Hari ini pertama kali saya
mengikuti satu kelas Bahasa Inggris yang menyenangkan. Kelas diselenggarakan
oleh Pak Allan dan istrinya, Catherine Mitch, para pelayan dari MCC yang diutus untuk melayani di STT GKI I.S. Kijne Jayapura. Para peserta kelas itu adalah siapa
saja yang tertarik belajar Bahasa Inggris dalam suasana yang menarik.
Bertepatan dengan pertama kali keikutsertaan saya, datang 2 (dua) orang muda,
berumur sekitar 20 tahun, yang laki-laki dari Kanada dan Perempuan dari
Honduras, bergabung dengan kami. Mereka baru 1 (satu) minggu berada di Papua
untuk melaksanakan tugas-tugas pelayanan dari lembaga-lembaga yang mengutus
mereka.
Seperti biasa, orang-orang yang
baru bertemu saling berkenalan dan bercerita tentang diri mereka, kami pun
saling bercerita beberapa hal yang dapat membuat kami saling mengenal di awal perjumpaan.
Hal yang menarik adalah kedua orang muda ini bercerita tentang 1 (satu) tema, Home Sick (rindu rumah). Kalau yang
laki-laki bercerita bahwa ini adalah kedua kalinya ia merasakan home sick saat berada jauh dari rumah,
maka yang perempuan bercerita tentang bagaimana ia merasakan itu. Menurutnya,
hari pertama tiba di Papua, ia merasa seorang diri, tak ada teman dan saudara.
Hari kedua, ia masih merasa kesepian tetapi mulai berjumpa dengan orang lain.
Hari ketiga, perasaan itu masih tetap ada, tetapi ia mulai membiasakan diri ada
dalam lingkungan yang baru dengan teman-teman yang baru, dan sampai saat
pertemuan kami tadi, sepertinya ia sudah merasa tidak sendiri dan kesepian
lagi.
Saat sharing, Pak Allan mengatakan bahwa home sick adalah perasaan yang sangat manusiawi dan dapat terjadi
kepada siapa saja yang berada jauh dari lingkungan keluarga. Bagi beberapa
orang muda, memang lebih berat, tetapi hal semacam itu dapat diatasi seiring
waktu. Satu hal yang kadang membuat orang yang datang dari Eropa atau Amerika mengalami
home sick adalah perbedaan dalam hal
cepat lambatnya aktifitas. Kalau di tempat asal mereka, aktifitas terjadi
begitu cepat, sementara di Papua, aktifitas tergolong lambat.
Satu istilah menarik dari percakapan
tentang home sick itu adalah sense of lost. Rasa kehilangan terhadap sesuatu
yang dimiliki ketika tidak ada lagi dalam batas pandangan atau genggaman kita
dan kita ingin kembali ke dalam pengalaman-pengalaman itu. Sense of lost itulah yang dirasakan oleh mereka ketika pertama kali
menginjakkan Papua. Namun, hal itu akan disembuhkan seiring waktu. Tentu saja
salah satu kapasitas utama manusia dan seluruh makhluk hidup adalah beradaptasi
dengan segala situasi dan kondisi.
Sungguh suatu bahan refleksi yang
sangat dalam ketika bicara tentang sense
of lost. Sebagian besar manusia pada satu titik pasti berada pada situasi
yang dapat didefinisikan sebagai sense of
lost. Terhadap seluruh hal yang secara empiris dialaminya seperti keluarga,
teman, kerabat, dan lain sebagainya. Pertanyaannya adalah bagaimana kondisi sense of lost itu dapat menggambarkan
situasi yang non-empiris? Pertanyaan ini diangkat ketika saya membayangkan
suatu keadaan keterputusan manusia dengan situasi ideal, lebih lagi
keterputusannya dengan Sang Ilahi. Apakah sense
of lost dalam kaitan dengan Yang Ilahi dapat dirasakan dengan mendalam,
sebagaimana yang dirasakan ketika manusia merasa home sick?
Saya mencoba mencari dasar bagi
pertanyaan itu dalam bacaan terhadap kitab suci dan menemukan satu kalimat, “Eli, Eli, Lama Sabaktani, Allahku,
Allahku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” Saya membayangkan bahwa saat
meneriakkan kalimat itu, Yesus yang sementara tersalib merasakan situasi sense of lost yang luar biasa. Situasi
kehilangan yang luar biasa terhadap ideal kehidupan manusia yang harusnya
berjalan sesuai dengan kehendak Allah. Namun, sense of lost itu tentu saja bukan kehilangan tanpa arti. Seperti yang
dimengerti dalam kerangka home sick
kedua teman baru di atas, sense of lost itu
adalah perasaan kehilangan yang pada satu sisi menuntun mereka untuk kembali
pada pengalaman-pengalaman kebersamaan sebelumnya, di sisi lain semakin
menguatkan mereka untuk berjumpa dengan pengalaman-pengalaman yang baru. Sense of lost Yesus mengarahkan Dia
untuk ada dalam pengalaman-pengalaman berikutnya.
Kalau Yesus yang adalah teladan
diceritakan mengalami sense of lost yang
luar biasa, bagaimana dengan kita? Saya telah menyatakan bahwa kondisi ini pasti
dialami oleh sebagian besar manusia. Kita tidak bisa menghindarinya karena
memang demikian adanya. Dapat dikatakan bahwa hakekat kehidupan manusia adalah
mengalami perjumpaan-perjumpaan sekaligus perpisahan-perpisahan. Menariknya adalah
ketika baik perjumpaan maupun perpisahan itu terjadi dalam kerangka iman. Artinya,
semua itu direfleksikan dalam keyakinan yang sungguh tentang apa yang harus
dibuat sebagai jawaban atas pengutusan Sang Ilahi bagi kita di dalam dunia.
Bagi saya, menjadikan kondisi kehilangan sebagai salah satu cara membesarkan
diri adalah jalan yang beriman. Tuhan tetap mengerjakan bagiannya dalam
perjumpaan-perjumpaan dan perpisahan-perpisahan yang kita alami, bagaimana kita
mengerjakan bagian kita adalah persoalan iman.
Ini hanya sepenggal ekspresi dari
refleksi atas perjumpaan dengan beberapa rekan yang juga merasakan beratnya
perpisahan. Harapannya adalah kita, manusia, saling berbagi pengalaman tentang
hal-hal yang menguatkan. Semoga Tuhan menolong kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar