Hal yang mengejutkan dan menggenaskan itu adalah apa yang disampaikan oleh Dan Yonif 751, Letkol Inf. Tatang Subarna dalam beberapa media online seperti vivanews, lintasberita dan metronews:
''Setiap dibuka pendaftaran, pasti ada calon prajurit yang positif mengidap HIV/AIDS, bahkan jumlahnya bisa 10 persen dari total yang mendaftar yakni rata-rata 300 orang. Itu pun baru pendaftar Jayapura . . . . Kami prihatin, dalam usia yang masih sangat muda dan begitu potensial, sudah terkena virus HIV/AIDS . . . . Bagi calon prajurit yang terinfeksi, kami hanya sebatas mengatakan kepada yang bersangkutan, Anda tidak lulus kesehatan. Namun, kami tidak membeberkan jenis penyakitnya.''
Hal ini menandakan bahwa tiap saat penerimaan calon prajurit TNI, para pendaftar yang positif HIV itu tidak diberitahukan statusnya atau dilakukan konseling terhadap mereka.
Saya membayangkan bahwa mereka kembali ke rumah dan menganggap biasa-biasa saja, berperilaku seperti biasa, dalam keadaan tidak mengetahui statusnya yang sebenarnya telah diketahui oleh pihak Kodam XVII Cenderawasih. Ketika mengetahui statusnya, mereka telah memasuki tahapan yang cukup sulit untuk diatasi.
Bila ini yang terjadi, rata-rata 30 orang saja tiap kali pendaftaran (10% dari total pendaftar rata-rata 300), maka tiap tahun terjadi peningkatan mereka yang telah "diketahui" statusnya sebagai pengidap HIV namun tidak dibarengi dengan penanganan yang "seharusnya" terhadap mereka.
Dengan menyembunyikan status kesehatan mereka, menandakan bahwa pihak TNI di Papua tidak memiliki kepedulian terhadap isu HIV/AIDS sebagai salah satu isu yang hangat dibicarakan di Papua. Dengan menyembunyikan status kesehatan para calon pendaftar itu menandakan bahwa pihak TNI di Papua telah bertindak melanggar hak memperoleh informasi terkait suatu keadaan yang membahayak diri seseorang, lebih lagi, telah melanggar hak hidup mereka yang "diketahui" mengidap HIV. Dengan menyembunyikan status itu, pihak TNI di Papua telah menutup kesempatan bagi mereka yang "diketahui" mengidap HIV itu mendapatkan pelayanan yang semestinya dari pihak-pihak yang peduli dengan isu HIV/AIDS di Papua.
Saya tidak bermaksud menjustifikasi situasi ini, tetapi apabila hal ini terus terjadi, patut dipertanyakan pilihan yang dibuat oleh pihak TNI di Papua dengan tidak memberitahukan status kepada mereka yang telah "diketahui" mengidap HIV itu. Kecurigaan sementara saya pribadi, "Jangan-jangan ini hanyalah salah satu upaya yang sistematis dan 'terencana' dari pihak-pihak tertentu untuk 'menghabisi' penduduk dan generasi muda Papua?"
Agar kecurigaan itu tidak menjadi nyata, menurut saya, perlu ada tindakan lebih lanjut dari pihak TNI di Papua, bekerjasama dengan pihak-pihak terkait yang lebih berkompeten menangani isu HIV/AIDS di Papua, khususnya terkait pendampingan - konseling dan pengobatan. Apabila ada lagi di antara para pendaftar yang "diketahui" mengidap HIV, biarkan pihak-pihak terkait yang menangani hal itu, tanpa harus menyembunyikan status dari mereka secara pribadi. Ada beberapa lembaga yang telah berpengalaman melakukan pendampingan terhadap para pengidap HIV, biarkan mereka masuk menjadi bagian dari sistem penerimaan calon prajurit TNI, khususnya di bidang kesehatan, terkait dengan kemungkinan adanya calon prajurit TNI yang mengidap HIV.
Di lain pihak, Pemerintah maupun Lembaga Keagamaan harus cepat tanggap terhadap situasi ini. Pendekatan dengan pihak TNI perlu dilakukan karena hanya dengan pendekatan yang baik, generasi muda Papua dapat diselamatkan, paling kurang harapan hidup dengan sehat dan dapat bekerja dengan baik tetap ada.
Jadi, jangan lagi tutupi status mereka, konsultasikan hal ini dengan lembaga-lembaga yang telah berpengalaman menanganinya, konsultasikan dengan pemerintah, saya kira masih ada jalan bagi kita semua tanpa harus saling curiga, "Jangan-jangan ada U di balik B".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar