![]() | |||
Padamu Neg'ri, Kami Berjanji;.... Bagimu Neg'ri Jiwa Raga Kami |
Bagaimana jika suatu komunitas yang menjadi laboratorium? Tentu saja dibolehkan, dengan catatan ada gerak yang melampaui definisi dan hakekat laboratorium dalam pengertian asalinya itu. Laboratorium damai misalnya, yang menjadikan komunitas di Ambon atau Maluku sebagai ruang riset perdamaian. Pendekatannya haruslah post-positivis sebagai upaya "menentang" perspektif positivisme karena tindakan manusia tidak dapat diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak dan pasti karena manusia selalu saja berubah. Dalam perspektif post-positivisme itulah, Ambon atau Maluku layak dijadikan sebagai laboratorium damai di Indonesia.
Pertanyaan utama yang patut dikemukakan adalah "Mengapa Ambon layak menjadi laboratorium damai, tempat belajar/riset/berlatih tentang perdamaian?" Tentu saja akan muncul pertanyaan-pertanyaan lanjutan yang lebih praktis soal "Bagaimana menjadikan Ambon sebagai laboratorium damai?" Namun pertanyaan kedua ini akan disimpan untuk ditelusuri nanti.
Ada banyak tempat yang warganya hidup berdampingan dalam damai meski berbeda agama dan suku bangsa, tetapi mereka belum pernah ada dalam situasi berdarah-darah seperti Ambon. Pernah di Ambon, sesama manusia berbeda agama angkat parang, melepas panah, melempar tombak, membidik senjata, dll., untuk saling menghabisi. Belum sampai 2 dekade peristiwa-peristiwa itu terjadi sehingga masih segar ingatan tentang penderitaan itu. Para pemuda dan remaja yang lahir saat peristiwa tersebut, sebagian dari mereka, dibesarkan dengan narasi-narasi kekerasan, kebencian, juga penderitaan.
Tetapi Ambon (Maluku) cepat bangkit. Kami cepat sadar bahwa kami
sementara menari dengan musik orang lain. Kerja-kerja keras perdamaian
pun mulai mengisi hari-hari di Ambon sejak kesadaran itu muncul. Kini,
kami yang dulu berkelahi, memilih jalan untuk berdamai. Meskipun banyak
hal yang tidak sama lagi seperti sebelum peristiwa itu, tetapi kami
memiliki keyakinan bahwa perlahan-lahan kerja kami akan membuahkan
hasil.
Fakta-fakta itu semakin jelas ketika saya diundang mengikuti kegiatan Training Penggerak Perdamaian Berbasis Komunitas di Ambon. Selama 3 (tiga) hari para peserta dilatih dan dibekali dengan beberapa kemampuan, di antaranya kemampuan melakukan analisis sosial berbasis konflik, kemampuan mengorganisasi komunitas, dan kemampuan membedah kasus. Tetapi yang sangat berkesan adalah ketika melakukan kunjungan ke Masjid Batu Merah, Gereja Latta, dan Komunitas Ambon Bergerak. Refleksi terhadap kunjungan itu akan menjadi tulisan tersendiri. Sebanyak 25 orang peserta akhirnya membentuk Komunitas Penggerak Perdamaian Ambon (PPA). PPA hanyalah komunitas kecil yang
orang-orangnya baru bertemu dalam semangat yang sama, menggerakkan
perdamaian. Kami saling belajar, saling
berbagi, saling mengkritisi dalam keterbukaan. Pertanyaan paling penting
saat itu adalah, "mengapa beberapa komunitas sudah bekerja keras dalam
menghadirkan damai di Ambon, sedangkan kami baru berjumpa untuk dilatih
menjadi penggerak damai?" Mungkin kami adalah generasi berikut dari para
penggerak damai sebelumnya. Dengan demikian, dari generasi ke generasi
akan selalu ada penggerak damai di komunitas masing-masing.
Ambon
sangat layak menjadi tempat belajar karena pernah berada dalam situasi
teramat tidak manusiawi, tetapi saat ini perlahan dan pasti,
jalinan-jalinan kemanusiaan itu mulai dipulihkan. Pemulihan diri lebih
banyak terjadi secara internal, meski ada juga rekayasa-rekayasa sosial.
Mari, belajar di Ambon. Beberapa teman Muslim kami sudah pernah tinggal
berhari-hari di rumah-rumah orang Kristen dan mereka tidak dijadikan
sama seperti kami (kadangkala, ini yang dijadikan pegangan). Live in adalah model yang menarik di mana peserta akan tinggal selama beberapa hari bersama dengan mama dan bapa piara (tuan rumah) yang berbeda agama. Jika sudah tinggal bersama, makan dan minum bersama, bercerita dalam keterbukaan, maka perlahan-lahan sekat-sekat perbedaan akan mulai runtuh dengan sendirinya.
Untuk pertanyaan, "Bagaimana menjadikan Ambon sebagai laboratorium damai?" Selama training 4 (empat) hari itu, saya menemukan bahwa live in adalah metode yang ampuh bagi itu. Silahkan melakukan rekayasa sosial dengan kegiatan live in selama beberapa waktu dan ikuti perubahan-perubahan yang terjadi dalam diri para peserta live in.
Salam Damai!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar