Sudah empat malam kurendam kepala ini dalam pekat selimut tua. Benar-benar tua karena sudah kubeli empat tahun lalu di atas anjungan kapal di laut lepas Timur Werinama. Benar-benar hanyut dalam ingatan, ketika di pertengahan tahun, 13 tahun yang lalu sebongkah batu karang menghantam kepala, sebatang pipa besi meremukkan tulang iga.
Uhfffssss .... sok tahu, sok jago, malam itu kutenteng parang sambil melewati jalan yang penuh batu karena perkelahian yang baru usai. Sekilas terdengar suara "itu dia juga" dan "p e e nnnnnnnggggggggg", telinga mendering tajam dan kelebatan orang-orang pun mulai menghadang. Kucabut parangku tapi terlambat, sebilah benda tajam telah menyelinap di balik ketiak, menyongsor dada kiriku. Aku ditarik oleh seribu lengan ke dalam rumah yang sangat aku kenal. Kepala ditarik, dibenturkan ke dinding, sambil mata memincing melihat pukulan demi pukulan terus menghujam.
Aku hanya teringat kata: "Ya Bapa, ke dalam tangaMU kuserahkan nyawaku". Pasrah di dalam rumah Tuhan itu, menunggu saat terakhir di ujung parang terhunus dan kepalan-kepalan membabi buta. Dalam kepasraan itu, terdengar letupan membahana. Mata coba menangkap sesosok bayangan yang berdiri di tengah, antara tubuh ini dengan mereka yang diliputi amarah. Revolver pun membahana, mereka terkejut, mundur, menyisahkan sedikit jalan. Dalam keterkejutan, tubuhku ditarik setengah berlari, keluar dari rumah maut. Dengan lunglai, kuayunkan kaki ke atas kereta penyelamatku dan .... "pee ee ee nnnnngggggggggggg", telingaku kembali berdering. Kulihat sebentar wajah di sampingku, kualihkan pandangan ke tangannya .. Ya Tuhan, itu khan pipa.
Lolos dari maut adalah peristiwa terpenting dalam hidup. Sudah berkali-kali, selalu saja ada celah atau peristiwa tak terduga. Syukur sajalah yang patut untuk semua itu. Syukur lewat detak jantung, syukur lewat tarikan nafas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar