Pancasila tidak lahir dengan sistematis dan terencana, walaupun telah ada akarnya dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia. Pancasila sesungguhnya lahir dalam kondisi yang tergesa-gesa karena tuntutan waktu itu. Dalam pidato Ir. Sukarno pada tanggal 1 Juni 1945 di hadapan BPUPKI yang disebut sebagai Philosofische grondslag, ia mengatakan bahwa dasar filosofi itu tidak bisa dibicarakan dan dirancang dengan sistematis, komprehensif dan rumit. Menurutnya, bila dasar filosofis berdirinya suatu negara merdeka harus dipikirkan dengan matang dan sistematis, jelimet, lebih dulu, maka bangsa itu sesungguhnya tidak akan pernah mencapai kemerdekaannya. Indonesia merdeka dulu, sebagai jembatan emas. Di seberang jembatan emas kemerdekaan itulah baru masyarakat ini disempurnakan (Alam, Wawan Tunggul, 2001: 3-4).
Dalam pandangan Stanley Benn (1967: 442-5), ada lima kriteria yang bisa digunakan untuk menentukan kenyataan suatu bangsa, yaitu: (1) Adanya kesatuan organisasi politik yang disebut ‘negara’ yang memiliki hukum dan sebagai badan pemberi hukum; (2) Kesatuan bangsa didasarkan pada kesamaan bahasa dan budaya; (3) Kesatuan bangsa didasarkan pada pewarisan sejarah yang sama; (4) Kesatuan bangsa didasarkan pada keterikatan masyarakat pada wilayah tertentu, yaitu tanah air; (5) Kesatuan bangsa didasarkan pada cita-cita bersama. Ada cita-cita negatif, meniadakan penjajahan atas dirinya, dan ada cita-cita positif, menghadirkan kesejahteraan bagi bangsa itu agar tidak dijajah lagi.
Kriteria yang diberikan oleh Benn di atas telah dimiliki oleh Bangsa Indonesia walaupun masih ada beberapa pihak yang menyuarakan tuntutan pelurusan sejarah bangsa ini. Pancasila dalam pandangan penulis, seturut dengan perspektif Benn, adalah cita-cita positif yang tetap menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang bersatu sampai saat ini.
Apabila menilik dengan cermat apa yang disampaikan oleh Ir. Soekarno, sebagaimana disitir di atas, maka mesti ada semacam kejujuran epistemologis bahwa perumusan Pancasila sesungguhnya baru dimulai beberapa saat menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia dilakukan. ‘Ketergesah-gesahan’ karena tuntutan waktu itu menjadikan Pancasila hanya dapat dipandang sebagai suatu falsafah hidup (Weltanschauung) yang mendasari kehidupan bersama bangsa Indonesia dan bukan sistem pengetahuan yang sistematis. sebagai Sebagai ‘falsafah’ hidup, tentu saja Pancasila tidak bisa lagi diganggu gugat, tetapi masih bisa dikritisi dan didalami terus menerus guna pencarian ide-ide kreatif dalam membangun bangsa sesuai tuntutan zaman. Walapun demikian, Pancasila tetap merupakan sumber pengetahuan hukum bagi bangsa Indonesia ketika menjadikannya sebagai sumber tertib hukum tertinggi di negara ini. Dalam kaitan dengan itu, persoalan tentang Pancasila bukan lagi persoalan ideologi, tetapi sudah merupakan persoalan pragmatis, yaitu pencarian terhadap manfaatnya bagi pembangunan bangsa saat ini.
Apa tuntutan zaman ini terhadap Pancasila dalam kehidupan bangsa Indonesia? Selalu saja 1 Oktober menjadi peringatan Hari Kesaktian Pancasila dalam kaitan dengan apa yang disebut sebagai ‘G30S/PKI’. Ketika tuntutan zaman telah berubah, ingatan tentang kesaktian Pancasila terhadap rongrongan Komunis itu ternyata tidak berubah. Indonesia saat ini memang sedang ‘sedikit’ sakit. Dirongrong dari dalam oleh masalah yang ditimbulkan anak bangsa sendiri, dari luar oleh ancaman bangsa lain. Mereka yang dikategorikan sebagai teroris, koruptor, perampok, pengacau keamanan, penggelap pajak besar, mafia hukum dan peradilan, adalah anak-anak bangsa. Begitu juga dengan mereka yang tidak mampu hidup dengan layak, tidak memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan yang memadai, sementara mengungsi dan jauh dari tanah leluhur, berupaya memperoleh tempat untuk beribadah dengan layak kepada Tuhan tetapi digusur, adalah anak-anak bangsa Indonesia. Sengketa tapal batas negara, perlakuan terhadap anak bangsa yang menjadi tenaga kerja di negara lain, adalah bentuk-bentuk nyata penggerogotan dari luar. Tuntutan zaman ini adalah bangsa Indonesia harus bisa bertahan dan tidak boleh kalah walaupun telah digerogoti sedemikian rupa. Dalam upaya bertahan untuk tetap menjadi bangsa itu, kita kadang lupa akan Pancasila.
Masihkah Pancasila Sakti? Adalah pertanyaan penulis terhadap situasi saat ini yang terjadi di Indonesia ketika sikap para pemimpin bangsa cenderung lebih merugikan rakyat. Mengapa para pemimpin bangsa? Karena rakyat adalah kekuatan suatu bangsa, tetapi pemimpin adalah pemikirnya. Rakyat membayar agar dipimpin menuju cita-cita bersama, tetapi pemimpin yang dibayar masih belum meyakinkan diri tentang cita-cita itu. Cita-cita positif yang mengikat bangsa ini untuk tetap mengada sebagai bangsa Indonesia adalah Pancasila dengan kelima silanya: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab; (3) Persatuan Indonesia; (4) Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan; (5) Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Dalam pendekatan epistemologi pragmatis, suatu gagasan atau teori itu benar apabila dapat dikerjakan, dilakukan, dipraktekkan dalam kehidupan setiap hari guna mengatasi masalah-masalah yang terjadi. Apabila gagasan atau teori itu tidak bermanfaat dalam upaya mengatasi masalah, maka kebenaran gagasan itu dapat dipertanyakan, dikritisi, dibongkar lagi. Atas dasar pendekatan itu, apakah gagasan-gagasan dalam Pancasila dapat diterima sebagai sesuatu yang benar karena dapat dikerjakan, dilakukan, dipraktekkan sebagai solusi terhadap masalah-masalah bangsa?
Terhadap kenyataan konflik kultural terkait simbol-simbol peribadatan antara umat beragama yang berujung pada kekerasan, apakah Pancasila telah menunjukkan kesaktiannya? Terhadap kenyataan banyaknya warga negara yang masih menuntut haknya sebagai manusia karena hak-hak asasinya pernah dilanggar, apalah Pancasila masih sakti? Terhadap kenyataan banyak kelompok yang merongrong dan melakukan teror terhadap negara ini, apakah Pancasila masih sakti? Terhadap kenyataan banyak wakil rakyat yang sudah tidak lagi bijak dan berjuang untuk kepentingan rakyat, apakah Pancasila masih sakti? Terhadap kenyataan banyak anak bangsa yang tidak sejahtera karena didiskriminasi secara ekonomi, sosial dan budaya, apakah Pancasila masih sakti?
Memang, dalam sejarahnya, Pancasila disusun dengan tergesa-gesa. Namun dalam perjalanan hidup berbangsa, cita-cita positif itu telah dimatangkan oleh masalah demi masalah yang diperhadapkan pada bangsa ini. Masalah zaman ini tentu berbeda dengan masalah zaman lalu. Sudah saatnya kita, bangsa ini memperluas pemikiran tentang arti kesaktian Pancasila yang tidak sekedar sakti terhadap rongrongan ideologi lain, tetapi juga sakti dalam mengatasi masalah konflik keagamaan, konflik kemanusiaan, terorisme, kemiskinan, koruptor dan upaya memperkaya diri sendiri, dan lain sebagainya. Pancasila harus kembali menjadi sumber segala pengetahuan bagi upaya mempertahankan bangsa Indonesia sebagai bangsa. Pancasila sudah saatnya tidak diberlakukan seperti dewa di balik ruang kaca penguasa dalam kepentingan legitimasi kekuasaan semata. Sebagai sumber pengetahuan, Pancasila harus dapat dikritisi, dibongkar-bangkir dengan tujuan pencarian ide-ide kreatif guna solusi masalah bangsa saat ini. Sudah saatnya bangsa ini membuktikan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, falsafah hidup, benar-benar mampu menjadi solusi bagi permasalahan-permasalahan yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar