Hari ini, seorang temanku menulisi damai
dalam perspektif “problem of trust”. Saling percaya telah menjadi faktor
penentu bagi perjumpaan-perjumpaan yang melampaui identitas-identitas
komunal-religi. Ketika membaca tulisan beberapa rekan di Ambon tentang
situasi terakhir pasca “bentrok massa” 9/11 yang berangsur damai, saya
ikut bersyukur sekaligus merenung. Apakah hal itu akan sementara saja
atau akan berlangsung terus di pulau yang manise itu. Tulisan-tulisan
yang bernas itu telah menjadi provokasi damai yang menggugah.
Damai, entah dalam pengertiannya yang negatif (tiadanya perang dan atau
kekerasan fisik) atau dalam pengertiannya yang positif (adil, sejahtera,
makmur, sentosa, dll.) tetap saja menjadi impian. Ada teman yang
menyatakan bahwa damai akan lebih bermakna bagi masyarakat yang pernah
merasakan perang, konflik, rusuh, dll. Kalau soal makna, tentu tak dapat
disalahkan.
Perenungan saya tiba pada sedikit keyakinan bahwa semua rekan di Ambon telah mulai berhasil keluar dari “perangkap sosial (Social Trap) situasi mereka. Social trap
adalah istilah di bidang psikologi yang diperkenalkan pertama kali oleh
John Platt pada tahun 1973. Istilah itu adalah metafora bagi
situasi-situasi di mana para aktor sosial mengambil keputusan yang
ditentukan oleh penilaian terhadap tindakan-tindakan aktor-aktor yang
lain di masa depan. Hal itu sangat berhubungan dengan keputusan untuk
saling percaya dan bekerjasama dalam suatu situasi.
Secara sederhana, logika sosial trap adalah sebagai berikut (Rothstein, 2005:12):
- Situasi di mana “tiap orang” diuntungkan karena “tiap orang” memilih untuk bekerjasama.
- Tetapi, jika “seseorang” tidak percaya bahwa “orang lain” dapat bekerjasama, maka tak ada artinya memilih untuk bekerjasama karena suatu kerjasama sangat tergantung dari pilihan bekerjasama semua pihak.
- Jadi, “tidak bekerjasama” adalah pilihan bagi “orang-orang” yang “percaya” bahwa “pihak lain” tidak dapat bekerjasama.
- Kerjasama yang efisien untuk tujuan bersama hanya dimungkinkan jika “tiap orang” percaya bahwa “orang lain” juga akan memilih untuk bekerjasama untuk hal itu.
- Dengan tiadanya kepercayaan itu, maka social trap (perangkap sosial) akan langsung tertutup dan berakhir dengan buruk bagi “semua orang”, walaupun ada kesadaran bahwa ada keuntungan-keuntungan tertentu ketika memilih bekerjasama.
Ada beberapa dasar teoretis yang digunakan mendukung konsep ini, di
antaranya adalah tindakan ekonomi politis yang strategis mengasumsikan
bahwa “apa yang orang kerjakan sangat tergantung pada kepercayaan
tentang apa yang orang lain akan kerjakan”. Selain itu, yang cukup
penting adalah kemungkinan untuk keluar dari social trap itu dibatasi
oleh fakta bahwa manusia secara rasional tidak dapat memutuskan untuk
melupakan sesuatu. Artinya, dalam perspektif psikologis, perangkap
sosial mengindikasikan bahwa pilihan terhadap ingatan dan pelupaan dalam
memori tidak dapat ditentukan secara rasional. Dalam kasus Ambon 1999 -
2004, dapat saja orang “mengatakan” bahwa: “marilah kita melupakan apa
yang terjadi dan hidup damai”, tetapi secara rasional, orang tidak dapat
melakukan pilihan untuk langsung menghapus ingatan itu dari memorinya.
Dari logika dan indikasi-indikasi di atas, dapat dimengerti betapa seriusnya masalah social trap dalam
kehidupan masyarakat. Indonesia, khususnya di Maluku telah pernah ada
dalam perangkap sosial itu. Salah satu contoh adalah ketika orang-orang
yang memegang kontrol terhadap arus informasi menyebarkan informasi yang
saling menyudutkan. Sekali masuk dalam strategi yang didasarkan pada
ketidakpercayaan, maka pintu perangkap akan tertutup dan sulit bagi
orang untuk keluar. Hal itu lebih disebabkan karena adanya kesulitan
tersendiri bagi orang-orang yang tidak saling percaya dalam waktu yang
lama untuk membangun rasa saling percaya kembali dengan meyakini bahwa
pihak lain pasti akan bekerjasama dalam tujuan bersama.
Walaupun demikian, secara rasional pula, dapat dikemukakan bahwa
rasionalitas individual ikut menentukan rasionalitas masyarakat. Kunci
untuk membuka pintu perangkap sosial, salah satunya adalah dengan
mengandalkan dan atau mempercayakan rasionalitas individual memainkan
peranannya. Individu-individu rasional yang membangun rasa percaya baru
setelah sekian lama ada dalam komunitas yang tidak saling percaya dapat
menjadi provokator damai. Individu-individu rasional itu pula yang dapat
membuka pintu perangkap sehingga perlahan-lahan tercipta masyarakat
yang secara rasional saling percaya yang berdampak pada kerjasama dengan
tujuan bersama.
Terkait itu, individu-individu rasional itulah yang saya temukan dalam
diri rekan-rekan yang selalu menulis tiap pengalaman perjumpaan yang
melampaui rasa ketidakpercayaan itu. Tiap tulisan yang adalah provokasi
damai itu perlahan namun pasti akan membuka pintu perangkap dan
membebaskan masyarakat, khususnya di Ambon untuk kembali dalam rasa
saling percaya.
Bagi saya, dipandang dari perspektif apapun, damai tetap lebih indah.
Bagi kalian yang telah menjadi provokator damai, terima kasih banyak karena ikut membentuk rasionalitas saya.
Referensi:
Johannes, Weslly, Pelajaran Tentang Saling Percaya
Rothstein, Bo, 2005, Social Traps and the Problem of Trust, NY: Cambridge University Press.