga) buah ombak pasang yang melanda negeri-negeri di pesisir Seram Selatan, termasuk Amahai. Rembaya-rembaya yang sedang berlabuh di Pantai Sirupu diangkat oleh ombak pasang itu dan dilemparkan ke telaga Aulalo, di belakang negeri. Pada waktu ombak pertama datang, orang-orang mulai berlari mencari keselamatan. Banyak orang yang berlari menuju ke arah Wai Rano. Mereka itulah yang kebanyakan tewas karena ombak susulan yang besar sebanyak 2 (dua) kali melanda pesisir negeri. Banyak orang yang tersangkut di dahan-dahan kayu dan di atap-atap rumah. Orang Ihamahu tidak luput dari bahaya itu. Hampir 60 orang laki-laki bersama Pattih mereka meninggal dunia pada saat itu. Sisanya dibawa ke Ihamahu dan dirawat di rumah sakit di Saparua. Tetapi ada juga yang meninggal dalam perawatan.

Bencana yang menimpa itu membawa dampak yang tak terkira. Selain kehilangan nyawa dan harta, tetapi juga menumbuhkan rasa curiga mencurigai antara orang Amahai dan Ihamahu akibat kehilangan. Apalagi Pattih Ihamahu meninggal di Amahai pada saat bencana itu terjadi. Hal ini yang mengakibatkan hubungan PELA antara Amahai dan Ihamahu sempat mengalami kelonggaran. Karena kelonggaran PELA itulah, maka pembanguna Rumah Gereja Ihamahu terbengkalai selama hampir 10 tahun. Dengan sangat terpaksa, ramuan sisa yang rencananya diambil di Amahai dibatalkan. Orang Ihamahu kemudian mengambil sisa ramuan itu di Wasia dan Gereja Ihamahu baru dapat diselesaikan pada bulan April 1908.

Di Ihamahu, adik dari Pattih W.J.Lilipaly, G.J. Lilipaly (Guru di Nolloth) diangkat sebagai Pattih menggantikan kakaknya. Tetapi ia hanya bertahan kira-kira setahun. Kekosongan kursi pemerintahan di Ihamahu berjalan hampir dua puluh tahun. Barulah pada tahun 1923, Johanis Lilipaly diangkat menjadi Pattih Ihamahu. Di Amahai, Raja Wilhelem Hallatu menyerahkan tongkat kepemimpinan kepada anaknya Abraham Hallatu. Di bawah pemerintahan kedua orang muda inilah baru hubungan PELA Amahai - Ihamahu direkatkan kembali.


3 komentar:

oeliestahamata mengatakan...

24 des. 1986 =1896

29 sept gempa bumi pada jam 01.20 uur berarti itu sudah tanggak 30 bukan???
ini saja yg beta mau kemukakan
terima kasih.

Anonim mengatakan...

saudaraku yannick ,di tahun 1894 sudah angkat pela dolo baru terjadi gempah bumi itu dan tahun 1924 di angkat pela gandong
ringkas saja yg ku mau tambahi agar supaya jangan kita lupa di muka gempah bumi sudah angkat pela, sekian
dan terima kasih hormat patut yg luar biasa utk saudaraku ,yannick, yg beta hormati
oepoe lanito loto sorgawi berkati walioe lepoe lepoe,selamatooooooooooo!

Anonim mengatakan...

boss, punya sejarah tsunami taon 1899 *kalo seng salah yang beta liat di google* yang melanda elpaputih sampe amahai deng elapaputih tenggelam tuh ada seng ? makasih sebelumnyaa :)

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"