Selasa, 20 September 2011

Provokasi Damai Dalam Perspektif "Social Traps"

Hari ini, seorang temanku menulisi damai dalam perspektif “problem of trust”. Saling percaya telah menjadi faktor penentu bagi perjumpaan-perjumpaan yang melampaui identitas-identitas komunal-religi. Ketika membaca tulisan beberapa rekan di Ambon tentang situasi terakhir pasca “bentrok massa” 9/11 yang berangsur damai, saya ikut bersyukur sekaligus merenung. Apakah hal itu akan sementara saja atau akan berlangsung terus di pulau yang manise itu. Tulisan-tulisan yang bernas itu telah menjadi provokasi damai yang menggugah.

Damai, entah dalam pengertiannya yang negatif (tiadanya perang dan atau kekerasan fisik) atau dalam pengertiannya yang positif (adil, sejahtera, makmur, sentosa, dll.) tetap saja menjadi impian. Ada teman yang menyatakan bahwa damai akan lebih bermakna bagi masyarakat yang pernah merasakan perang, konflik, rusuh, dll. Kalau soal makna, tentu tak dapat disalahkan.

Perenungan saya tiba pada sedikit keyakinan bahwa semua rekan di Ambon telah mulai berhasil keluar dari “perangkap sosial (Social Trap) situasi mereka. Social trap adalah istilah di bidang psikologi yang diperkenalkan pertama kali oleh John Platt pada tahun 1973. Istilah itu adalah metafora bagi situasi-situasi di mana para aktor sosial mengambil keputusan yang ditentukan oleh penilaian terhadap tindakan-tindakan aktor-aktor yang lain di masa depan. Hal itu sangat berhubungan dengan keputusan untuk saling percaya dan bekerjasama dalam suatu situasi.

Secara sederhana, logika sosial trap adalah sebagai berikut (Rothstein, 2005:12):
  1. Situasi di mana “tiap orang” diuntungkan karena “tiap orang” memilih untuk bekerjasama.

  2. Tetapi, jika “seseorang” tidak percaya bahwa “orang lain” dapat bekerjasama, maka tak ada artinya memilih untuk bekerjasama karena suatu kerjasama sangat tergantung dari pilihan bekerjasama semua pihak.

  3. Jadi, “tidak bekerjasama” adalah pilihan bagi “orang-orang” yang “percaya” bahwa “pihak lain” tidak dapat bekerjasama.

  4. Kerjasama yang efisien untuk tujuan bersama hanya dimungkinkan jika “tiap orang” percaya bahwa “orang lain” juga akan memilih untuk bekerjasama untuk hal itu.

  5. Dengan tiadanya kepercayaan itu, maka social trap (perangkap sosial) akan langsung tertutup dan berakhir dengan buruk bagi “semua orang”, walaupun ada kesadaran bahwa ada keuntungan-keuntungan tertentu ketika memilih bekerjasama.
Ada beberapa dasar teoretis yang digunakan mendukung konsep ini, di antaranya adalah tindakan ekonomi politis yang strategis mengasumsikan bahwa “apa yang orang kerjakan sangat tergantung pada kepercayaan tentang apa yang orang lain akan kerjakan”. Selain itu, yang cukup penting adalah kemungkinan untuk keluar dari social trap itu dibatasi oleh fakta bahwa manusia secara rasional tidak dapat memutuskan untuk melupakan sesuatu. Artinya, dalam perspektif psikologis, perangkap sosial mengindikasikan bahwa pilihan terhadap ingatan dan pelupaan dalam memori tidak dapat ditentukan secara rasional. Dalam kasus Ambon 1999 - 2004, dapat saja orang “mengatakan” bahwa: “marilah kita melupakan apa yang terjadi dan hidup damai”, tetapi secara rasional, orang tidak dapat melakukan pilihan untuk langsung menghapus ingatan itu dari memorinya.

Dari logika dan indikasi-indikasi di atas, dapat dimengerti betapa seriusnya masalah social trap dalam kehidupan masyarakat. Indonesia, khususnya di Maluku telah pernah ada dalam perangkap sosial itu. Salah satu contoh adalah ketika orang-orang yang memegang kontrol terhadap arus informasi menyebarkan informasi yang saling menyudutkan. Sekali masuk dalam strategi yang didasarkan pada ketidakpercayaan, maka pintu perangkap akan tertutup dan sulit bagi orang untuk keluar. Hal itu lebih disebabkan karena adanya kesulitan tersendiri bagi orang-orang yang tidak saling percaya dalam waktu yang lama untuk membangun rasa saling percaya kembali dengan meyakini bahwa pihak lain pasti akan bekerjasama dalam tujuan bersama.

Walaupun demikian, secara rasional pula, dapat dikemukakan bahwa rasionalitas individual ikut menentukan rasionalitas masyarakat. Kunci untuk membuka pintu perangkap sosial, salah satunya adalah dengan mengandalkan dan atau mempercayakan rasionalitas individual memainkan peranannya. Individu-individu rasional yang membangun rasa percaya baru setelah sekian lama ada dalam komunitas yang tidak saling percaya dapat menjadi provokator damai. Individu-individu rasional itu pula yang dapat membuka pintu perangkap sehingga perlahan-lahan tercipta masyarakat yang secara rasional saling percaya yang berdampak pada kerjasama dengan tujuan bersama.

Terkait itu, individu-individu rasional itulah yang saya temukan dalam diri rekan-rekan yang selalu menulis tiap pengalaman perjumpaan yang melampaui rasa ketidakpercayaan itu. Tiap tulisan yang adalah provokasi damai itu perlahan namun pasti akan membuka pintu perangkap dan membebaskan masyarakat, khususnya di Ambon untuk kembali dalam rasa saling percaya.

Bagi saya, dipandang dari perspektif apapun, damai tetap lebih indah.
Bagi kalian yang telah menjadi provokator damai, terima kasih banyak karena ikut membentuk rasionalitas saya.

Referensi:
Rothstein, Bo, 2005, Social Traps and the Problem of Trust, NY: Cambridge University Press.

Tidak ada komentar:

Nyanyian Jemaat GPM No. 36. "Saat Ini"